NovelToon NovelToon
Hyacinth

Hyacinth

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Hujan kristal misterius tiba-tiba menghujam dari langit bak ribuan peluru. Sebuah desa yang menyendiri. Jauh dari mana pun. Terletak di ujung hutan dekat tebing tak berdasar. Tak pernah ada orang dari luar desa yang pernah berkunjung sejak desa tersebut ada. Asing dari mana pun. Jauh dari mana pun. Sebuah desa sederhana yang dihuni ratusan orang. Dipimpin oleh ketua suku turun temurun. Walaupun begitu, mereka hidup rukun dan damai.

Sampai pada akhirnya fenomena dahsyat itu terjadi. Langit biru berubah menjadi warna-warni berkilau. Menciptakan silau yang indah. Indah yang berujung petaka. Seperti halnya mendung penanda hujan air, maka langit warna-warni berkilau itu penanda datangnya hujan aneh mematikan. Ribuan pecahan kristal menghujam dari langit. Membentuk hujan peluru. Seketika meluluhlantakkan seluruh bangunan desa berserta penghuninya. Anehnya, area luar desa tidak terkena dampak hujan kristal tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Raga Dua Kaki

"Naiklah!"

Gadis itu jongkok membelakangi Cashel. Lelaki itu kini dapat menahan rasa sakitnya setelah beberapa saat meringis. Berkata waktu, juga tumbukan dedaunan dari Finley.

Purnama yang terang membuat mereka tidak terjebak dalam kegelapan serius.

"Aku digendong perempuan? Yang benar saja. Aku tidak seringan yang kau pikirkan. Sekalipun tubuhku kurus dan pendek Bagaimana pun, aku agak berotot sekarang."

"Kau mau digendong atau berjalan dengan tangan? Kakimu patah, punggungmu terkena luka gores besar serta tubuhmu dipenuhi luka. Tak ada hal baik tersisa padamu untuk bisa berjalan sendiri."

"Seharusnya bukan seperti ini. Akulah berjanji untuk menggendongmu dengan sebelah pundakku. Sial. Kau kira dengan begini bisa terlihat lebih hebat dariku?" geram Cashel.

"Siapa yang berbicara tentang kehebatan? Tidak ada. Kamu tidak bisa berjalan. Jadi, aku yang akan menggantikan kakimu. Dua raga melangkah dengan dua kaki. Sementara dua kaki lainnya diistirahatkan agar sembuh."

Cashel memandangi kakinya yang tertutupi tumbukan dedaunan dengan sendu. Merasa tak berguna. Biasanya ia yang melindungi Finley, sekarang Finley yang membantu langkahnya. Lalu, bagaimana ke depannya? Bukannya membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkan kaki yang patah?

Kedua telapak tangan Cashel meraih pundak Finley. Seorang gadis yang lebih berisi, tinggi dan tua darinya. Bukan masalah besar bagi Finley untuk menggendong Cashel.

"Aku tak berguna," ujar Cashel.

"Kau berguna. Gunamu sekarang, bawa kantong kulit berisi bambu-bambu itu. Kita butuh bekal minuman di perjalanan."

Pohon-pohon menari. Angin kencang datang. Dilihatnya kepala Finley dari belakang. Dekat sekali. Seseorang yang tidak disangkanya akan menjadi teman satu-satunya. Entah sampai kapan. Bahkan tidak menutup kemungkinan sampai seumur hidup. Mengembara tak tentu arah. Tanpa petunjuk. Hanya berbekal tekad, juga secuil harapan.

Kejanggalan fenomena hujan kristal itu tentu mengundang tanda tanya besar. Siapa pula yang rela mati begitu saja tanpa menemui rasa penasarannya. Titik hujaman hujan kristal hanya si wilayah desa dan Finley serta Cashel sempat merasakan remuknya tubuh mereka namun ternyata tidak mati. Itu artinya, ada misteri di balik selamatnya mereka berdua.

"Cashel, tolong tanganmu jangan terlalu dekat dengan bahuku yang sakit."

"Oh, maaf."

Perjalanan berlanjut. Finley memegang satu tombak dengan tangan yang juga menggendong Cashel. Sedangkan tombak Cashel terbawa kelelawar raksasa yang kakinya tertusuk. Fisiknya benar-benar kuat sekarang.

"Pupus sudah janjiku dengan pundak masa depan. Didahului pundak gadis menyebalkan yang bahunya cidera," lirih Cashel.

"Itu janji masa depan. Janji ketika kamu sudah tumbuh tinggi melebihiku. Sekarang, karena kamu masih pendek dan ringan, jadi sudah tugasku untuk menggendongmu. Bayangkan jika sekarang sebaliknya, kau tidak akan kuat menggendongku."

"Enak, saja. Sekarang kau tidak jauh lebih tinggi dan tubuhmu tidak jauh lebih gemuk. Mudah saja bagiku untuk menggendongmu. Hanya dengan satu pundakku."

"Lalu pundakmu menjadi turun sebelah."

"Enak saja!"

Finley tertawa.

Tanpa disadari, mereka telah menjadi sahabat baik. Sekali pun tiada hari tanpa perdebatan. Justru itu yang menjadikan ikatan mereka kuat.

Malapetaka kala itu telah mempersatukan mereka. Menciptakan petualangan itu beserta bahayanya. Juga kekuatan.

"Untuk itu, aku ingin menemukan banyak hal baru lagi. Di mana setitik harapan dapat kita temukan. Sampai kapanpun. Beberapa tahun ke depan. Usia-usia kita bertambah. Hingga dewasa. Hingga tua. Sampai kapan pun. Atau, umur kita panjang seperti dongeng tetua. Ratusan tahun, ribuan tahun. Jika membutuhkan waktu selama itu untuk mencapai ujung hutan ini. Barangkali. Ada banyak kemungkinan yang bahkan mustahil. Terus mengelilingi kepalaku. Sejenak saja rasa keluh berkuasa, sisanya, aku masih ingin menemukan harapan itu. Orang-orang, rumah-rumah, desa lain, hal-hal menakjubkan yang tidak ada di desa kita. Semuanya. Bahkan jika umur kita habis di tengah jalan, arwahku akan tetap bertahan untuk menjadi seorang pengembara," tutur Finley.

Hati berkabutnya sedang dihiasi langit biru cerah. Wajah ayahnya selalu terbayang. Suara napas Cashel terdengar berat di telinganya. Lelaki yang berada di punggungnya hendak berbicara. Namun, sejenak mengembuskan napas. Ucapan Finley sungguh menenangkan.

"Apa yang membuat rasa takutmu hilang?"

"Rasa takutku tak pernah hilang. Rasa itu terus merengkuh. Sejak kita masih di desa. Sampai sekarang. Aku tetaplah Finley yang penakut, egois, keras kepala, pendendam, menyebalkan, beban, jelek, bodoh. Andai cahaya rembulan dalam menembus jalan yang tertutup pepohonan dan memperlihatkan harapan di depan sana. Namun, itu hanya akan membuat perjalanan kita hambar. Kau tahu, setiap hari aku terbayang akan kematian. Rasa takutku selalu mengitari. Sepanjang waktu. Itu tidak hilang, aku hanya menyembunyikannya."

Setelah mendengar ucapan Finley berikutnya, Cashel memandangi rembulan. Sempurna bunda di atas sana. Terang sekali. Purnama paling terang yang pernah membersamai perjalanan mereka. Kemudian ia menunduk. Didapatinya tapak kaki Finley yang melangkah. Dua raga dengan dua kaki. Itulah yang disebut Finley. Gadis itu sedang mewakili langkah Cashel.

Mereka memutuskan langsung melanjutkan perjalanan tanpa tidur terlebih dahulu setelah melawan kelelawar raksasa. Sebab malam itu purnama terang, saat yang sempurna untuk berjalan. Ditambah untuk menghindari serangan kelelawar raksasa lagi yang kemungkinan datang. Mereka pun tahu di depan sana juga tidak berarti aman. Namun, mereka hanya pergi dari tempat yang sudah pernah didatangi bahaya. Artinya, di depan sana masih ada dua kemungkinan, aman atau tidak. Itu tidak jauh lebih buruk.

"Suara napasmu besar sekali!" seru Finley.

"Bagaimana lagi, mulutku ada di dekat telingamu, gadis bodoh!"

"Berani sekali kau memanggilku seperti itu ketika aku sedang membantumu."

"Tak ada yang memintamu untuk membantuku!"

"Kau bisa apa kalau aku tidak membantumu selain berjalan menggunakan tangan. Itu pun kau tidak bisa melakukannya. Atau menyeret tubuhmu sendiri."

"Aku bisa menunggang hewan terbang!"

"Ya, sudah. Tunggang saja hewan terbang itu dan pergi sejauh mungkin. Biarkan hewan itu membawaku ke bawah tebing tak berdasar dan tak pernah kembali lagi."

"Tinggallah kau di tengah hutan sendirian. Aku akan langsung menemukan manusia lain dengan hewan terbang itu."

"Harusnya, aku biarkan saja kau dibawa terbang kelelawar raksasa itu."

"Biarkan saja. Aku bisa menyelamatkan diriku."

Seketika Finley tertawa lebar.

"Apa? Tidakkah aku salah dengar? Kau bahkan berteriak ketakutan agar aku menolongmu. Raut wajah itu. Kalau diingat-ingat jelek sekali. Konyol. Itu jelas ekspresi ketakutan karena lemah. Tak mampu melepas cengkraman kaki kelelawar raksasa. Bagaimana mungkin bisa kau jadikan tunggangan."

Cashel terdiam. Finley menang.

Lelaki itu membalas dengan bernapas lebih kencang lagi tepat ke dekat gendang telinga Finley.

"Hei, hentikan! Itu menyebalkan. Berhenti atau kau aku jatuhkan!"

"Begitu saja marah. Udah kayak nenekku. Pantas saja wajahmu jelek dan tua. Itu karena kamu galak. Tukang marah."

"Berisik! Jauhkan mulutmu dari telingaku!"

Tetap saja begitu. Mereka tidak pernah lepas dari keributan. Perjalanan yang lancar sekali malam itu. Ada banyak jalan yang tidak dipadati pepohonan. Sehingga, tapak Finley lebih leluasa melangkah sambil menggendong Cashel.

"Cashel!"

"Apa?"

"Apa mimpimu kemarin malam?"

"Kebun beri yang melimpah buahnya."

1
adie_izzati
Permulaan yang baik👍👍
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
total 3 replies
Ucu Borneo.
nice...
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!