Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.
Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Nggak Kangen?
Sore ini setibanya di rumah Raisa tanpa sengaja berpapasan dengan Zeean yang tengah bermain mobil remote sendirian di halaman. Anak lelaki tersebut dengan aroma khas orang selesai mandi menyentil indra penciuman Raisa.
"Gantengnyaaa yang udah mandi." Melihat Raisa yang mencoba berinteraksi dengannya Zeean seketika menghentikan pergerakan jemarinya pada konsol remote. Anak kecil tersebut ketika melihat Raisa langsung melangkah mundur beberapa meter. Raisa yang melihatnya kebingungan dan bertanya, "Kenapa? Kok menghindar dari tante?"
"Takut."
"Eh?"
"Kenapa kok takut? Ada yang salahkah sama wajah tante?" Raisa memeriksa mukanya, berharap perkataannya tidak benar. Ketika melihat Raisa sedang menyibukan diri mencari ada yang salah pada dirinya, Zeean tidak melepaskan kesempatan itu untuk mengambil mobil remotnya yang ada di dekat kaki Raisa dam segera membawanya pergi memasuki rumah.
Raisa kebingungan di posisinya.
"Pasti Zeean kaget karena Non Alya ramah sama dia." Suara Pak Dadang menginterupsi dari belakang. Raisa yang mendengarnya berbalik, bermaksud untuk menanyakan alasan informasi itu.
"Selama ini kalian berdua suka bertengkar kecil rebutin Mas Ardan, Non. Haha, mungkin Zeean bingung kali ya mendadak Non Alya ngajak dia bicara," lanjut Pak Dadang.
"Eh?"
Ingatan Raisa kembali terputar di hari pertama dia tiba di rumah itu dan makan malam bersama keluarga Ardan. Di hari itu jelas sekali Zeean meminta untuk dekat dengan Ardan dan Raisa menyetujuinya tanpa pikir ulang bahkan sampai berusaha mengajak anak kecil itu makan dan menyuapinya. Pantas saja waktu itu Zeean tampak kebingungan saat dia sodori lilitan bakmi di garpu.
"Non Alya memang kayak kesambet sih akhir-akhir ini abis dari rumah sakit. Udah mau berangkat kerja lagi, nggak berantem sama Zeean buat siapa yang harus deket sama Mas Ardan, dan ya lebih produktif dari sebelumnya—maaf Non, daripada sebelumnya ngikutin Mas Ardan ke mana-mana cuman dapet marahnya aja."
Memang kesambet, sih, Pak. Batin Raisa bertutur.
Dia ujungnya hanya menertawakan kalimat Pak Dadang. "Ah, enggak juga, Pak. Aku masih Alya yang sebelumnya."
****************
Seperti rutinitas biasanya. Malam hari seluruh keluarga Ardan akan berkumpul di meja makan. Kali ini tidak ada gerutuan dari siapapun, tak terkecuali Ardan. Lelaki itu yang biasanya sering marah-marah karena hal sepele kini diam tak bersuara. Semuanya khidmat menikmati makanan. Hal itu dikarenakan sumber naik pitamnya tidak begitu sering mengganggunya akhir-akhir ini, yang tak lain adalah Alya—Raisa sendiri.
Kendati begitu, malam ini sedikit berbeda. Interaksi Alya dengan Zeean bertambah lebih sering dilihat. Hal itu membuat Santi, Wardana, Elok, sampai Gerald tersenyum tanpa henti. Akhirnya cucu semata wayang keluarga itu bisa menjalani aktivitas makan malam seperti halnya tiga bulan lalu. Duduk di sebelah Ardan.
Mulut anak laki-laki tersebut penuh dengan sepotong bakso. Hal tersebut membuat Raisa gemas. Dia mengarahkan tangannya mengelus pucuk kepala Zeean. Kali ini anak tersebut tidak menghindar seperti terakhir kali Raisa melakukannya, dia justru balas tersenyum.
"Kamu takut sama tante ya?"
Zeean mengangguk.
"Maaf ya udah bikin takut selama ini. Mulai sekarang temenan sama tante mau nggak?"
Zeean terlihat ragu untuk menjawab. Bukannya menjawab mau atau tidak dia balik bertanya, "Emang tante mau temenan sama Zeean?"
"Mau dong!"
"Tante nggak mau rebut Om Ardan dari aku lagi kan? Aku boleh terus sama Om Ardan juga kan?" Anak laki-laki itu langsung merentet pertanyaan. Raisa yang mendengarnya sampai tertawa lucu. Dia mengangguk penuh semangat.
"Tentu boleh! Mau seharian sama Om Ardan boleh bangettt asal kalau Om lagi suntuk jangan digangguin ya!"
Zeean tampak gembira mendengarnya, sementara orang-orang dewasa yang ada di meja tersebut menatap Raisa tak percaya seolah apa yang diucapkannya adalah hal langka. Bahkan Ardan pun tidak luput memperhatikan dan memilih berhenti sejenak dari kegiatannya.
"Wahhh jadi kalian berdua temenan, nih!"
"Zeean temen mainnya tambah satu, nih!"
"Asyikkk boleh tuh nanti main bareng."
Seluruhnya berseru senang, tidak ada yang menyembunyikan kesenangannya.
"Zeean mau main bareng!" celetukan Zeean menambah api, Santi sampai berkali-kali mengucapkan betapa bahagianya dia malam ini. Perempuan itu sampai menggelendot di lengan Wardana yang ikut tersenyum, menunjuk-nunjuk posisi di mana Ardan, Raisa, dan Zeean satu baris.
"Om Ardan mau nggak main bareng Zeean?"
"Mau kok." Ardan menjawab.
"Besok yaaa, main ke pantai. Besok hari Minggu Zeean libur."
"Boleh."
"Sama tante Alya juga?"
"Nggak."
"Kenapa? Kan aku sama tante udah temenan, waktu itu tante juga udah pakai-pakai baju Om Ardan dibolehin."
Mendengarnya Raisa meringis, entah bagaimana cara mengatakan bahwa Raisa yang asal memakainya tanpa izin.
"Nggak kenapa-kenapa."
"Kalau nggak kenapa-kenapa, terus kenapa nggak dibolehin?"
"Ya nggak ada alasan."
Elok yang menyadari perubahan raut wajah adik iparnya langsung menyela, "Zee, Om Ardan tandanya mau habisin waktu sama kamu tuh berdua."
Raisa ikutan menyela, "Tenang aja, Zee. Besok tante ikut kok, ok?!"
Zeean mengangguk senang.
"Sekarang kita temenan, ya nggak?" Raisa mengangkat telapak tangannya, menunjukan ke hadapan Zeean yang langsung diterima. Mereka berdua melakukan high five. "Om Ardan itu bukan punya tante aja, ok? Kita boleh bagi-bagi Om Ardan, sip! Om Ardan punya kita semua."
"Om Ardan punya kita semua," ujar Zeean, mengulangi kalimat terakhir Raisa.
Raisa selepas begitu melirik pada Ardan, dia cekikikan kecil melihat bagaimana lelaki itu dadanya kembang kempis ingin meledak. Lelaki itu balik menatap, menyalang kesal.
"Apa yang sekarang lo rencanain sinting?" Kalimat itu diucapkan pelan, tetapi Raisa mampu membaca pergerakan bibirnya dengan tepat.
****************
Seorang perempuan nampak meregangkan badannya di atas kasur. Dia berguling dari sisi ke sisi, mengitari tempat empuk tersebut. Tanpa sadar bibirnya bersenandung, meluapkan kebahagiaan kecil yang meletup-letup di hatinya. Perempuan itu adalah Raisa. Sedari tadi tak berhenti tersenyum, dia berpikir setidaknya ada satu yang berjalan sendirinya meskipun tanpa dia rencanakan dahulu sebagai jalan untuk mencapai tujuannya. Sungguh sebuah keberuntungan.
Pergi dengan Ardan. Artinya akan ada banyak waktu untuk mereka bersama. Akan ada kesempatan lain untuk membuat lelaki itu balas mencintai Alya.
"Nggak sabar besok hahaha!" Dia berteriak ke seisi kamar. Sejurus kemudian pintu terdorong, membuka dan menampilkan wajah Ardan di sana.
Raisa sontak terduduk di tepi kasur. Dia bergeser ke satu sisi lain agar Ardan memiliki cukup tempat. Tetapi lelaki itu berbelok ke sofa lalu berbaring di sana. Melihat itu alis Raisa berkerut, dia bangkit dan mendekati pria tersebut.
"Kenapa tidur di sini?"
Tidak ada jawaban.
"Sejak aku pulang dari rumah sakit kenapa kalau malam nggak pernah di rumah. Terus sekalinya di rumah, misah?"
Masih tidak ada jawaban.
"Dan?"
Tetap diam.
"Ardan?"
Masih bergeming.
Mendapati sikap lelaki yang terlihat tak terganggu itu memunculkan ide Raisa. Dia segera mengambil bantal tidurnya, membawanya ke sekitar Ardan. "Oh, mau tidur berdua di sini?" Tanpa perlu jawaban Raisa langsung merobohkan diri di samping Ardan.
Seluncur tendangan membuat Raisa terjerembab. Dia mengaduh. "Jahat banget, sih!"
"Nggak usah ganggu gue bisa nggak?!"
"Nggak."
Pembicaraan berhenti. Raisa yang melihat diamnya Ardan langsung kembali menceletuk, menanyai lelaki itu, "Kamu nggak kangen aku?"
"Nggak."
"Beneran?"
"Ya."
"Sumpah?"
"Bacot."
"Ih, kasar." Tampak raut wajah Ardan merah padam. Raisa terkikik melihatnya. Dia hendak mengajak bicara lagi tapi lelaki itu lebih cepat bergerak meraih daun pintu, berniat pergi dari sana.
"Mau kemana?"
"Pergi."
"Ya kemana?"
"Lo nggak perlu tau."
"Ih, udah suami istri masih main rahasiaan."
"Bacot."
"Ih, kasar."
"Emang."
Raisa tertawa. Daun pintu mulai diputar dan Raisa langsung mengambil langkah mundur. Dia mengangkat kedua tangannya seolah menyerah.
"Okeyyy, okeyy. Aku nggak ganggu lagi, tapi tolong jangan pergi."
"Sumpah aku nggak ganggu! Aku udah di atas kasur sekarang! Sumpah, Dan! Beneran jangan pergi!"
Mendengar daun pintu bergerak Raisa langsung melompat ke kasur. Dia benar-benar memegang ucapannya. Bahkan sampai mematikan lampu kamar dan diganti dengan yang temaram.
Lewat sudut matanya Raisa melirik. Entah kenapa dia melega ketika sosok pria yang beberapa detik lalu mau keluar dari tempat mereka berdua berada kini berbalik dan merebahkan diri di sofa.
Raisa dengan mata yang sudah terpejam bertanya, "Kamu beneran nggak kangen sama aku?"
Lagi dan lagi, Raisa hanya dibalas oleh kesunyian.
"Dan? Masih dengerkan? Atau udah tidur?" Terdapat jeda sejenak sebelum dia melanjutkan, "Sama, sih, aku juga nggak kangen ke kamu, tapi ada yang beda dikit gitu rasanya kalau kamu nggak ada." Kalimat terakhir itu dia ucapkan dengan jelas, namun tanpa harap biar Ardan mendengar. Bahkan justru jangan sampai lelaki itu mendengarnya.