Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1
Langit sore itu mendung, seolah memahami kegundahan hati Alya. Ia duduk di sudut kamar kontrakannya yang sempit, memandangi amplop coklat tebal di pangkuannya. Isinya adalah surat perjanjian—kontrak pernikahan antara dirinya dan Dimas Ardiansyah. Tangannya bergetar saat mencoba membukanya kembali, seakan berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang bisa ia tepiskan dengan membuka mata.
Namun kenyataan jauh lebih kejam.
Dimas bukan pria sembarangan. Ia dikenal sebagai salah satu pengusaha properti tersukses di Jakarta. Wajahnya sering muncul di majalah bisnis, senyumnya yang dingin menjadi simbol kekuasaan. Dan kini, pria itu menjadi calon suaminya—bukan karena cinta, bukan karena takdir, tetapi karena utang ayahnya.
"Alya, Ayah nggak punya pilihan lain..." Suara ayahnya beberapa hari lalu terus terngiang di kepalanya. Pria tua yang kini tubuhnya melemah karena stroke itu tak sanggup menatap matanya. "Kalau kita nggak bayar, kita bisa kehilangan rumah. Ayah bisa dipenjara."
Alya tahu betul bagaimana kondisi keluarganya. Ibunya telah meninggal dua tahun lalu karena kanker. Adiknya masih sekolah, dan penghasilan sebagai perawat nyaris tak cukup untuk menutupi kebutuhan harian, apalagi utang sebesar 700 juta rupiah.
Satu-satunya orang yang datang menawarkan jalan keluar adalah Dimas. Tapi jalan itu dibayar dengan harga yang sangat mahal—martabat, perasaan, dan kebebasan hidupnya.
“Kau akan menjadi istri kedua.” Kalimat yang keluar dari bibir Dimas saat pertemuan pertama mereka masih begitu segar di benaknya. Datar, tanpa ragu. Seolah yang ia tawarkan adalah kontrak bisnis biasa.
"Dan istri pertamamu tahu soal ini?" tanya Alya waktu itu, matanya menantang, meski jantungnya berdegup tak karuan.
"Dia akan tahu," jawab Dimas dengan senyuman kecil yang tak bisa ditafsirkan. "Tapi itu urusanku."
Hari itu Alya pulang dengan perasaan campur aduk. Marah, bingung, malu—tapi juga takut. Ia membenci kenyataan bahwa dirinya bahkan mempertimbangkan tawaran itu. Namun seminggu berlalu, dan ayahnya mulai batuk darah. Rumah mulai digadai. Adiknya mulai bicara soal berhenti sekolah.
Alya menyerah.
Pernikahan itu digelar diam-diam di sebuah vila pribadi milik Dimas di Puncak. Hanya ada penghulu, dua saksi, dan seorang pengacara yang membacakan ketentuan hukum perjanjian pranikah. Tak ada gaun indah, tak ada senyum bahagia. Alya mengenakan kebaya sederhana, wajahnya ditutupi cadar tipis, bukan karena tradisi, melainkan karena rasa malu.
Sementara itu, Dimas mengenakan jas abu-abu, wajahnya tenang seperti biasa. Seolah ini hanyalah rutinitas yang sudah ia jalani berkali-kali.
Suara penghulu menggetarkan ruang tamu yang dingin. Dimas mengangguk pelan, menjawab, “Saya terima...”
Dan saat itu pula, hidupnya Alya berubah selamanya.
Setelah akad, Dimas tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berbicara atau menyentuhnya. Ia langsung masuk ke dalam ruang kerjanya, meninggalkan Alya yang kini menjadi istri sahnya, namun tetap merasa seperti orang asing.
Malamnya, saat Alya mencoba memberanikan diri untuk berbicara, ia mendengar pintu depan dibuka. Suara sepatu hak tinggi berdetak keras di lantai marmer.
Dan kemudian, suara wanita.
"Apa maksudmu menikah lagi, Dimas?" suara itu tajam, dingin, namun penuh luka.
Alya berdiri kaku di balik dinding. Wanita itu pasti Karin, istri pertama Dimas. Ia tak tahu bahwa pertemuan pertama mereka akan secepat ini. Dan ia tak menyangka bahwa sakitnya akan sedalam ini—bukan karena dicaci, tapi karena menyadari bahwa hidupnya kini dimulai dengan menyakiti orang lain.
*
"Apa maksudmu menikah lagi, Dimas?"
Suara itu menggema di seluruh ruangan, mencabik ketenangan palsu yang masih coba dijaga. Alya berdiri di balik pilar ruang tengah, tangannya mengepal, jantungnya berdegup cepat. Ia tidak ingin mencuri dengar, tapi tak bisa memaksa dirinya melangkah keluar. Terlalu banyak yang dipertaruhkan malam ini.
"Aku sudah bilang padamu sejak awal, pernikahan kita bukan tentang cinta," jawab Dimas dengan nada datar.
Karin tertawa pelan—pahit, menyakitkan. "Oh, jadi kamu pikir itu alasan yang cukup untuk mengkhianati aku? Aku ini istrimu, Dimas. Istri yang mendampingi-mu sejak kamu masih jadi pengusaha kecil. Dan sekarang, kau bawa perempuan lain ke dalam rumah kita?"
"Dia tidak akan tinggal di rumah ini," kata Dimas pelan, tapi tegas. "Dia akan tinggal di apartemen. Aku sudah atur semuanya. Kamu tidak akan bersinggungan dengannya."
"Tapi aku sudah bersinggungan!" seru Karin. "Dengan rasa malu. Dengan pengkhianatan. Dengan kehancuran yang kamu sebabkan malam ini!"
Alya menggigit bibirnya, menahan air mata. Ia ingin sekali pergi, melarikan diri dari semua ini. Tapi ia tahu, tak ada tempat yang bisa dituju lagi. Ia sudah terikat dalam pernikahan yang tak ia inginkan, dan sekarang harus menghadapi kenyataan bahwa ia telah menjadi sosok yang paling dibenci oleh wanita lain.
Langkah kaki Karin mendekat. Dan sebelum sempat Alya mundur, wanita itu sudah berdiri di hadapannya.
Karin cantik. Usianya mungkin awal 30-an, dengan wajah elegan dan gaya yang memancarkan kepercayaan diri. Tapi malam itu, matanya penuh luka—dan amarah.
"Jadi ini kamu," katanya dingin. "Perempuan yang rela menjual dirinya untuk uang."
Alya menunduk. “Saya tidak... saya tidak berniat merebut apa pun dari Ibu.”
Karin mendengus. “Kalau kamu punya harga diri, kamu akan pergi dari sini sekarang juga. Hanya perempuan yang tak punya martabat yang mau dijadikan istri kedua. Bahkan oleh pria sekaya apa pun.”
Dimas mendekat, tapi Karin mengangkat tangan. “Biar aku bicara dengan dia. Dia harus tahu bahwa menjadi madu bukan hanya soal hidup enak dan uang. Tapi tentang rasa malu. Tentang diludahi orang. Tentang jadi bahan tertawaan di belakang.”
Alya menggigit bibir. Ia tahu kata-kata itu bukan hanya serangan—itu kebenaran yang sudah ia pahami sejak awal. Tapi mendengarnya dari istri pertama membuat segalanya terasa jauh lebih nyata.
“Saya minta maaf,” ucap Alya lirih.
“Maaf tidak akan mengembalikan kepercayaan yang dihancurkan. Tidak akan menghapus luka,” jawab Karin. Ia melangkah pergi, meninggalkan wangi parfum mahal dan jejak kebencian yang menggantung di udara.
Malam itu, Alya tidur di kamar tamu. Dimas tidak menemuinya. Ia merasa seperti tawanan di rumah megah yang bukan miliknya. Selimut satin tak menghangatkan hatinya yang membeku. Ia hanya bisa menangis dalam diam, menatap langit-langit yang terlalu asing.
Jam tiga pagi, ia terbangun. Dimas duduk di kursi dekat jendela, hanya diterangi cahaya lampu baca. Pandangannya kosong menatap keluar jendela.
“Kau tidak tidur?” tanya Alya, pelan.
Dimas menoleh perlahan. Wajahnya pucat. “Sudah terbiasa begini.”
Alya ingin bertanya, ingin tahu mengapa lelaki itu begitu dingin dan tertutup. Tapi mulutnya tak sanggup berkata lebih.
“Karin akan membencimu,” katanya tiba-tiba. “Dia mungkin akan membalas.”
Alya menunduk. “Saya siap menanggung risikonya. Asal Ayah saya selamat, dan adik saya bisa tetap sekolah.”
Dimas menatapnya lebih lama. “Kamu tidak tahu apa yang kamu masuki.”
“Saya tahu. Tapi saya tidak punya pilihan.”
Diam sejenak. Lalu Dimas berkata pelan, “Aku juga tidak punya pilihan waktu menikahi Karin.”
Alya menatapnya—ada luka di sana, yang belum sempat sembuh. Tapi ia tahu belum waktunya bertanya.
Pagi harinya, Dimas mengantar Alya ke apartemen barunya. Sebuah unit mewah di kawasan elite, dengan perlengkapan lengkap dan pemandangan kota. Tapi Alya merasa seperti burung dalam sangkar emas.
Di atas meja, tergeletak ponsel baru, buku rekening, dan jadwal aktivitas. Semuanya telah diatur Dimas. Hidupnya sekarang seperti milik orang lain.
Namun yang paling mengejutkan adalah satu amplop putih kecil. Saat dibuka, hanya ada secarik kertas bertuliskan:
"Kau pikir kamu bisa tinggal diam dan semuanya selesai? Kita akan lihat berapa lama kamu bertahan sebagai madu. –K."
Alya menggenggam kertas itu erat. Ancaman pertama dari Karin telah tiba. Dan ini baru permulaan.