Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA BELAS
"Heh, Tian, kamu dari mana sih? Kakak kamu nikah tapi kamu malah kelayapan," bentak Rohani saat Septian baru kembali setelah pergi sejak kemarin.
Septian menatap datar sang ibu. Ia sebenarnya tidak setuju kakaknya menikah lagi. Tapi mau bagaimana lagi, perempuan itu telah hamil. Tak mungkin kakaknya tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya. Antara marah, kecewa, dan benci, mengapa kakaknya tega mengkhianati istrinya yang telah begitu baik pada mereka? Hanya karena Mentari belum hamil, lantas mereka tega menikahkan kakaknya dengan perempuan lain. Entah mengapa, Septian yakin, baik kakak maupun ibunya kelak akan menyesali perbuatan mereka.
"Sampai kapanpun aku nggak mau ngakuin dia sebagai kakak ipar ku. Kakak ipar ku selamanya hanya mbak Tari, bukan perempuan murahan ini," desis Septian sambil menunjuk ke depan muka Erna membuat wajah Erna dan orang tuanya merah padam.
"Tian, tutup mulutmu! Apa yang perempuan nggak guna itu kasih ke kamu hah sampai kamu kayak tunduk banget sama dia?" tukas Rohani dengan mata melotot tajam.
Septian justru tersenyum remeh, " banyak. Tian yakin, suatu hari mama, kak Shandi, dan dan mbak Septi akan menyesali perbuatan kalian."
Setelah mengucapkan itu, Septian segera kembali naik ke atas motornya kemudian melajukannya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan. Ia benar-benar muak dengan keluarganya sendiri. Lebih baik ia kumpul-kumpul dengan teman-temannya lagi, pikirnya.
Sementara itu, Mentari yang hatinya sedang tidak baik-baik saja lantas mengarahkan mobilnya ke sebuah jembatan. Ia pun memarkir mobilnya asal kemudian turun dan berdiri di tepi jembatan. Matanya memandang lurus ke depan. Di bawah jembatan mengalir air sungai yang tidak begitu besar namun arusnya cukup deras.
Mentari menghela nafasnya berkali-kali untuk mengurai sesak yang memenuhi rongga dadanya. Ia tak menyangka, hal ini akan terjadi dalam hidupnya. Suaminya benar-benar menikah lagi dengan perempuan lain dan yang lebih menyakitkan perempuan itu hamil anak suaminya.
"Benarkah aku mandul? Tapi di hasil pemeriksaan aku normal dan sehat-sehat saja. Namun mengapa dia bisa begitu cepat hamil, sedangkan aku yang telah menikah 5 tahun lamanya tak kunjung hamil juga? Apakah hasil pemeriksaan itu tertukar dengan pasien lain?" lirihnya bertanya-tanya.
Mentari memejamkan matanya. Sesak itu kian terasa. Mentari sampai meremas pinggiran jembatan. Matanya memanas, bolehkah ia menangis satu kali saja? Ia ingin menguraikan sesak di dadanya yang kian menyiksa. Ia wanita yang kuat dan tegar, tak sepantasnya ia menangisi laki-laki yang tak berguna itu, bukan? Tapi kenapa, rasanya sangat tidak nyaman. Semakin ditahan, semakin menyakitkan.
"Tari ... " teriak seseorang menyentak lamunan Mentari. Ia pun lantas menoleh ke asal suara. Seorang laki-laki yang baru turun dari mobilnya tampak berlari secepat mungkin mendekati Mentari.
Mentari sampai mengerutkan keningnya melihat keberadaan laki-laki tampan dan gagah di hadapannya itu.
"Tari, kamu gila, hah? Bisa-bisanya kamu mau bunuh diri di sini!" desis laki-laki itu membuat Mentari melongo.
"Bunuh diri?" beo Mentari dengan mata yang masih memerah dan tampak berkaca-kaca.
"Iya, kamu mau bunuh diri, hah? Apa permasalahanmu tidak bisa diselesaikan dengan cara baik-baik sampai kamu berpikir ingin mengakhiri hidup? Jawab!" bentak laki-laki itu sampai Mentari menjengit kaget dan reflek mundur ke belakang. Punggungnya bahkan sampai membentur pagar pembatas jembatan dan hampir kehilangan keseimbangan kalau saja laki-laki tersebut tidak segera menahan pinggangnya.
"Aaakh ... " pekiknya saat punggungnya membentur pagar pembatas jembatan.
"Kau tidak apa-apa?" tanya laki-laki itu panik.
"Oh ... i-iya, aku tidak apa-apa," jawab Mentari terbata membuat laki-laki itu menghela nafas lega.
"Kamu memangnya ada masalah apa sampai mau bunuh diri? Kamu kan bisa cerita ke Jea kalau ada masalah. Kamu pikir dengan bunuh diri , masalahmu akan selesai, hm?" tukas laki-laki itu lagi-lagi membuat Mentari melongo.
"Siapa yang mau bunuh diri sih? Kurang kerjaan banget." Mentari berdecak kemudian terkekeh sendiri. "Aku nggak sebodoh itu, Jerva. Aku yang rugi, mereka yang senang dong entar. Mending kalo mati bisa langsung masuk surga, lah ini langsung dilempar ke neraka, ih ngeri. Dosa udah banyak,
aku nggak mau nambah dosaku lagi dengan bunuh diri," ucap Mentari seraya terkekeh.
"Jadi tadi itu?"
"Aku cuma mau mengurai sesak aja. Menghirup udara di sini cukup segar. Apalagi sambil lihat air yang mengalir deras," sahutnya sambil melirik wajah Jervario yang memerah karena malu.
"Hufh, baguslah. Jangan pernah melakukan hal bodoh yang merugikan dirimu sendiri, ingat!" tegas Jervario.
"Siap, bos!" serunya sambil meletakkan punggung tangan di samping kepala.
Jervario tersenyum tipis, bahkan sangat tipis sampai Mentari tidak menyadarinya.
"Kamu tadi nangis?"
"Nggak," jawab Mentari cepat.
"Itu mata kamu merah." Tunjuk Jervario pada mata Mentari.
"Baru mau, belum benar-benar nangis. Kamu sih, tiba-tiba aja datang, air mata aku masuk lagi kan!" Protes Mentari sambil mencebikkan bibirnya membuat Jervario lagi-lagi tersenyum.
"Ya udah, nangis lagi aja! Biar aku temenin."
"Hah!" seru Mentari melongo.
"Sudah, kalau kamu mau nangis, nangis aja. Nggak perlu ragu. Tapi setelah ini, jangan pernah menangis lagi karena air mata kamu itu terlalu mahal untuk kamu buang sia-sia demi mereka yang telah menyakitimu," ucap Jervario. Untuk pertama kalinya Mentari mendengar kalimat panjang lebar dari saudara kembar sahabatnya tersebut. Aneh memang, tapi entah kenapa ia manut saja disuruh menangis. Tak lama kemudian, mata Mentari kembali memerah. Perlahan, bah air asin dan hangat itu turun membasahi pipinya. Tiba-tiba saja, tangan Jervario terulur dan menarik pundak Mentari sehingga masuk ke dalam dekapannya.
Mentari menangis sejadi-jadinya. Ia tumpahkan segala sesak yang mendera jiwanya. Tak peduli dimana mereka sekarang yang bahkan sudah seperti artis sinetron yang sedang melakukan shooting. Mentari tak peduli atau sebenarnya ia lupa dan tak menyadari. Yang ia butuhkan saat ini adalah dada ini. Rasanya begitu nyaman dan menenangkan.
30 menit kemudian, Mentari sudah bisa lebih tenang. Rasanya sungguh lega luar biasa. Ia pun segera menarik diri dari dekapan Jervario. Namun setelahnya mata Mentari melotot sebab kemeja Jervario yang biasanya begitu rapi kini justru sangat kacau dan basah karena lelehan dari mata dan hidungnya.
"Duh, kemeja ka-mu jadi basah! Maaf," cicit Mentari merasa bersalah. "Padahal kamu kan harus kembali lagi ke kantor kan!"
"No problem. Di mobil aku ada baju ganti. Nggak, aku nggak ke kantor lagi siang ini. Hari ini akan mau ke showroom aku," jawab Jervario sambil mengulurkan sapu tangan untuk Mentari.
"Nggak usah, makasih. Di mobil ada tisu kok," tolak Mentari.
"Ambil!" ketus Jervario memaksa.
"Ck ... maksa banget sih! Iya, iya, makasih! Ini nggak papa buat aku elapin ke ingus aku?" seloroh Mentari sambil menaik-turunkan alisnya.
"Silahkan aja. Tapi nanti harus diganti."
"Gampang itu mah."
"Bukan dengan sapu tangan seperti itu lagi."
"Hah? Emangnya harus ganti pakai apa?"
"Emmm ... nantilah, aku pikir-pikir dulu mau minta ganti pakai apa."
"Ckkk ... dia yang nawarin, dia yang minta ganti. Dasar nggak ikhlas," gerutu Mentari membuat Jervario mengulum senyum.
"Sudah ini mau kemana?" tanya Jervario sambil berjalan mengiringi Mentari menuju mobil mereka.
"Mau ke Royal hotel. Malas pulang," sahutnya seraya terkekeh. "By the way, makasih ya udah mau minjamin emm itu ... dada kamu untuk aku nangis tadi," cicit Mentari dengan wajah memerah. Ia baru merasa malu karena telah menangis di dada pria lain. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Dada yang pernah ia peluk hanyalah dada suaminya seorang, tak ada yang lain.
"Hmmm ... hati-hati di jalan," ucapnya saat Mentari telah duduk di balik kemudi. Mentari pun segera menyalakan mobilnya. Setelah pintu ditutup, Mentari pun melambaikan tangannya melalui jendela mobilnya.
Setelah berada di dalam mobil pun, otak Mentari tak berhenti berpikir. Memikirkan rencana apa saja yang akan dilakukannya kelak. Khususnya membalas semua sakit hatinya selama ini.
"Benar kata Jerva, setelah ini, aku tidak boleh menangis lagi. Aku tidak boleh menyia-nyiakan air mataku lagi. Mereka tak pantas untuk aku tangisi. Akan ku buat mereka menyesal telah menyia-nyiakan pengorbananku dan menyakiti hatiku seperti ini. Tunggu saja tanggal mainnya!"
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...
lengkap sudah kebahagiaan mentari .. ❤❤❤