NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10_Sama-sama merasakan.

Pagi datang tanpa benar-benar terasa bagi Asher.

Ia duduk di tepi ranjang cukup lama setelah terbangun, kedua kaki menapak lantai dingin, napasnya sudah kembali stabil namun pikirannya masih tertinggal di antara mimpi dan kenyataan. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah tirai, jatuh tepat di bekas keringat yang sudah mengering di kulitnya.

Asher mengusap wajahnya kasar.

Mimpi itu—

selalu mimpi yang sama.

Ia berdiri, mandi singkat, mengenakan pakaian seadanya. Rutinitas. Aman. Terprediksi. Hal-hal yang ia kuasai. Ketika akhirnya melangkah keluar kamar, ekspresinya sudah kembali datar, terkunci rapi seperti biasa.

Namun hari itu, ada sesuatu yang berbeda.

Bukan di kampus.

Bukan di kelas.

Bukan pada tatapan orang-orang yang selalu ia abaikan.

Melainkan… saat ia pulang.

Langkah Asher melambat ketika memasuki kawasan rumah. Udara siang terasa lebih panas, dan suara sapu yang menyentuh lantai terdengar samar dari seberang jalan.

Ia tidak langsung menoleh.

Ia tahu suara itu.

Lauren.

Ia berdiri di teras rumahnya, menyapu dengan gerakan pelan dan rapi. Rambutnya diikat sederhana, kaus rumah dan celana panjang longgar membungkus tubuhnya. Tidak ada yang istimewa—dan justru itulah yang membuat Asher berhenti berjalan.

Ia tidak mendekat.

Tidak menyapa.

Hanya berdiri beberapa langkah dari pintu rumahnya sendiri.

Ia memperhatikan.

Bagaimana Lauren berhenti sejenak, mengusap keringat di pelipisnya.

Bagaimana bahunya sedikit turun, seolah membawa beban yang tak terlihat.

Bagaimana ia menatap jalanan kosong di depan rumahnya lebih lama dari yang seharusnya.

Asher mengerutkan kening.

Kenapa Dia memperhatikan ini?

Ia tidak pernah peduli pada rutinitas orang lain. Tidak pernah tertarik pada kehidupan yang bukan urusannya. Ia bahkan membenci keterikatan—hubungan, percakapan, emosi yang tidak perlu.

Namun kali ini…

matanya tidak mau berpaling.

Lauren mengangkat wajahnya sedikit, seolah merasakan tatapan. Asher refleks menunduk, berpura-pura mengeluarkan kunci. Jantungnya berdetak satu ketukan lebih cepat—hal kecil, nyaris tak terasa, tapi cukup asing untuk membuatnya kesal.

Ia masuk ke rumah dan menutup pintu.

Keheningan menyambutnya, tapi pikirannya masih tertinggal di luar.

Di teras seberang.

Pada sapu.

Pada gerakan pelan seorang wanita yang seharusnya tidak berarti apa-apa.

Asher bersandar pada pintu, menghembuskan napas panjang.

“Bodoh,” gumamnya lirih.

Ia menolak mengakui satu hal sederhana:

bahwa sejak hari ia melindungi Lauren di minimarket—sejak melihat ketakutan di matanya, sejak mendengar suaranya memanggil namanya dengan nada ragu—ada sesuatu yang bergeser.

Bukan ketertarikan.

Bukan perasaan.

Hanya… kesadaran.

Dan bagi seseorang seperti Asher De Luca,

kesadaran itu jauh lebih berbahaya daripada apapun

.

______________

Pagi itu datang dengan cara yang biasa saja.

Lauren terbangun sebelum alarm berbunyi, seperti kebiasaannya sejak bertahun-tahun lalu. Cahaya matahari menyusup melalui celah tirai, jatuh lembut di dinding kamar. Di sampingnya, tempat tidur Arga kosong—seprai rapi, bantal dingin. Ia sudah terbiasa dengan itu.

Lauren duduk perlahan, menyibakkan selimut. Ada rasa kosong yang samar, bukan sakit yang menusuk, melainkan sejenis kebiasaan yang terlalu lama dibiarkan tumbuh.

Ia merapikan tempat tidur dengan gerakan otomatis. Menarik seprai, menepuk bantal, memastikan semuanya tampak “baik-baik saja”. Setelah mandi dan mengenakan pakaian rumah, ia menuju dapur. Air mendidih, kopi diseduh, roti dipanaskan. Rutinitas pagi yang selalu sama.

Namun pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.

Sesekali, bayangan lain menyelinap—

tatapan mata abu-abu yang tenang,

suara rendah yang bertanya apakah ia baik-baik saja,

dan bagaimana ia merasa… dilihat.

Lauren menggeleng pelan, seolah ingin mengusir pikiran itu.

Tidak seharusnya aku memikirkan dia.

Ia menghabiskan pagi dengan membersihkan rumah, mencuci, menyapu, menyusun ulang barang-barang yang sebenarnya tidak perlu diatur ulang. Semua dilakukan untuk menjaga tangannya tetap sibuk, agar hatinya tidak terlalu banyak bicara.

Menjelang siang, Lauren keluar ke teras. Udara hangat menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan. Ia menyapu halaman depan dengan gerakan pelan, hampir meditasi.

Dan tanpa ia sadari—

ia melirik ke rumah seberang.

Rumah itu kini tak lagi terasa asing. Catnya rapi, jendelanya terbuka, tirainya bergerak pelan tertiup angin. Tidak ada orang di teras, namun kehadirannya terasa—seperti seseorang yang diam-diam sudah menjadi bagian dari lanskap hidupnya.

Lauren berhenti menyapu sejenak.

Asher…

Nama itu terlintas begitu saja. Ia tidak tahu kenapa. Mungkin karena cara pemuda itu diam, atau karena bagaimana ia selalu muncul tanpa banyak kata, atau karena Lauren merasa—untuk pertama kalinya setelah lama—tidak sendirian.

Ia kembali menyapu, kali ini lebih pelan.

“Bodoh,” gumamnya lirih pada diri sendiri.

Sore harinya, Lauren pergi berbelanja ke toko kecil di ujung jalan. Ia berjalan kaki, membawa tas kain. Di lorong-lorong toko, ia memilih barang dengan teliti, menghitung pengeluaran dalam kepala—kebiasaan seorang istri yang terlalu sering diminta “hemat”.

Saat ia berdiri di depan rak bumbu, tiba-tiba ia teringat bagaimana Asher berdiri di depannya beberapa hari lalu, melindunginya tanpa ragu. Ingatan itu datang bersama rasa hangat yang tidak ia minta.

Lauren menutup mata sejenak.

Ini hanya rasa terima kasih.

Hanya itu.

Saat pulang, ia melewati rumah Asher. Langkahnya melambat tanpa sadar. Ia tidak berhenti, tidak menoleh terlalu lama—hanya cukup untuk memastikan pintu rumah itu tertutup rapat.

Malam tiba.

Lauren memasak makan malam sederhana untuk Arga. Jam dinding berdetak pelan, terlalu pelan, seolah mengejek. Saat makanan selesai, Arga belum juga pulang. Ia duduk di meja makan seorang diri, menatap piring yang masih utuh.

Akhirnya, ia makan sendiri.

Rasanya hambar.

Di kamar, Lauren berbaring memunggungi pintu, menatap dinding. Pikirannya kembali melayang—bukan pada Arga, bukan pada rumah ini, melainkan pada pertanyaan yang mulai tumbuh tanpa ia sadari:

Kapan terakhir kali ada seseorang yang benar-benar memperhatikanku?

Dan jawaban itu—tanpa ia minta—datang dengan wajah seorang pemuda yang seharusnya tidak berada di sana.

Lauren memejamkan mata.

Ia tidak tahu bahwa di seberang jalan, di balik jendela yang redup, ada seseorang yang juga terjaga—

dan sama-sama tidak mengerti kapan segalanya mulai berubah.

Namun satu hal mulai jelas bagi Lauren malam itu:

ada perasaan asing yang pelan-pelan tumbuh di dadanya.

Bukan cinta.

Belum.

Hanya kesadaran bahwa ia masih bisa merasa—

dan itu, entah kenapa, terasa menakutkan

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!