Takdir yang mempertemukan mereka berdua, takdir pula yang membawa mereka kedalam hubungan yang rumit.
Faiha Azkiya, seorang muslimah yang mempunyai mimpi menjadi wanita yang kuat dan tangguh. Pundaknya saat ini dituntut menjadi kokoh, untuk menghidupi dirinya dan sang nenek. Ingin rasanya ia menyerah pada takdir, namun semuanya itu berbanding terbalik. Dimana, takdir itu malah merubah kehidupannya.
Azzam Arsalaan. Pemberontakkan, kejam dan ditakuti oleh hampir semua orang dalam dunia bisnis. Bahkan dunia hitam pun sangat tidak ingin terlibat sesuatu dengannya. Ia akan sangat murka jika kehidupannya terusik, tiada kata 'ampun dan maaf' darinya. Jika tidak, maka nyawa mereka akan lenyap saat itu juga.
Akankah takdir itu dapat menyatukan mereka dan bahagia? Atau sebalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsabita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Ke esokan paginya...
Saat ini, Kiya sedang menikmati sarapan pagi bersama sang nenek. Seperti biasa, mereka saling mengobrol satu sama lain. Dan setelah selesai, Kiya membawa peralatan makannya itu kedapur.
Ddrrrrtt...
Drrrrrtt...
" Ponsel kamu, Ki?" Sang nenek memberitahukan kepada Kiya.
" Iya nek." Jawab Kiya dari dapur, lalu ia segera menghampiri dan mengambil ponselnya dari dalam tas yang akan ia bawa untuk bekerja.
Nomor baru? Siapa? Kiya.
" Assalamu'alaikum..." sapa Kiya kepada si penelfon.
" Eee ... Aku menunggu dipinggir jalan, keluarlah!." Titah si penelfon, yang tak lain adalah Azzam. Lalu ia memutuskan pembicaraanya, tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya.
Azzam merasa bingung untuk menjawab salam dari Kiya, setelah merasa mantap dalam menentukan hatinya. Azzam bertekad untuk mendekati Kiya, perasaan yang sangat dalam dan nyaman selalu ia rasakan ketika bersama Kiya. Mendapatkan informasi tentang Kiya, adalah hal kecil bagi Azzam, dan ia mengetahui jika Kiya masih sendiri. Membuat Azzam semakin yakin untuk memilih Kiya.
Kiya merasa aneh dengan telfon yang baru ia terima, merasa tidak asing dengan suara yang terdengar sebagai penelfon itu. Ia langsung berpamitan kepada sang nenek, dan berjalan keluar dari rumah menuju jalan besar.
Dddrrtt...
Dddrrtt...
" Assalamu'alaikum..." Sambut Kiya.
" Masuklah kedalam mobil hitam didepanmu."
Tut...
Tut...
Kiya semakin merasa penasaran dengan si penelfon, tapi suaranya tidak begitu asing. Berjalan mendekati mobil hitam seperti yang diberitahukan oleh si penelfon, lalu Kiya mengetuk kaca mobilnya dengan perlahan. Perlahan kaca mobil itu terbuka, akhirnya terlepas sudah rasa penasaran Kiya.
" Masuklah." Titah Azzam kepada Kiya untuk segera masuk kedalam mobilnya.
" Eh, anda tuan. Assalamu'alaikum." Sapa Kiya kepada si bos.
Azzam hanya menganggukkan kepalanya, ia sungguh belum bisa mencerna ucapan dari Kiya.
" Saya terbiasa naik angkutan umum tuan. Lagian tidak baik jika hanya berdua saja didalam mobil." Kiya berusaha menolak ajakan dari Azzam.
" Masuk! Jika masih ingin bekerja!!!. Azzam memberikan ancaman kecil kepada Kiya, agar menuruti perkataannya.
Ya Rabb, begitu indahnya pagi hari ini. Membuat pekerjaanku menjadi taruhannya, dasar manusia tidak berperasaan. Kiya.
" Ba baik tuan." Kiya membuka pintu mobil bagian penumpang, langsung saja terdengar suara sumbang.
" Kau kira, aku ini supir, hah!! Pindah kedepan, ada yang ingin aku bicarakan." Azzam mengintimidasi Kiya, agar menurut.
Dengan rasa malas dan tidak ingin terjadi keributan, Kiya menuruti perkataan bosnya. Duduk bersampingan dengan pemimpin perusahaan ditempat ia bekerja, rasanya bagaikan duduk di kursi eksekusi kehidupan bagi Kiya.
" Pasang safety beltnya, jika tidak ingin diberhentikan oleh polisi." Azzam melirik Kiya sekilas lalu ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Memasang apa yang dikatakan oleh bosnya, Kiya kini hanya menatap pemandangan dari kaca samping tempat duduknya. Rasanya sangat risih berada didalam mobil, apalagi dengan bos yang sering berulah kepadanya.
Ddrrtt...
Ddrrtt...
Ponsel Kiya bergetar, ada sebuah pesan masuk dari sebuah aplikasi percakapan.
xxxx
' Assalamu'alaikum Ki, ini nomor ponsel kak Hanif. Kamu save ya, oh iya. Apa kamu hari ini ada waktu? Ayu ingin ketemu katanya.'
Kiya membaca pesan tersebut dengan sangat fokus, hingva melupakan jika ia berada didalam mobil bersama sang bos. Kiya menyimpan nomor tersbut kedalam kontak ponselnya, dengan sedikit tersenyum.
Me...
' Wa'alaikumussalam. oke kak, Kiya save. Kiya belum bisa memastikan bisa atau tidaknya kak, sepertinya hari ini sedikit lembur dikantor.'
Diam-diam, Azzam mengamati Kiya yang sedang tersenyum sendiri melihat ponselnya. Ada rasa tidak suka dalam hatinya, ia merasa senyuman itu hanya diperuntukkan untuk dirinya tidak boleh untuk orang lain.
" Ehem...!." Azzam mencoba mengalihkan perhatian Kiya, namun tidak berhasil.
Kak Hanif...
' Baiklah, kakak tunggu kabarnya ya. Jaga kesehatan, jangan terlalu memfotsir tenaga. Assalamu'alaikum...'
Me...
' Insyaa Allah kak, Kiya akan menjaga semuanya. Wa'alaikumussalam...'
Memasukkan kembali ponsel tersebut kedalam tas milikinya, Kiya memandang kedepan. Tiba-tiba sebuah telapak tangan bergerak dihadapannya, sontak saja hal itu membuat Kiya menoleh kepada si pemilik tangan.
" Memangnya ada apa tuan? anda tadi bilang ada yang mau dibicarakan dengan saya." Kiya membuka perkataannya.
" Hem." Azzam menepikan mobilnya, dan kini mereka ada dibahu jalan.
Pandangan Azzam menatap lurus kedepan, sedangkan Kiya. Ia semakin merasa aneh dengan sikap dari bosnya itu, walaupun sebenarnya ia merasakan ketakutan.
" Aku bukan pria yang pandai merayu dan menggombal, jadilah bagian dari hidupku!." Azzam mengehala nafasnya, ia sangat ingin memiliki Kiya.
Hah! Astaghfirullah... Ternyata hal ini yang ingin dia bicarakan, selalu ini yang dia utarakan. Apa nggak salah? Kiya.
Tidak bisa dibayangkan dalam benak Kiya, bagaimana bisa seorang pemimpin perusahaan menyukai karyawannya sendiri? Apalagi, sudah sangat terlihat helas perbedaan yang ada.
Hening...
Hening...
" Huh! Hei, aku sedang bertanya. Kenapa tidak menanggapi?!." Celoteh Azzam dengan memandangi Kiya yang terlihat seperti melamun.
Namun sayangnya, lamunan Kiya sudah terlalu jauh membawanya. Hingga tidak menyadari, jika wajah orang disampingnya itu sudah seperti cabai yang sangat merah menahan amarahnya. Berulang kali Azzam menanyakan hal tersebut, tapi tetap saja tidak ada jawaban. Sampai akhirnya, wajah merah itu berada tepat disamping telinganya.
" Diammu itu, aku anggap sebagai jawabnnya. Iya!" Azzam tersenyum penuh kemenangan.
Kiya tersadar setelah mendengar perkatan Azzam, ia juga merasakan hembusan nafasnya ditelinga Kiya.
" Eh, apa! Apa tuan bilang! Ti tidak, saya tidak berbicara seperti itu. Jangan membuat kesimpulan sendiri, tuan." Kiya memprotes ucapan Azzam.
" Tidak perlu diperdebatkan sayang! Bukankah diam itu berarti iya, kan. Dan kau tidak bisa membatalkan itu, dan mulai detik ini. Kau adalah pasanganku, jadi bersikaplah yang manis. Oke." Azzam memainkan sudut matanya untuk menatap wajah Kiya yang bingung.
" Tidak! Anda tidak bi..." Perkataan Kiya terhenti oleh ibu jari milik Azzam sudah menempel didepan bibirnya.
" Ssssttt, jangan berisik my queen."
Kiya langsung menepis tangan Azzam, amarahnya kini sedang menguasai dirinya. Merasa tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh bosnya itu, mata Kiya semakin membesar. Melotot kepada Azzam, yang malah tersenyum melihat wajah Kiya yang seperti itu.
" Ada apa sayang?" Azzam semakin tertantang dengan sikap Kiya.
" Tolong kondisikan tangan anda tuan! Jangan sembarangan menyentuh saya! Dan ingat!!! Saya bukan wanita gampangan seperti yang anda pikirkan, yang dengan mudahnya anda sentuh!!" Tegas Kiya kepada Azzam.