ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Tap Tap Tap.
Adelia menaiki anak tangga satu per satu. Debu tebal menempel di lantai, meninggalkan jejak jelas setiap kali seseorang melangkah melewatinya. Gedung tua ini terasa seperti tenggorokan yang sudah lama tak dialiri udara—sunyi, dingin, dan penuh misteri yang tak enak.
“Gugh… kenapa kau mengikutiku?” bentak Adelia tanpa menoleh.
“Aku tidak mengikutimu!” ujarku penuh percaya diri.
Ya… jelas aku mengikutinya. Tapi biarlah, harga diri harus tetap dijaga.
Adelia memutar tubuh sedikit, menatapku dengan mata menyipit kesal.
“Jangan bohong. Dari tadi jelas sekali kau mengikuti langkahku.”
Aku menghela nafas panjang.
“Aku tidak bisa meninggalkan gadis kecil nan lemah seperti dirimu menghadapi bahaya sendirian,” jelasku sambil mencoba meniru nada pahlawan keren di film-film.
Hasilnya?
Adelia justru memasang ekspresi seperti baru menelan obat kedaluwarsa.
Ugh… sepertinya tidak mempan. Mungkin… memang wajahku tidak mendukung. Padahal kemampuan aktingku lumayan. Tch. Kenapa malah aku yang jadi kesal?
“Baik, baik… bisakah kau berhenti memasang ekspresi itu?” keluhku sambil menaiki tangga lebih cepat, mendahuluinya. “Aku ingin bolos sekolah. Jadi kupikir ini alasan yang tepat.”
Adelia mendengus keras, jelas kesal.
“Apa kau tahu apa yang sedang kau lakukan?!” teriaknya. Ia berlari mengejar lalu menarik tanganku paksa. “Ini bukan permainan. Kau bisa mati kapan saja. Kau hanya manusia biasa!”
“Tenang saja…” kataku santai.
“Apa?” wajahnya menegang.
“…Kau pasti akan melindungiku, kan?” jawabku dengan senyuman sok manis.
Adelia terdiam.
Tentu saja dia terdiam—bukan karena tersentuh, tapi karena semakin geregetan. Alih-alih mengaku kuat, aku malah minta dilindungi? Ya, bisa ditebak, itu membuatnya makin marah.
Keningnya berkerut, giginya bergemeletuk.
Huuuuff…
Dalam keheningan gedung tua, suara helaan napas frustrasinya terdengar jelas.
“…Kau tidak akan pergi apapun yang terjadi?” tanyanya akhirnya, menatapku tajam.
Aku menyeringai lebar. “Ya.”
Seketika suasana berubah drastis. Udara yang tadinya hanya tegang kini seperti dicekik oleh sesuatu yang jauh lebih gelap. Sekejap mata, hawa membunuh menyembur dari tubuh Adelia—padat, tajam, dan dingin seperti bilah logam yang baru saja keluar dari es.
Cairan hitam merembes dari punggung dan pundaknya, menetes seperti tinta hidup sebelum naik ke udara, membentuk gumpalan besar yang berdenyut. Aroma logam tipis menusuk hidung, seperti bau darah yang nyaris tidak terdeteksi.
Lalu wujud itu terbuka.
KIEEEEEKKKK!
Pekikannya mengguncang udara. Elang raksasa berwarna hitam keperakan muncul di belakang Adelia—bayangannya menutupi dinding, lantai, bahkan langit-langit. Bulu-bulunya tampak seperti asap padat yang terus bergerak, dan matanya menyala redup seolah dipenuhi murka dunia lain. Suara kepaknya saja sudah cukup membuat tulang belakang siapa pun terasa bergetar.
Jika ada orang normal di sini, mereka pasti sudah jatuh berlutut.
Tapi aku… hanya berdiri. Menatapnya tanpa bergeming.
Bukan karena berani. Lebih tepatnya… aku sudah terlalu sering melihat yang lebih buruk dari ini. Atau karena aku mulai kehilangan kewarasan. Aku pun tidak yakin mana yang benar.
Adelia melangkah maju setengah langkah, matanya menyipit, nafasnya terdengar berat—seolah ia berusaha menahan sesuatu yang terus mendorong dari dalam.
“Apa kau pikir aku tidak akan menyakitimu?” suaranya rendah, hampir seperti geraman. Ada getar emosi yang sulit dijelaskan; marah, takut, dan… sedih?
Elang hitam di belakangnya mencondongkan kepala, siap menerkam.
Aku menahan senyum, bukan mengejek—lebih seperti… pasrah yang tercampur kepayahan.
“Memangnya kau berani?” balasku pelan, bibirku terangkat membentuk senyum tipis.
Adelia mengerutkan kening. “Apa?”
Aku menarik napas. “Orang sebaik dirimu tidak mungkin menyakiti orang lain.”
Kalimat itu keluar begitu saja. Tapi aku tahu itu benar.
Mulutnya memang pedas. Sikapnya keras. Tapi Adelia… selalu berhenti ketika akan melukai seseorang. Dia yang marah duluan kalau ada orang diperlakukan tidak adil. Dia bahkan tidak tahan melihat orang menangis—inilah yang paling jelas kulihat darinya.
Adelia membatu seperti seseorang yang dihantam sesuatu tepat di dada.
Elang raksasa itu berhenti bergerak. Matanya meredup.
Cairan hitam yang membentuk tubuhnya mulai bergetar, lalu mencair kembali seperti tinta yang kehilangan bentuk. Perlahan-lahan, ia mengalir turun, kembali menempel pada kulit Adelia sebelum terserap ke dalam tubuhnya.
Hawa membunuh itu… lenyap. Bersih, seolah tidak pernah ada.
“…Terserah,” ujarnya akhirnya. Ia berjalan melewatiku tanpa menatap. “Lakukan sesukamu. Yang penting kau tidak menjadi beban.”
Aku tersenyum kecil, lalu menyusul langkahnya.
“Tenang saja. Aku akan langsung bersembunyi kalau kutukan itu muncul.”
“Hm. Memang seharusnya!”