Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA BELAS
Malam kian larut, tapi Shandi justru tak kunjung dapat memejamkan matanya. Ia justru begitu gelisah di atas tempat tidurnya sebab pikirannya kini justru tertuju pada Mentari, Mentari, dan Mentari saja.
Saat melihat Mentari tadi, sebenarnya ia begitu terkesima. Wajahnya yang memang sudah cantik jadi kian cantik, anggun, dan menawan. Bahkan ia pun menyadari, hampir setiap pasang mata laki-laki menatapnya penuh minat saat melihat kedatangannya tadi. Ingin rasanya Shandi merengkuhnya ke dalam dekapannya dan memamerkan pada semua orang kalau ia adalah istrinya.
'Eh, tapi tadi secara tidak langsung Tari juga sudah mengumumkan kalau dia adalah istriku, kan!' monolog Shandi dalam hati merasa bangga.
Kecantikan Mentari memang tak dapat ia pungkiri. Sesuai namanya, Mentari, ia memancarkan sinar yang membuat hati terpukau pun hangat tak bertepi.
Tapi, kenapa tiba-tiba perasaannya tak tenang?
Apalagi saat ucapan Mentari sebelum pergi tadi terngiang di telinganya. Seolah-olah itu merupakan ucapan perpisahan. Ungkapan penuh luka dalam sebuah ucapan turut berbahagia.
'Nggak. Aku nggak mau kehilangan Tari. Aku mencintainya dan aku tak ingin ia lepas dari tanganku apalagi sampai ia jatuh ke pelukan laki-laki lain. Tidak, itu tidak boleh,' batin Shandi kembali bermonolog.
"Kamu kenapa sih mas? Kok kayak gelisah gitu? Sakit perut?" omel Erna kesal karena Shandi yang tak henti-hentinya bergerak padahal ia sudah benar-benar mengantuk.
"Emmm ... mas ... iya, mas sakit perut. Kamu terganggu ya?" dusta Shandi sambil memasang senyum semanis mungkin.
"Udah tahu nanya. Tidur luar sana kalau masih sakit. Ganggu aku tidur aja. Udah tau aku sakit, nggak boleh kurang tidur, mas malah gerak-gerak terus gitu," sembur Erna dengan mata mendelik tajam.
"Ah, ya, ya udah, kalau begitu, mas keluar dulu deh!" ujar Shandi yang gegas beranjak keluar setelah sebelumnya menyambarnya ponselnya terlebih dahulu. Entah mengapa hari Shandi tak tenang malam ini. Shandi khawatir terjadi sesuatu pada istrinya itu. Ia pun berinisiatif menghubunginya.
Setibanya di ruang tamu rumah Erna, Shandi pun bergegas mencoba menghubungi Mentari, namun panggilan pertama tak diangkat, panggilan kedua pun sama, panggilan ketiga pun tak direspon, hingga panggilan kelima pun panggilannya tidak direspon sama sekali. Shandi gelisah setengah mati. Lantas ia melirik ke arah jam di sudut atas layar ponselnya, Shandi sontak mendesah lirih, pantas saja pikirnya, sebab kini jarum jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Wajar saja Mentari tidak mengangkat panggilannya sebab istrinya tersebut pasti sudah tidur pikirnya.
Sementara itu, di salah satu kamar presidential suite Royal Hotel, tampak Mentari sedang asik menonton drama Korea dari layar laptopnya yang baru ia beli siang tadi. Peduli amat sama suaminya yang terus-menerus menghubunginya. Ia tak mau bicara dengan suaminya itu beberapa waktu ini. Ia ingin menenangkan diri. Bahkan ia sudah membuat keputusan besar yang pasti akan mengejutkan Shandi, namun merupakan kabar membahagiakan bagi mertua dan adik iparnya. Namun, ia yakin, itu takkan terjadi selamanya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Shandi telah tampil rapi. Tapi sebaliknya, Erna justru masih bergelung dengan selimut padahal matahari saja sudah tersenyum ceria memancarkan sinarnya.
Ah, Shandi tiba-tiba saja ingat sang istri di rumah mereka! Bila pagi-pagi begini biasanya Mentari sudah cantik dan harum. Mentari juga sudah menyapu rumah dan membuat sarapan. Baru juga satu hari ia tidak melihat pemandangan itu, tapi hati Shandi sudah merindu. Karena itu, ia bangun pagi-pagi, setelah sarapan rencananya ia ingin mengunjungi sang istri di rumah mereka.
"Shan, kamu udah rapi, mau kemana? Bukannya masih cuti kerja ya?" tanya Asma, ibunya Erna.
"Em, itu ma, Shandi mau pulang sebentar. Ada barang yang mau Shandi ambil," ujar Shandi.
"Ambil? Bukannya kalian emang akan pulang ke sana hari ini? Jangan bilang kamu nggak mau bawa Erna pulang ke rumahmu dan ingin membiarkan Erna tetap di sini, sedangkan kamu ingin bersenang-senang sama istri mandul kamu itu?" tuduh Asma dengan mata memicing membuat Shandi mengerutkan keningnya.
"Kami belum ada membahas itu, mengapa mama bisa bicara seperti itu?" tukas Shandi tak suka dengan tuduhan ibu mertuanya itu. "Dan lagian kan, aku mohon, jangan pernah menghina Tari. Bagaimana pun, Tari itu istri Shandi. Jadi Shandi mohon, tolong mama jangan ikutan mama Shandi yang suka menghina Tari," imbuh Shandi membuat mata Asma melotot tajam.
"Kamu berani membantah kata-kata mama? Kamu mau mama bilangin Erna buat jauhin kamu dan keluarga kamu dari calon anak kami, hah? Biar kalian sekalian nggak pernah ketemu sama calon anak kamu itu," sahut Asma ketus membuat Shandi gelagapan.
"Bu-bukan maksud Shandi seperti itu, ma. Shandi cuma minta tolong supaya nggak menghina Tari lagi. Itu aja," jelas Shandi membela diri.
"Heh, emang benar dia mandul kan! Kalau nggak mandul, pasti kalian sudah punya anak sejak lama. Jadi nggak usah bela-belain dia deh! Nggak level. Udah miskin, nggak berpendidikan, nggak punya pekerjaan, mandul lagi, apa bagusnya perempuan kayak gitu dipertahankan," ketus Asma lagi membuat Shandi memejamkan matanya. Ingin marah tapi yang bicara itu ibu mertua, tidak dijawab, ibu mertuanya tidak mau menghentikan omelan .
"Ada apa ini pagi-pagi udah ribut, mas?" tanya Erna pada Shandi.
Rambut Erna tampak masih berantakan. Bahkan di sudut bibir Erna masih menyisakan setitik iler yang jujur saja membuat Shandi menghela nafasnya.
"Itu, suami kamu ini, masa dia mau pulang dengan alasan mau ambil sesuatu. Pasti itu cuma alasan supaya dia bisa bersenang-senang dengan istri mandulnya itu," ketus Asma membuat rahang Erna mengeras.
"Benar begitu, mas?" ucap Erna dengan suara meninggi. Ia tak terima bila Shandi kembali pada Mentari.
"Aku cuma mau ambil barang sayang, percayalah." Shandi mencoba berbicara lemah lembut agar Shandi tidak kepikiran untuk kembali pada Mentari.
"Ngapain ambil sendirian? Bukannya kita bakal pulang kesana atau kita langsung pulang aja pagi ini kesana, bagaimana?"
Bruakkk ...
Jantung Shandi rasanya ingin meledak. Bagaimana mungkin Shandi membawa perempuan itu ke rumahnya? Bisa-bisa pecah perang dunia ke tiga bila Erna ikut pulang ke rumahnya. Tapi, Erna justru terus memaksa. Bahkan ibu Shandi yang baru datang kembali pagi itu membela Erna, membuatnya tak berdaya. Hingga di sinilah mereka sekarang, di mobil miliknya dengan tujuan pulang ke istana dia dan Mentari. Wajah Shandi sepanjang perjalanan ditekuk masam. Ia tak dapat membayangkannya bagaimana reaksi Mentari nanti saat melihat kepulangannya ditemani Erna. Bisa-bisa benar-benar terjadi pertumpahan darah di rumahnya nanti. Namun ternyata, bukannya pertumpahan darah yang terjadi, melainkan kebingungan Shandi sebab ternyata Mentari tak kunjung pulang. Hingga hari berganti pun Mentari tak kunjung memunculkan batang hidungnya. Membuat benak Shandi bertanya-tanya, dimana Mentari sebenarnya berada?
...***...
**Maaf kalau ada typo soalnya othor ngetiknya merem melek mulu. Kasi tau kak ya kalau ada yg typo. Tadi aja berapa kali salah tulis, ingat Bunga di novel Luka Bunga melulu. 😄
...****...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰**...