NovelToon NovelToon
Dokter Naura

Dokter Naura

Status: tamat
Genre:Romantis / Dokter / Tamat
Popularitas:1.7M
Nilai: 4.7
Nama Author: Afa's Mommy

Naura, seorang gadis cantik, santun, cerdas dan selalu ceria. Dia seorang dokter spesialis anak di usia 28 tahun. Banyak laki-laki dekat dengannya namun orang tuanya tidak pernah menyetujui karena Naura tidak boleh menikah dengan orang lain!

Naura memiliki 3 orang kakak laki-laki. Fathur, seorang dosen di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta, sudah menikah. Zamy, kakaknya yang nomor dua, seprofesi dengannya, seorang dokter kandungan yang bekerja dengannya di sebuah klinik yang dibangun orang tua mereka. Klinik terkenal ini berada di ibukota propinsi bernama Honey Bee buka mulai jam 4 sore.

Zamy dan Naura dekat sejak kecil. Zamy sangat menyayangi adik perempuan satu-satunya. Kakak yang ketiga adalah Rahman, pengusaha Rumah Makan Sea Food di kota kecil tempat ayah ibu mereka tinggal.

Hingga suatu hari, semua menjadi berubah ketika orang tua mereka membuka sebuah rahasia besar selama ini. Naura harus menikah dengan Zamy, kakak tersayang yang ternyata bukan saudara kandungnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afa's Mommy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 Diamku

Aku melambaikan tangan kepada tante Sofie, ibunya Irwan yang mengantarku bahkan sampai menaiki mobil. Tingkahnya sangat menggemaskan.

"Pulang dulu ya tante, assalamualaikum...," Aku pamit dan masuk mobil.

"Waalaikumsalam..., hati-hati ya Dora...." Katanya dengan wajah polos tanpa dosa.

"Naura tante, Naura." Aku tersenyum lagi.

"Oke Nora...." Dia melambaikan tangan lalu setelah aku menjauh dia kembali menuju rumahnya. Aku menggeleng sambil tersenyum geli. Lagi-lagi dia salah memanggil namaku.

***

Aku memarkir mobilku di depan jalan. Tidak sopan rasanya memaksakan masuk ke garasi klinik sedangkan pasien sudah banyak menunggu. Aku kembali menyapa dan disapa semua yang mengenaliku atau yang kulewati.

"Assalamualaikum kak dokter...." Tiba-tiba seorang gadis kecil cantik berkepang dua sudah menungguku di pintu pagar klinik. Dia berkacak pinggang dengan lucunya.

"Eh..., ada Yasmin. Aku menunduk dan merangkulnya." Dia pasienku 2 minggu yang lalu, usianya 5 tahunan, orang tuanya pernah menggedor rumahku di Jalan Baru jam 3 sore. Dia demam tinggi. Orang tuanya sangat khawatir anaknya demam di musim penyakit virus corona, padahal hanya radang amandel biasa.

"Kok ke sini lagi. Siapa yang sakit?" Aku bertanya sambil menggandengnya berjalan. Kami menuju ruang tunggu.

"TIdak ada yang sakit kak. Hanya saja ikut ibu mau periksa dedek bayi ke dokter om ganteng." Dia menunjuk ibunya yang melambaikan tangan tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya dari jauh sambil mengangguk.

"Baiklah, kakak mau kerja dulu ya Yasmin sayang...." Aku melepaskan pegangannya perlahan lalu mengajaknya tosh.

"Prak!" Telapak tangan kanan kami beradu.

"Awww....!" Aku pura-pura kesakitan.

"Tenagamu kuat sekali Yasmin, hebat juga ya. Sampai tangan kakak kesakitan begini. Pasti sudah mulai suka makan sayur dan buah." Aku bicara masih sambil merundukkan badan menyesuaikan dengan badan Yasmin. Ingat dulu ketika kedua orang tuanya bilang anaknya tidak mau makan sayur dan buah sama sekali. Kecuali yang kemasan.

"Hahaha.... Yasmin kuat kayak Meridaaa...." Bocah cantik itu berputar-putar seakan-akan mau memanahku.

"Merida siapa?" Aku bertanya penasaran. Perasaan nama ibunya bukan itu. Tapi Yasminnya sudah tidak mendengar pertanyaanku lagi. Dia sudah berlari menghambur ke pelukan ibunya di kursi ruang tunggu depan apotik. Aku berdiri.

"Dia gadis tomboi berambut merah yang kuat sekali. Karakter Merida dalam film Brave. Kartun animasi petualangan tahun 2012." Aku terkejut, tiba-tiba yang menjawabku malah bang Zamy. Tadi kulihat ruang praktiknya masih tertutup rapat. Kok bisa dia sudah di belakangku dengan dua buah kantong kresek putih. 1 berisi anggur hijau dan hitam tanpa biji dan satunya lagi bungkusan makanan berlidi-lidi. Kupastikan itu sate kesukaanku. Aku tak menjawab. Diapun seperti tak menunggu jawabanku.

"Tadi abang beli banyak buah, sudah abang taro di rumah Jalan Baru, ibu suka sekali. Dan ini buah kesukaanmu abang bawa sedikit. Tadi siang ibu cerewet sekali karena Naura tidak pulang ke rumah dengan hp tidak aktif. Padahal ibu sengaja belum makan siang menunggumu pulang. Dia mau makan bersama lauk telur ikan kakap merah." Bang Zamy bicara panjang lebar, dia menatapku penuh kasih sayang. Mata tajamnya itu sungguh meneduhkan. Dia menyodorkan kedua kantong itu kepadaku. Aku menerimanya walau tak satu patah kata pun yang keluar dari mulutku. Terima kasih pun tidak. Hatiku masih kecewa, sakit dan ingin marah.

"Makanlah sate dulu sebelum mulai kerjanya dan istirahatlah barang 5 menit. Abang tahu Naura pasti belum makan. Abang tahu Naura pasti lapar. Naura selalu malas makan ketika merasa kurang nyaman. Maafkan abang ya dek." Bang Zamy bicara perlahan, senyumnya tetap mengembang walaupun kelihatan hambar, lalu dia memutar badan masuk kembali ke ruang praktiknya. Wajahnya tidak begitu bersemangat. Aku tetap bertahan dengan marahku lalu berjalan menuju ruang praktik.

"Assalamualaikum mak Yang..." Aku tersenyum menyalami asistenku bagian pendaftaran. Mak Yang bergantian dengan perawat Ela bagian administrasi.

"Waalaikumsalam dok, sehat dok?" Mak Yang berdiri tersenyum semangat menyambutku.

"Alhamdulillah sehat mak Yang. Mak Yang sehat?" Aku balik bertanya.

"Alhamdulillah...." Mak Yang mengangguk. Aku tersenyum meninggalkan mak Yang, asistenku yang sudah seusia ibuku. Dia cantik dan ramah. Anaknya masih ada yang kuliah makanya dia rela kerja denganku sepulang dari kerja di puskesmas Taman Sari. Dia juga ASN sama sepertiku, namun dia orang tua tunggal, suaminya meninggal beberapa tahun lalu karena kecelakaan.

Aku membuka pintu ruang praktik. Kulihat Ela sudah menghidupkan komputer.

"La..."

"Ya dok."

"Tolong bawa sate ke meja belakang. Letakkan saja di sana." Aku meminta Ela membawa sate pemberian bang Zamy ke area belakang. Tidak enak nanti setiap pasien yang masuk ruangan akan mencium bau sate.

"Buahnya dok?" Sebelum pergi dia bertanya lagi.

"Tidak usah dibawa, biar di sini saja." Aku menjawab, Ela pun mengangguk dan berlalu. Tak lama kemudian mak Yang masuk dengan membawa rekam medis pasien.

"Dok baru jam setengah lima sore tetapi sudah ada 27 pasien mendaftar. Memang gak bisa kita pas 20 pasien semalam dok...." Mak Yang mulai dengan laporannya. Dia tersenyum lagi.

"Yang sudah hadir?" Aku balik bertanya.

"Separuh lebih bahkan sudah hadir dok."

"Ya sudah tidak apa-apa. Kita mulai saja. Aku mengambil berkas paling atas, membacanya dalam hati. Ela masuk dari mengantar sate ke dapur rumah bang Zamy.

"Panggillah La pasiennya." Aku meletakkan berkas itu lagi.

"Maaf dok, kita ada pasien yang masih muntah-muntah saja sampai sekarang. Muntahnya tinggal air saja karena dia sudah puluhan kali muntah kata neneknya. Detak jantungnya cepat tekanan darahnya rendah." Mak Yang bicara sambil membuka pintu.

"Pasien nomor berapa mak Yang?" Aku bertanya.

"Nomor 11 dok." Mak Yang menjawab. Aku mengambil berkas nomor 11. Kubaca sepintas.

"Baiklah mak Yang, tolong suruh pasien nomor 11 masuk duluan. Sepertinya ada gejala keracunan. Jangan sampai dia dehidrasi. Bisikkan pula ke pasien nomor 1 kenapa kita harus periksa pasien nomor 11 duluan agar tidak timbul prasangka.

"Baik dok." Mak Yang keluar ruangan dan langsung memanggil pasien nomor 11.

Sementara menunggu pasien masuk aku sempatkan membuka hp sejenak. Kubaca sepintas saja pesan ibu tadi siang. Dan mataku mengulang-ulang mengeja kalimat terakhir yang baru semenit lalu masuknya yang membuatku tak urung mengerutkan kening membaca isinya.

"Sayang kenapa satenya belum dimakan? Ibu ada di belakang. Ibu di rumah Zamy. Ibu tadi ikut Zamy lho. Dia agak pendiam sejak sore tadi. Ibu kasian sekali melihatnya, dia benar-benar merasa bersalah dan menyesal. Ibu juga sangat mengkhawatirkanmu. Zamy sudah ceritakan semuanya. Jangan diambil hati ya nak. Tidak ada yang akan berubah. Naura anak ibu, selamanya entah apapun yang orang katakan. Ibu yang salah nak. Ibu yang memaksa Zamy mengatakan yang sejujurnya kepada dokter Nina agar dia tidak berharap lagi untuk menikahi Zamy. Ibu bosan ditanya-tanya ibunya dokter Nina terus. Kata Erlinda itu, kapan kita buat acara lamaran Zamy dan Nina? Kapan? Kapan besan? Besan apa? Siapa juga yang mau menikahkan Zamy dengan anaknya. Lama-lama aku menjadi malas sama istri direktur Rumah Sakit itu...." Aku menarik nafas panjang. Membayangkan begitu gigihnya ibu mengetik di hpnya sampai sepanjang itu. Aku meletakkan hp kembali ke dalam laci tanpa membalas pesan ibu. Aku akan memulai kembali tugasku karena pasien nomor sebelasnya sudah masuk bersama sang nenek.

"Hai Rafif ganteng, muntah-muntah terus sejak kapan sayang?" Aku bertanya sambil berjalan mendekati keduanya. Kupasangkan masker yang baru kuambil dari rak kecil di meja kerjaku kepada mereka.

"Sejak pagi tadi dok." Neneknya menjawab.

"Pagi tadi ada makan apa saja Rafifnya?" Aku memasangkan stetoskop ke dadanya, mendengarkan detak jantung dan suara pernafasannya.

"Katanya minum susu 'ultriii' coklat yang dibeli di warung sebelah rumah dok." Neneknya menjelaskan.

"Tapi rasanya aneh dok..., kayak asem-asem gitu...." Rafif menimpali dengan suara lemah.

"Rasanya sudah asem-asem? Berapa tegukan diminumnya?" Aku bertanya.

"Kuhabiskan dokter." Rafif, bocah 7 tahun ini menjawab dengan polosnya. Aku tersenyum, sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Nak Rafif, lain kali kalau mau konsumsi makanan atau minuman kemasan, dicek dulu ya sayang ada tulisan kapan waktu boleh dikonsumsinya." Aku kembali ke meja kerjaku. Kuambil sekotak kecil susu kemasan dengan merk yang sama.

"Ini lho nak ya, ada tulisan expired date, nah diliat itu ya sebelum minum ya sayang ya." Aku mencoba menjelaskan dan memberikan juga susu itu kepada Rafif.

"Tapi dok, yang tadi tu tertulisnya masih Des 2021." Rafif kembali menjelaskan. Aku mengangguk-ngangguk kecil.

"Oh begitu ya, hmmm..., berarti susunya tidak layak konsumsi sebelum masa kadaluarsa. Bisa jadi itu salah dalam penyimpanan. Nggak apa-apa, nanti kakak dokter kasih obat dan vitamin juga, jangan lupa diminum ya. Kamu harus banyak istirahat." Aku kembali ke meja kerja, Rafifnya sudah duduk di ranjang. Sementara neneknya duduk di kursi konsultasi di hadapanku.

"Nggak apa-apa, tapi harus hati-hati ya Rafif, jangan sembarangan konsumsi makanan kemasan lagi. Ini nek resepnya, obatnya nanti tebus di apotik ya." Aku memberikan resep obat kepada neneknya Rafif. Lalu mereka berpamitan setelah membayar biaya konsultasi ke Mak Yang sesuai nominal yang kutulis di kwitansi. Ela kemudian memanggil pasien nomor 1. Begitu seterusnya, aku konsentrasi menerima dan menangani mereka. Bagiku sebagai seorang dokter spesialis anak, mengobati anak sakit sungguh sangat membahagiakan.

***

Satu per satu pasienku telah pulang. Masih ada beberapa, namun adzan Magrib sudah berkumandang. Kami menghentikan aktivitas sementara. Aku meletakkan anggur pemberian bang Zamy di meja mak Yang duduk. Sudah kumakan beberapa buah.

"Ayo gantian ya Ela sama mak Yang sholatnya. Aku juga mau sholat di mushola belakang. Ini buah dimakan ya...." Aku meletakkan kantong anggurnya. Kulambaikan tangan ke arah 2 apoteker yang sedang jaga. Di belakang mereka dokter Jefri, keturunan darah Tionghoa, dia mualaf ikut membalas lambaian tanganku. Dokter Jefri sudah bekerja sama dengan kami melalui ibu sejak klinik Honey Bee didirikan.

"Makan anggur dok, Nur, Sep." Aku bicara sambil menunjuk anggur di meja mak Yang.

"Terima kasih dokter Naura, gak bisa nolak kami kalo ditawari anggur legit...." Nur dan Septi segera menuju mak Yang, dokter Jefri hanya tersenyum melihat ulah dua pegawainya sambil menopang pipi kanan dengan menekan tangan ke etalase obat. Sementara aku menuju area belakang ruang praktik. Menyusuri lorong ke arah rumah hunian. Kulihat ibu duduk di meja bulat samping kolam ikan depan kamarnya bang Zamy. Aku menuju ke sana. Ibu melihatku dari jauh sambil tersenyum.

"Ibu tumben ikut ke klinik." Begitu sapaku saat berada dekat ibu. Biasanya ibu paling sebulan sekali ke klinik, itupun hanya mengecek-ngecek kondisi klinik. Kalau masalah uang, ibu tak pernah meminta kepada kami. Tetapi bagi hasil dari klinik kami letakkan di satu nomor rekening atas nama klinik. Rekeningnya dipegang ibu. Itulah yang dipakai untuk membeli rumah dan mobil bang Fathur di Yogyakarta. Juga untuk biaya modal bang Rahman memulai bisnis rumah makan seafoodnya. Selebihnya aku dan bang Zamy menabung sendiri-sendiri di bank. Ayah dan ibu bukannya minta uang ke kami lagi, malah mereka seringkali menawarkan di grup siapa yang butuh uang, karena baik ibu maupun ayah masing-masing mempunyai penghasilan sendiri. Malah keduanya sudah menjadi donatur tetap sebuah panti asuhan yang ada di kota Muntok.

"Iya ayahmu bakalan pulang larut malam ini. Dia menemani rombongan auditor dari Palembang." Ibu menjawab sambil melepaskan tali tas yang kukaitkan di bahu. Ibu meletakkan tasku ke atas meja.

"Duduk sini nak, kenapa satenya belum dimakan?" Ibu langsung membuka bungkusan sate yang tadi diberikan bang Zamy.

"Belum selera ibu." Aku mengambil satu tusuk dan mengunyahnya.

"Jangan menyakiti badan sendiri. Kamu harus makan, ibu tahu kamu pasti lapar." Ibu semakin melebarkan bungkusan satenya. Baunya semakin menggugah selera. Lalu kutarik piringnya dan langsung lahap di depan ibu.

"Ibu sholat dulu ya..., nanti ibu ke sini lagi." Ibu berdiri meninggalkanku.

"Jamaah-an saja bu, Naura habisin satenya sedikit lagi..." Aku sedikit berteriak. Dengan cekatan kusendok lontong dan kuah sate padangnya. Kumasukkan pula keripiknya ke mulut. Hingga yang tersisa tinggal daun pisang dan bungkus kertasnya. Bawang goreng sebiji pun tak tersisa, kuahnya kering total.

"Jangan telat makan Bee..., nanti bisa iritasi ususmu." Tiba-tiba di belakangku bang Zamy sudah berdiri. Untung saja aku tidak tersedak karena kaget.

"Masih marah? Abang tidak punya pilihan lain selain jujur kepada Nina. Daripada nanti lama-lama bisa semakin berbuntut panjang urusan sama dia." Bang Zamy duduk di kursi dekat ibu. Dia menatapku penuh kasih sayang. Kulihat rambutnya masih basah habis disisir. Sepertinya habis sholat di masjid yang berada sekitar 150 meter dari tempat kami praktik. Aku diam, bingung mau berbicara apa. Mulutku seakan terkunci kembali. Walaupun melalui pesan whatapp ibu aku tahu semuanya alasan bang Zamy jujur kepada dokter Nina. Namun, aku masih merasa gelisah apabila ingat tatapan dokter cantik itu. Seakan dia mencemooh statusku dalam keluarga ini. Aku meremas bungkus sate, memasukkannya kembali ke kantorng kresek putih bersama tusuknya. Lalu membuangnya ke tempat sampah di samping meja.

"Naura sudah sholat dek?" Bang Zamy masih saja membujukku. Namun aku tetap diam. Aku mencoba membuka botol air mineral kemasan, namun gagal. Tanganku licin dan leher botol sudah 'krunyek'.

"Sikat gigi sana, lalu sholatlah karena pasienmu masih banyak." Bang Zamy mengambil botol air mineral itu. Dia membukakan tutupnya dengan sekali putar.

"Minumlah. Abang mau lanjut lagi." Dia mengelus kepalaku lalu berbalik, berjalan kembali ke arah ruang praktik. Aku menoleh saja ke arahnya tanpa satu patah kata pun yang keluar. Sebegitu besar aku marah, seberapa kuat aku ingin merajuk, namun rasanya nyaman sekali selalu mendapat perhatian lebih dari bang Zamy. Dan perhatian itu sudah dia berikan kepadaku sejak aku mampu mengingat. Kuambil botol air mineral, aku minum perlahan lalu setelah selesai aku bergegas melangkah masuk ke rumah utama. Kulihat ibu sudah selesai sholat. Aku takzim, berlutut mencium tangannya. Ibu meraih bahuku. Memelukku erat dan berujar sambil menangis.

"Tetaplah seperti dulu nak, tetaplah seperti kemarin-kemarin saat engkau belum tahu realita yang sebenarnya. Jangan berubah sedikitpun. Jangan pernah berubah. Ibu, ayah, dan abang-abangmu semua tidak mau Naura berubah sikapnya." Aku ikut menitikkan air mata melihat ibu menangis. Seperti anak kecil yang manja, ibu merangkulku penuh kasih sayang, padahal usiaku sudah 28 tahun lebih.

"Kau tahu sayang? Kau tahu kenapa kalian harus menikah? Kau belum tahu kan kenapa ibu sampai membuat kesepakatan sendiri?" Ibu masih saja memelukku. Dia bahkan menciumku berkali-kali. Aku hanya menggeleng.

"Besok ayah dan ibu akan kembali ke Mentok, kalian jangan seperti orang asing. Kalian jangan saling mengacuhkan. Kalian kakak adik sayang, kalian saling menyayangi sudah sejak bayi. Sejak bayi nak. Ibu tahu persis bagaimana Zamy begitu menyayangimu."

"Iya ibu, sudahlah jangan menangis lagi. Naura sangat bersyukur memiliki keluarga ini." Aku perlahan melepaskan pelukan ibu.

"Sholatkah nak." Ibu berdiri dan membiarkan sajadah masih terbentang. Aku menuju kamar mandi, menyikat gigi lalu sholat. Barulah berdoa yang panjang kepada Sang Pemilik diri ini, agar diberikan kesabaran, keikhlasan, kesehatan, kebahagiaan, kemuliaan hidup bersama orang-orang tersayang. Lalu aku beranjak, kembali mengoles sedikit lipstik ke bibirku dan melanjutkan kerja di ruang praktikku.

"Nanti ibu pulang naik mobilmu ya...." Sambil berjalan menuju ruang praktik, terngiang-ngiang suara ibu yang memintaku agar pulang bersamanya.

1
Echa
Luar biasa
Meri ana
berulang kali membaca ttp suka
Anonymous
goid job bang zany
Danty Indria
aku dh baca ini smp 3 kl,bagus bgt
guest1054251266
tak bisa dirga.. nina adik mu s3nsiri
w komahoks
keren. alur cerita bagus
guest1054251266
Teresa nyata ceritamu thooor 😘😘😘
Yanthie Sunardi
baguus banget
Haikal Ispandi
y Allah semoga oknum aparat negara baca novel ini
Haikal Ispandi
bang zamy ayapyu sekebon deh
Miamia
ini aku kok baru Nemu cerita se seru ini,,,baru buka bab pertama aja udah cengar-cengir sendiri 😅, lanjut lah seru 🤗
Elly Safitri
aku mampir kak,baru mulai udah asyik
Juju Siti Julaeha
kasian juga sama dokter Naura itu😭😭
Juju Siti Julaeha
seru juga keluarga dokter ini👍
Nazzalla Kinan
keren
JandaQueen
kok manggilnya nin, yang dikunjungi bukankah itu naura, yang adik se-ibu... ???
JandaQueen
???? typo
JandaQueen
Fathur, bukan Zamy..
JandaQueen
di bagian ini pake POV authornya ya... enak bacanya, nyaman..
JandaQueen
papa...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!