NovelToon NovelToon
SATU MALAM YANG MENINGGALKAN TRAUMA

SATU MALAM YANG MENINGGALKAN TRAUMA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dikelilingi wanita cantik / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:286
Nilai: 5
Nama Author: ScarletWrittes

Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.

Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11

“Emang kamu berpikir apa soal saya?”

Helen hanya diam dan mencoba untuk melarikan diri, tapi dirinya tertahan karena tidak bisa kabur dari bosnya sendiri.

“Kamu mau pergi ke mana?”

“Ya saya mau pergi kerja lah. Kan saya lagi kerja sekarang.”

“Kok kamu bisa berpikiran seperti itu sih?”

Xavier hanya tersenyum melihat tingkah laku Helen. Dirinya tidak menyangka kalau Helen banyak berubah, tapi satu hal yang tidak berubah darinya: sifat penakutnya.

“Saya juga nggak apa-apain kamu, kali. Maksud saya itu, temenin saya sebagai teman ngobrol doang, bukan sebagai apa-apa.”

“Bilang dong dari tadi, kan saya nggak tahu maksudnya Bapak itu apa. Saya pikir Bapak mau macam-macam sama saya.”

“Lagian kamu bukan tipe saya. Ngapain saya harus begitu ke kamu.”

Helen yang mendengar itu merasa tersinggung dan tidak menyangka kalau bosnya akan berkata seperti itu.

“Loh, bukannya Bapak suka sama saya, ya?”

“Enggak. Saya cuma isengin anak kecil aja. Makanya saya juga merasa bersalah karena isengin anak kecil. Maafin saya, ya.”

Helen yang mendengar itu merasa tidak terima. Seharusnya dirinya merasa lega dan senang, tapi entah kenapa malah ada rasa sedih di hatinya.

“Jadi sebenarnya Bapak itu nggak suka sama saya, gitu?”

“Enggak. Karena saya nganggap kamu itu sebagai adik saya doang.”

“Maksud Bapak apa sih? Saya nggak paham.”

“Jadi dulu saya punya adik cewek. Adik cewek itu mirip banget sama kamu. Jadi saya pikir, ada sisi dia dalam diri kamu. Tapi ya, kamu orang yang berbeda, sih. Bukan seperti adik cewek saya itu.”

Helen merasa cemburu dengan adik perempuan yang disebut oleh bosnya, tapi dirinya tidak bisa berkata apa-apa.

“Jadi Bapak punya adik juga dulu?”

“Bukan adik beneran, sih. Cuma adik-adikan doang. Tapi saya udah nggak anggap dia sebagai adik saya lagi.”

“Terus, orang itu menganggap Bapak sebagai kakaknya juga atau enggak?”

Xavier hanya tersenyum dan tidak mau berbicara lebih lanjut soal adik-adikannya itu.

“Nggak usah dibahas soal dia. Saya yakin dia udah bahagia sekarang.”

“Emang dia kenapa, Pak?”

Xavier memilih diam agar Helen tidak banyak bertanya soal wanita itu.

Helen merasa, sepertinya wanita itu sangat berperan penting di dalam hidup bosnya, sampai-sampai Xavier tidak mau berbicara soal dirinya. Helen pun merasa iri terhadap wanita itu. Rasa ingin tahunya sangat besar.

“Jadi saya di sini cuma diam-diam aja nih sama Bapak, nggak perlu ngomong apa-apa?”

“Ya kamu mau ngomong apa, ngomong aja. Saya bakal dengerin kok.”

“Masalahnya, Bapak nggak mau ngomong, jadi saya juga bingung mau ngomong apa sama Bapak.”

Xavier berpikir, apakah selama ini dirinya selalu menganggap Helen seperti adiknya waktu kecil? Tidak seharusnya ia melakukan hal seperti itu kepada Helen. Bagaimanapun juga, mereka berdua adalah orang yang berbeda dengan nama yang sama.

“Kalau memang kamu mau kerja, nggak apa-apa. Kerja aja. Saya juga mau pulang ke rumah, lagi capek banget dan butuh istirahat. Ya, cukup ya.”

“Baiklah, kalau gitu hati-hati ya, Pak, di jalan.”

“Ya, makasih. Dan kalau kamu udah pulang, pulang aja pakai kendaraan kantor. Itu disediakan untuk kamu, jadi jangan merasa terbebani, ya.”

Helen mendengar itu merasa sedikit terbeban, tapi mau bagaimana lagi — itu memang sudah rezekinya.

Akhirnya Helen keluar dari ruangan itu dan merasa hampa ketika menutup pintu di belakangnya. Ia menyadari bahwa terkadang semua tindakannya memiliki arti tersendiri, meski ia tidak selalu menyadarinya.

Xavier pun pulang tanpa berkata apa-apa, bahkan tidak menoleh sedikit pun ke belakang. Ia mencoba mengikhlaskan adik-adikannya itu dan berharap semoga adiknya hidup dengan baik di luar sana.

Xavier ingin sekali berjumpa dengannya, tapi ia tahu bahwa adiknya pasti sudah dewasa sekarang dan tidak lagi menjadi anak kecil.

Saat bertemu dengan Helen, Xavier tidak merasakan perasaan yang sama seperti saat dulu bersama adiknya. Rasanya seperti asing.

“Apakah memang tidak ada kesempatan lagi untuk bertemu dengan adik-adikku itu?” batinnya.

Sesampainya di rumah, Xavier menatap ke arah jendela. Gedung-gedung tinggi di luar sana penuh dengan cahaya lampu dan harapan.

“Di mana kamu, Dek, sekarang? Pasti kamu sudah dewasa, ya. Kakak kangen banget sama kamu, tapi kenyataannya kakak nggak tahu kamu itu ada di mana sekarang. Lucunya, kakak malah bertemu dengan wanita yang namanya mirip banget sama kamu. Tapi kalau dilihat dari sikapnya, dia berbeda sih. Kamu dulu anaknya pemberani, sementara wanita itu sangat-sangat berani, bahkan sampai kakak sempat berpikir kalau dia itu kamu... tapi kayaknya bukan.”

Xavier menghela napas, lalu pergi mandi. Setelah keluar dengan handuk di badannya, ia kembali berbicara pelan, seolah kepada dirinya sendiri.

“Kakak berharap bisa ketemu sama kamu, walaupun kakak nggak tahu kamu ada di mana sekarang. Tapi kakak tetap berharap.”

Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya. Xavier mengusapnya pelan.

“Kenapa aku nangis, ya? Padahal nggak diapa-apain sama siapa pun.”

Mungkin, pikirnya, itu adalah rasa sedih karena tidak bisa bertemu dengan adiknya.

“Mungkin ini rasa sedih kakak karena nggak bisa ketemu kamu, Dek. Harusnya dulu kakak lebih peka dan nggak ninggalin kamu.”

Xavier terus merasa bersalah karena tidak bisa membantu adik kecilnya yang bernama Helen. Ia bertekad, walaupun sulit, akan mencari adiknya itu sampai ketemu.

 

Keesokan paginya

Di meja makan, bibi menghampiri Xavier yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya.

“Hari ini makan apa, Bi?”

“Hari ini makanan kesukaan Tuan. Nggak terlalu berat, tapi mengenyangkan.”

Xavier memang sangat suka nasi goreng. Entah kenapa, setiap kali bibinya memasak nasi goreng, dirinya merasa bahagia.

Ia merindukan suasana rumah, meski sebenarnya ia tidak pernah merasakan kasih sayang keluarga sejak kecil.

“Gimana, Tuan? Enak nggak makanannya?”

“Enak. Saya suka makanan kayak gini, kayak makanan rumahan. Padahal saya sendiri nggak pernah ngerasain makanan rumahan sebelum ada Bibi. Jadi saya tahu rasanya sekarang. Makasih ya, Bi.”

“Sebenarnya ini makanan yang sangat sederhana, Tuan. Anak saya juga suka banget nasi goreng. Katanya, masakan ini simple, enak, dan mengenyangkan.”

Xavier tersenyum. “Berarti Bibi nganggap saya anak Bibi juga dong?”

“Mana berani, Tuan. Tuan kan bos saya. Kalau saya berbuat seperti itu, bisa-bisa saya dipecat.”

Xavier tertawa terbahak-bahak, tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu, Bibi sudah menjaganya sejak kecil — utusan dari kakeknya yang membesarkannya dengan disiplin keras.

“Nggak apa-apa sih, Bi. Saya aja udah nganggap Bibi itu kayak mama saya sendiri.”

Bibi tersenyum haru. “Makasih banyak ya, Tuan. Padahal saya merasa nggak pantas diperlakukan seperti itu. Tuan kan orang terpandang, sedangkan saya cuma pembantu.”

“Emangnya kalau Bibi pembantu, Bibi bukan manusia, ya? Bibi juga manusia. Menurut saya, memperlakukan sesama manusia itu nggak perlu pakai status apa-apa.”

Bibi tersenyum bahagia. Ia merasa bersyukur karena memiliki majikan sebaik Xavier — anak yang ia rawat sejak kecil hingga dewasa, dan tetap berhati lembut sampai sekarang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!