NovelToon NovelToon
Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Teen School/College / Gangster
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Caca adalah seorang gadis pemalu dan penakut. Sehari-hari, ia hidup dalam ketakutan yang tak beralasan, seakan-akan bayang-bayang gelap selalu mengintai di sudut-sudut pikirannya. Di balik sikapnya yang lemah lembut dan tersenyum sopan, Caca menyembunyikan rahasia kelam yang bahkan tak berani ia akui pada dirinya sendiri. Ia sering kali merangkai skenario pembunuhan di dalam otaknya, seperti sebuah film horor yang diputar terus-menerus. Namun, tak ada yang menyangka bahwa skenario-skenario ini tidak hanya sekadar bayangan menakutkan di dalam pikirannya.

Marica adalah sisi gelap Caca. Ia bukan hanya sekadar alter ego, tetapi sebuah entitas yang terbangun dari kegelapan terdalam jiwa Caca. Marica muncul begitu saja, mengambil alih tubuh Caca tanpa peringatan, seakan-akan jiwa asli Caca hanya boneka tak berdaya yang ditarik ke pinggir panggung. Saat Marica muncul, kepribadian Caca yang pemalu dan penakut lenyap, digantikan oleh seseorang yang sama sekali berbeda: seorang pembunuh tanpa p

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 12

Marica duduk di bangku taman belakang sekolah, memandangi langit yang mendung dengan perasaan gelisah yang mendalam. Taman itu biasanya menjadi tempatnya mencari ketenangan, tapi hari ini, pikirannya begitu penuh dengan kegelisahan hingga ketenangan itu sulit didapat.

Dia meremas kedua tangannya erat-erat, berusaha menenangkan diri. "Kenapa jiwa kemanusiaan gue muncul lagi?" batinnya frustrasi.

Hatinya bergemuruh dengan perasaan yang campur aduk. Dia merasa cemas bahwa Caca, identitas aslinya, akan kembali mengambil alih tubuh yang sudah lama ia kuasai.

Marica telah mengambil alih tubuh Caca sejak lama, menggunakan nama itu untuk menjalani hidup sesuai dengan keinginannya. Namun, akhir-akhir ini, dia mulai merasa bahwa Caca, kepribadian aslinya, semakin sering mencoba menguasai tubuh ini kembali.

Kadang-kadang, dia bahkan merasakan seolah-olah dirinya hanyalah penonton, menyaksikan tubuhnya bergerak dan bertindak tanpa kontrol penuh dari dirinya.

Dengan perasaan yang berkecamuk, Marica mencoba mencari alasan di balik kegelisahannya. Apakah ini karena kejadian-kejadian di sekolah? Apakah karena pertemuan dengan Kelvin yang terus-menerus memicu stres?

\~\~\~

Kelvin duduk di salah satu bangku di sudut gedung olahraga, mendengarkan instruksi pelatih Pak Omar dengan wajah serius.

"Kalian harus jaga stamina, supaya di pertandingan bisa kasih permainan yang maksimal," ucap Pak Omar tegas, matanya menyapu seluruh tim.

"Baik, Pak," jawab mereka serentak, meskipun ada nada kelelahan yang tak bisa disembunyikan dari suara mereka.

Setelah memberikan semua arahan yang diperlukan, Pak Omar meninggalkan gedung. Kelvin menghela napas pelan, menatap lantai sementara rekan-rekan setimnya mulai bergerak ke berbagai arah, membicarakan hal-hal lain yang lebih ringan dan menghibur.

"Eh, besok ada latihan tambahan nggak sih?" tanya Joni, salah satu pemain yang cukup vokal dalam tim.

"Nggak tahu, kayaknya sih ada," jawab Galih sambil membuka botol minumannya. "Tapi gue harap nggak terlalu berat. Cape juga latihan terus-terusan."

Percakapan mengalir dengan ringan, membahas rencana mereka untuk pertandingan mendatang, kegiatan di luar sekolah, dan kehidupan sehari-hari. Namun, Kelvin hanya diam, duduk di bangkunya dengan wajah muram. Dia merasa terisolasi, meskipun berada di tengah-tengah timnya sendiri.

Selama ini, dia tahu bahwa banyak dari mereka yang merasa tidak adil atas kehadirannya di tim. Mereka menganggap bahwa Kelvin hanya masuk tim karena pengaruh ayahnya, bukan karena keahliannya bermain basket. Pandangan sinis, bisikan di belakangnya, dan kadang-kadang sindiran langsung menjadi makanan sehari-harinya di tim ini.

"Dengar-dengar pertandingan nanti bakal jadi ajang pembuktian ya," ucap salah satu pemain dengan nada sarkastik, melirik ke arah Kelvin.

"Ya, apalagi buat yang punya bekingan kuat. Kita lihat aja nanti siapa yang bener-bener jago," sahut yang lain dengan nada mengejek.

Kelvin menahan napas, mencoba menahan amarahnya. Dia tahu bahwa membalas hanya akan memperburuk keadaan. Sebagai putra dari seorang yang berpengaruh, dia sudah terbiasa dengan prasangka semacam ini. Namun, itu tidak berarti bahwa dia tidak merasa sakit.

"Ayo, kita keluar dulu. Butuh udara segar," ajak Joni sambil berdiri dan meregangkan tubuhnya.

Kelvin tetap duduk, merasa tidak ada alasan untuk ikut serta dalam percakapan atau aktivitas mereka. Dia menatap bola basket di tangannya, merasakan beratnya bukan hanya secara fisik tetapi juga emosional. Bermain basket seharusnya menjadi pelarian dari tekanan hidupnya, tetapi sekarang malah menjadi sumber tekanan baru.

"Kalian duluan aja," ucap Kelvin akhirnya, memutuskan untuk tetap di dalam gedung.

Beberapa rekan setimnya melirik ke arahnya, ada yang merasa simpati, ada yang tidak peduli. Namun, mereka semua akhirnya meninggalkan gedung, meninggalkan Kelvin sendirian.

Kelvin berdiri, melempar bola basket itu ke ring. Bola itu meluncur dengan sempurna, memasuki ring tanpa menyentuh tepi. Tapi meskipun begitu, kepuasan itu tidak cukup untuk mengusir rasa kesepiannya.

\~\~\~

Emil sibuk dengan ponselnya, jari-jarinya meluncur dengan cepat di layar sentuh saat dia mengetikkan pesan-pesan yang memendam kekesalan dalam dirinya. Nama-nama yang ditulisnya di dalam kontak ponselnya hanya mencerminkan kekesalan dan kekecewaannya terhadap orang-orang yang menurutnya telah mengganggu kehidupan Kelvin.

"Mereka pikir Marika siapa bisa seenaknya gitu sama Kelvin," ucap Emil dalam diam, matanya menyipitkan dalam ekspresi kesalnya.

Baginya, kelakuan Marika dan beberapa orang lainnya terasa begitu menyebalkan, terutama saat mereka menyinggung masalah yang sensitif atau melakukan sesuatu yang bisa merugikan Kelvin.

Setiap sentuhan jari di ponselnya mencerminkan rasa frustasi dan keinginan untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap perilaku mereka. Namun, di balik ekspresi kesal itu, ada juga sedikit rasa tidak enak dalam dirinya.

Dia tahu bahwa menyalahkan orang lain bukanlah solusi, tapi saat ini, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyatakan ketidakpuasannya.

\~\~\~

Adam dan Rahayu sedang makan siang bersama di sebuah restoran dengan ruangan privat. Suasana terlihat nyaman, tetapi Rahayu terlihat tegang dan serius. Ia meremas ujung roknya, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.

"Mas ada yang mau aku bicarakan ini serius. Ini tentang anak-anak," ucap Rahayu dengan nada yang penuh kekhawatiran.

Meskipun makanan di meja terlihat menggiurkan, Rahayu tidak merasa napsu untuk makan saat itu.

"Ada apa dengan mereka?" tanya Adam dengan santai, sambil tetap menikmati hidangan di depannya.

"Kamu sadar enggak sih, Mas, sejak Caca datang ke rumah kita, sikap kamu tuh beda ke Tian dan Yura," ujar Rahayu dengan suara yang agak bergetar, menunjukkan bahwa ini adalah masalah yang membuatnya gelisah.

"Beda gimana? Rasaku sama saja," jawab Adam dengan nada yang santai, seperti biasa.

"Mas, kalau kamu terus-terusan kayak gini, aku bakalan pulangin dia ke mantan istri kamu itu," ancam Rahayu dengan suara serius, mencoba menekankan pentingnya masalah ini.

Adam, yang baru saja mengangkat gelasnya, merasa seketika tertekan oleh ancaman yang Rahayu berikan. Dengan ekspresi serius, ia meletakkan kembali gelasnya ke meja. Rasanya ia sangat tidak suka dengan situasi ini.

"Caca akan tetap tinggal bersama kita," ucap Adam dengan suara yang mantap, mencoba menegaskan keputusannya.

Namun, Rahayu tidak langsung merespons. Ia memandang Adam dengan tatapan tajam, menunggu kepastian dari suaminya.

"Kalau kamu masih mau dia tinggal di rumah kita, kamu harus adil, Mas, sama Tian dan Yura," ucap Rahayu dengan suara yang tegas namun penuh kekhawatiran.

\~\~\~

Kallian membaca data tentang orang-orang yang mengganggu kenyamanan putranya dengan serius. Ekspresinya tegang saat meninjau informasi yang tertera di depannya. Tanpa menunjukkan keraguan sedikit pun, ia memutuskan untuk mengambil tindakan.

"Res, lakukan seperti biasa," ucap Kallian pada Andres, asisten pribadinya yang setia.

"Baik, Bos," jawab Andres dengan tegas sebelum meninggalkan ruangan.

Dia segera bergerak untuk melaksanakan perintah Kallian. Namun, sebelum dia meninggalkan ruangan, Kallian memberikan instruksi tambahan.

"Pastikan tugas dilakukan dengan teliti. Kita tidak boleh terlalu mencolok, tapi pastikan semua berjalan sesuai rencana," pesan Kallian dengan suara rendah, tetapi penuh keputusan.

Andres mengangguk mengerti, menyerap setiap kata yang diucapkan atasannya. Dia memahami pentingnya menjaga kerahasiaan operasi ini, terutama dari pihak berwenang. Dengan hati-hati, dia meninggalkan ruangan dan segera memberikan instruksi kepada para bawahannya.

"Ini tugas darurat. Lakukan dengan cepat dan hati-hati. Pastikan tidak ada yang mencurigai kita, terutama polisi," pesan Andres kepada para bawahannya dengan suara tegas, tetapi tanpa menimbulkan kepanikan.

Para anggota timnya mengangguk serentak, menunjukkan bahwa mereka siap untuk melaksanakan tugas dengan cermat dan efisien. Setiap langkah akan dipikirkan dengan matang, setiap detail akan diperhatikan dengan seksama. Mereka adalah tim yang terlatih dengan baik.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!