Pernikahan yang diharapkan harmonis seperti yang diharapkan, tapi justru harus menjadi derita seorang istri yang tidak mendapatkan perhatian dari suaminya.
Pernikahan yang sudah dijalaninya tak membuahkan sang buah hati, lantaran sikap suaminya yang tak pernah menyentuh istrinya.
Sakit, kecewa, ingin marah, ingin memberontak, tak mampu untuk dilakukan Zeyana, lantaran pernikahannya yang diawali lewat perjodohan dari orang tuanya dengan kakek pihak laki-laki.
Rouki yang telah menjadi suaminya Zeyana, hanya menjadikan dirinya sebagai suami didalam status, tetapi tidak untuk kewajibannya.
Akankah keduanya mampu bertahan dalam pernikahannya? sedangkan rasa cinta pada Rouki tak ditunjukkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak mau terlihat lemah
Baru saja mau keluar, Zey dikagetkan kehadiran suaminya yang juga baru saja masuk.
"Kamu mau kemana?" tanya Rouki basa basi agar tidak mendapat omelan dari ibunya, maupun ayahnya.
"Aku mau pulang bareng Pak Gani. Maaf, aku harus segera pulang, permisi." Jawab Zeya sambil menunduk, tidak penting baginya untuk menatap lelaki yang berstatus suaminya.
"Tunggu," ucap Rouki yang langsung menyambar pergelangan tangan milik istrinya.
"Lepaskan, Mas. Maaf, lengan tanganku sakit." Jawab Zeya berusaha untuk melepaskan tangan milik suaminya.
"Rouki, lepaskan tangan kamu. Istrimu kesakitan. Apa kamu lupa, istri kamu baru saja lepas selang infusnya." Ucap ibunya ikut menimpali.
Saat itu juga, Rouki segera melepaskannya.
"Kalau kamu gak keberatan, kamu pulang bersama istrimu. Kasihan Pak Gani yang semalaman bergadang menunggu Papa, biarkan Pak Gani istirahat." Kata ibunya.
"Tapi, Ma. Terus, bagaimana dengan keadaan Papa?"
"Papa baik-baik saja, Nak. Kamu pulang saja bersama istrimu, kasihan Zeya yang butuh istirahat total. Satu lagi, kamu jangan pergi, lebih baik kamu temani istrimu." Sahutnya yang juga sependapat dengan istrinya.
Rouki yang juga kebetulan ingin istirahat karena tidurnya yang masih kurang nyenyak, akhirnya menerima perintah dari ayahnya.
"Ya, Pa, aku akan pulang bareng Zeya. Kalau gitu, aku tinggal dulu, Ma, Pa." Jawab Rouki yang akhirnya memilih pulang bareng istrinya.
Begitu juga dengan Zeya, dirinya sama halnya seperti suaminya yang tidak bisa menolak, mau tidak mau akhirnya menurutinya.
"Ma, Pa, kami pulang duluan." Ucap Zeya berpamitan.
"Ya, Nak, hati-hati. Dan kamu Rouki, jangan ngebut ngebut nyetir mobilnya." Jawab ibu mertuanya, juga kepada putranya untuk berpesan.
"Ya, Ma." Jawab keduanya bersamaan.
Setelah itu, keduanya bergegas keluar dan pulang. Selama perjalanan, keduanya sama-sama diamnya dan tidak ada yang membuka suara.
Zeya yang masih terasa lemas, hanya bersandar sambil melihat jalanan selama mobil yang di kemudi suaminya melaju dengan kecepatan sedang.
'Si_alan, nyusahin saja ini perempuan. Kalau saja tidak sakit, tidak sudi aku mengantarkannya pulang ke rumah.' Batin Rouki sambil menoleh walau hanya sekilas.
Sedangkan Zeya masih dengan posisinya, keduanya sama-sama hening hingga tidak terasa sudah sampai di depan rumah. Kemudian, Rouki memberi kunci mobilnya kepada seseorang yang sudah ditugaskan untuk membawa masuk mobilnya.
Zeya yang baru saja masuk kedalam rumah, langsung ditemui oleh asisten rumah. Setelah itu, Zeya dibantu untuk menapaki tangga, lantaran suaminya sudah lebih duluan masuk ke kamar.
"Terima kasih ya, Mbak. Maaf banget kalau saya sudah banyak merepotkan Mbak Titi." Ucap Zeya berterimakasih.
"Sudah menjadi tugas saya, Nona. Jadi, Nona tidak perlu sungkan. Jika Nona ada perlu, seperti biasa untuk memanggil saya, ada tombol hitam untuk meminta tolong." Jawab Mbak Titi.
"Ya, Mbak, makasih. Kalau gitu saya masuk ke kamar duluan, permisi." Ucap Zeya yang selalu dengan pengucapan kalimat yang santun.
"Ya, Nona, silakan. Saya juga mau pamit, permisi." Jawab Mbak Titi, Zeya mengangguk dan tersenyum.
Setelah pintu ditutup dari dalam kamar, Mbak Titi kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Tuan Rouki benar-benar tidak bisa membedakan mana perempuan baik-baik dan mana yang bukan. Padahal Nona Zeya sangat baik, ramah, ucapannya juga santun." Gumam Mbak Titi sambil menuruni anak tangga dengan lirih, lantaran sedikit geram saat melihat sikap Bos laki-lakinya yang begitu cuek dan tidak memberi perhatian sama sekali kepada istrinya sendiri.
Berbeda lagi di dalam kamar, keduanya nampak sibuk dengan kesibukannya masing-masing.
Seketika, sebuah laptop telah dilempar ke sembarang arah, tentunya menghantam dinding yang cukup kuat, bahkan retak dan terbelah menjadi dua.
Zeya yang baru saja duduk dan memegang laptopnya, tubuhnya gemetaran saat benda yang ada di hadapannya itu melayang dan hancur.
"Apa kau itu sudah amnesia, ha! kalau kamu sakit, aku yang akan menjadi sasarannya karena ulah kamu yang tidak mau mendengar ucapan dari kedua orang tuaku, ngerti."
"Aku hanya," Zeya langsung menggantungkan kalimatnya.
"Hanya apa? ha! sekarang juga, kau istirahatlah. Jangan sampai amarahku semakin memuncak karena harus menghadapi kamu yang susah untuk di atur."
"Istirahat yang bagaimana? ini masih pagi, Mas. Lagi pula, aku masih bisa untuk melakukan apapun tanpa bantuan kamu." Jawab Zeya dengan berani, meski sebenarnya tubuhnya masih terasa lemas.
"Terserah kamu, lakukan saja sesuka hatimu." Ucap Rouki yang langsung keluar dari kamar, dan memilih untuk berada di ruang kerjanya.
Zeya yang merasa sakit hati atas perlakuan dari suaminya, sungguh kecewa. Lelaki yang sudah ia tahan kesabarannya, kini semakin menjadi atas sikapnya kepada dirinya. Sungguh, sakit dan perih.
Sambil menahan rasa kecewa dan juga terasa dongkol atas sikap suaminya padanya, Zeya mengambil laptopnya yang sudah hancur karena menghantam dinding yang begitu kokoh, hampir saja mengenai bingkai kaca. Dan kini, barang berharga miliknya yang ia punya, seakan bernasib sama seperti perasaannya yang ikut hancur dan tak mungkin untuk dipulihkan kembali seperti semula.
'Ma, Zeya sudah tidak kuat lagi. Mau sampai kapan perjodohan ini akan berakhir? Zeya benar-benar sulit untuk bertahan.' Batinnya yang menjerit akan nasib malang yang menimpa dirinya.
Setelah mengambil laptopnya yang sudah retak dan terbelah menjadi dua, Zeya meletakkan kembali di atas meja. Zeya duduk sambil termenung, tidak tahu harus ngapain.
Tinggal satu benda yang dijadikan temannya, ternyata masih berada di tempatnya. Zeya meraihnya, dan mencoba untuk melihatnya.
"Yah, mati. Bagaimana ini, mana aku harus menghubungi pihak panti asuhan." Gumamnya yang merasa mendapatkan kesialan yang banyak.
Karena tidak ingin membuat pihak panti asuhan kebingungan karena dirinya yang tidak memberi kabar dari semalam, Zeya langsung mengisi daya baterainya.
Sambil menunggu, Zeya memilih untuk keluar dari kamar, tentunya agar tidak bertambah jenuh.
"Mau kemana lagi?" tanya Rouki saat baru saja membuka pintu kamar, dan mendapati istrinya yang hendak keluar.
Zeya menatap suaminya dengan tatapan penuh kesal, juga geram tentunya.
"Aku mau ke dapur, kenapa?"
"Mau ngapain? kan bisa tuh tinggal tekan tombolnya, ngapain keluar dari kamar segala. Kamu tahu, kedua orang tuaku lebih perhatian sama kamu ketimbang dengan diriku. Jadi, jangan sekali-kali kamu membantahku, karena aku tidak ingin mendapat sial karenamu, paham."
"Mas Rouki pikir itu, aku gak jenuh dikurung dikamar? aku butuh udara segar, bukan di dalam kamar yang harus menerima ocehan darimu."
"Kau!"
"Tampar! tampar saja istri kamu ini, Mas. Kenapa? kamu gak berani? tapi kamu berani membentak dan memakiku, menghancurkan barang berharga milikku." Ucap Zeya dengan lantang, lantaran emosi yang sudah tidak lagi tertahan karena sikap suaminya yang semakin keras.
Rouki yang mendengar istrinya mulai berani membentaknya, telapak tangannya berubah menjadi mengepal kuat, tatapannya di penuhi dengan kekesalannya.
Sedangkan Zeya sendiri, langsung mendorong suaminya, dan langsung keluar dari kamar.
"Aaaaa!" teriak Rouki dengan suara yang sangat keras.