🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesakitan Lainnya
🌹VOTE🌹
AUTHOR POV
"Terus lu mau bertahan selamanya? Di sisinya?"
"Dia ayah dari anak-anak aku," ucap Inanti dengan suara tersendat, menahan tangisan yang akan kembali meledak. "Ibu bilang aku ga boleh salah kaprah."
"Lu salah kaprah karena tinggal dan bertahan sama orang kaya gitu."
Inanti hanya menunduk, akhirnya Inanti menceritakan semua keluh kesahnya pada manusia.
"Inan…."
"Aku mencintainya."
Seketika Judi yang awalnya menatap ke arah depan segera menghadap Inanti terkekeh tidak percaya. "Lu cinta sama cowok macam itu?"
Ya, Inanti mencintainya. Dia datang tanpa alasan, tanpa permintaan. Inanti harap perasaan itu hilang, nyatanya tidak semudah itu.
"Inan…"
"Alan pasti akan kembali, dia hanya butuh waktu."
"Nyampe setengah taun?"
"Dia akan sadar."
"Kenapa lu ga pergi aja dari sana?"
"Aku harus ke mana?" Air mata Inanti menetes, menatap mata biru milik Judi. "Rumah lama Inanti dijual untuk melunasi utang Bapa, bulan lalu."
Judi terdiam, dia kembali menatap ke depan, sementara Inanti hanya menunduk. Satu jam Inanti menangis, mengingat kata-kata Andria, Vanesa dan Delisa yang begitu menyakitkan. Inanti tidak salah, Inanti bahkan tidak ingin diperkosa oleh Alan.
"Pilihan ada di tangan lu, Nan. Lu mau bertahan, maka tanggung semua resikonya, semua cacian, ejekan dan lontaran batu menyakitkan. Tapi jika lu mau pergi, insyaallah gue bakalan bantu. Gue ga bakalan ninggalin cewe yang gue suka saat dia butuh bantuan."
"Maaf, Judi." Kata Inanti menjelaskan apa yang ada dalam pikiran.
Judi mengangguk mengerti. "Gue ga maksa, Nan. Tapi jika nanti lu ga tau harus ke mana, udah ga tahan, hubungi gue. Kalau lu ga mau gue bantu sebagai laki-laki, anggap gue saudara. Gue ga akan ninggalin adik yang gue sayang."
Andai saja Alan yang begitu, berkorban dan menghadang mereka yang menyakitinya. Andai hati ini dilabuhkan pada Judi. Tapi demi Tuhan, Inanti tidak bisa memaksakan perasaan.
"Udah, jangan nangis lagi, muka udah jelek juga."
Judi masih bisa aja bercanda.
"Nih, apus, tuh ingusnya ke mana-mana."
Inanti mengambil paksa tissue di tangannya. Menghapus sisa air mata.
"Duh, cantik banget sih… tapi boong."
Inanti menatapnya tajam, yang langsung Judi balas dengan cekikikan. "Mau minum lagi? Udah abis lima botol lu, Nan."
Ya, Inanti menangis tersedu-sedu hingga Judi membelikan banyak air agar Inanti sadar. Inanti ga berniat zina atau berbuat dosa dengan berada di dalam mobil dan mengeluarkan keluh kesah pada pria yang bukan suaminya, tapi inilah Inanti apa adanya.
"Mau makan?"
"Mau pulang."
"Rumahnya di mana?"
"Itu yang ada di google maps."
"Oh, iya lupa."
Akhirnya, mobil kembali melaju di jalan raya, menuju rumah bertingkat dua yang Inanti diami beberapa bulan ini.
"Makasih."
"Udah, jangan nangis."
"Iya, sana pergi," usirnya dengan nada bercanda.
"Galak banget."
"Nanti kamu sendiri yang repot disangka orang tukang Grab."
"Batin……," ucapnya mengusap dada. "Untung cantik."
Inanti menunduk untuk melihatnya, melambaikan tangan. "Makasih, sana pulang. Waalaikumsalam."
Judi malah tertawa, dia memberi klakson sebelum akhirnya hilang di belokan.
Inanti menghela napas, rasanya lebih baik mengetahui masih ada manusia yang peduli padaku.
Dan senyumannya kembali terbentuk saat merasakan tendangan si kecil, suara tawa pertama Inanti di rumah ini tercipta.
🌹🌹🌹
Kolam renang sudah lama tidak dipakai, mumpung tidak ada orang, Inanti ingin berenang. Enak banget airnya bersih, plus selalu dibersihin tiap dua minggu sekali sama tukang. Tukang itu bilang Alan yang nyuruh, bukti dia masih peduli dengan rumahnya.
Karena kolam renang di belakang, tertutup dari orang diluar sana, Inanti memakai bra saja dengan celana pendek. Dokter bilang berenang bagus buat kandungan, apalagi mereka semakin aktif.
Tapi, baru juga beberapa menit, Inanti mendengar seseorang masuk ke dalam rumah.
"Inanti?"
Demi Tuhan, suara itu….
"Inanti?!"
"Iya, Kak….." Inanti memakai handuk, berjalan masuk ke dalam rumah. Pria itu di sini, dia masih sama tampannya dengan kemeja hitam yang digulung sampai tangan.
"Kenapa?" saat Alan melihatnya aneh, Inanti tahu dirinya cuma pake anduk.
"Dari mana kamu?"
"Abis berenang."
"Pake baju, saya mau ngomong sama kamu."
Dia melegos, menuju ruang keluarga yang terhalang sekat kaca.
"Mau ngomong apa, Kak?"
"Duduk," ucapnya menunjuk sofa di depannya dengan tatapan.
Sumpah Inanti takut, akan apa yang terjadi. Rambutnya basah, jadi Inanti tidak pakai kerudung, lagian dia suaminya. "Kenapa, Kak?"
Alan masih sama, dia tampan dengan mata hitamnya yang tajam.
"Kamu ke mana hari ini?"
Hari ini? "Inan pergi ke makan Ibu sama Dede."
"Sama siapa?"
"Sendirian."
"Sama siapa?" Kali ini nadanya penuh tekanan.
"Sendirian, Kak."
"Saya mau kamu jujur sama saya, kamu keluar sama siapa?"
Inanti berpikir keras. Sampai akhirnya….
"Berangkatnya sendirian, tapi pulangnya dianter temen."
"Siapa?"
"Namanya Judi."
Rahang Alan mengetat, dia terlihat begitu menakutkan.
"Siapa dia?"
"Temen Inan."
"Temen?" Alan seolah tidak percaya. "Temen kamu?"
"Iya, Kak."
Setelahnya keheningan mendominasi, hanya ada suara detak jam. Jemari tangannya bertautan, ketakutan akan apa yang hendak dibicarakan.
Akankah Alan mengajaknya memulai semuanya dari awal? Menjalani pernikahan dengan serius?
Namun, kenyataannya tidak begitu. Semua opini baiknya ditepis oleh kalimatnya.
"Pernikahan kita tidak diinginkan oleh kita berdua. Setelah menikah sama kamu, saya harus banting tulang membangun perusahaan Papa yang bangkrut, saya juga harus menanggung malu setiap ketemu orang. Kamu dan anak kamu itu beban moral untuk saya, pemikiran-pemikiran mereka yang buruk terhadap kamu juga berdampak pada saya. Keluarga saya, orang yang saya sayangi, mereka menjauhi saya karena kamu dan anak kamu."
Air mata Inanti menetes. Begitu hina dirinya dan anak-anaknya di matanya?
"Saya ambil keputusan ini dengan sangat matang. Saya rasa, perpisahan kita adalah jalannya. Saya akan tetap memberimu uang bulanan sampai bayi itu lahir. Dan lusa, kamu bisa meninggalkan rumah saya."
🌹🌹🌹
tbc..