Pernikahan Adelia dan Reno terlihat sempurna, namun kegagalan memiliki anak menciptakan kekosongan. Adelia sibuk pada karir dan pengobatan, membuat Reno merasa terasing.
Tepat di tengah keretakan itu, datanglah Saskia, kakak kandung Adelia. Seorang wanita alim dan anti-laki-laki, ia datang menumpang untuk menenangkan diri dari trauma masa lalu.
Di bawah atap yang sama, Reno menemukan sandaran hati pada Saskia, perhatian yang tak lagi ia dapatkan dari istrinya. Hubungan ipar yang polos berubah menjadi keintiman terlarang.
Pengkhianatan yang dibungkus kesucian itu berujung pada sentuhan sensual yang sangat disembunyikan. Adelia harus menghadapi kenyataan pahit: Suaminya direbut oleh kakak kandungnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Jam alamiah baru menunjukkan pergantian dari gelap menuju fajar. Pada saat di mana kesunyian menjadi satu-satunya raja, dan bayangan-bayangan panjang mulai memudar.
Saskia berdiri di ambang pintu utama, memegang erat tas punggung kecilnya. Keheningan subuh terasa seperti sebuah izin terakhir untuk melarikan diri. Ia baru saja akan memutar kenop pintu ketika ia merasakan sebuah kehadiran di belakangnya.
"Kak?"
Saskia tersentak, tubuhnya kaku seperti patung yang tertangkap basah. Suara Adelia.
Adelia berdiri di ujung lorong, baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya sedikit acak-acakan, wajahnya polos tanpa riasan, mengenakan bathrobe sutra. Matanya setengah terpejam karena kantuk, tetapi ia segera sadar melihat adiknya membawa tas dan siap melangkah ke malam yang gelap.
"Kakak mau ke mana?" tanya Adelia, suaranya pelan, kaget, tetapi tanpa tuduhan.
Saskia berbalik, air mata yang sudah ia tahan sejak tadi malam tumpah seketika. Ia tidak bisa berbohong pada mata adiknya yang polos itu.
"Adelia... Maafkan aku," bisik Saskia, langkahnya mundur menjauhi pintu. "Aku... aku harus pergi. Aku ingin kembali ke kampung, aku tidak bisa lagi di sini."
Adelia melangkah mendekat, matanya kini terbuka lebar, dipenuhi kebingungan dan kesedihan.
"Pergi? Kenapa mendadak? Kenapa harus selarut ini? Apa Mas Reno menyakitimu?" tanya Adelia, tangannya memegang lengan Saskia.
"Tidak! Mas Reno tidak bersalah!" sergah Saskia cepat-cepat, suaranya panik. Ia harus melindungi Reno. "Aku yang bersalah. Aku... Aku merasa tidak pantas, Del. Aku merasa terlalu menjadi beban dan pengganggu. Aku terus teringat Ibu dan Ayah. Aku harus ke makam mereka. Aku harus menenangkan diri dari semua ini."
Saskia sengaja membalikkan narasi, menggeser beban ke perasaannya tentang masa lalu dan orang tua. Alasan ini adalah alibi paling sempurna, karena Adelia selalu merasa bersalah karena tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengan orang tua mereka di akhir hayat.
Adelia menatap Kakak nya yang rapuh, membawa tas kecil dan mukena di tangannya. Firasat buruk yang ia rasakan di luar kota kembali menghantamnya. Ini adalah harga dari kesibukan dan ambisinya.
"Ya Tuhan, Kakak. Aku minta maaf. Maafkan aku yang terlalu sibuk, terlalu fokus pada diriku sendiri. Aku tidak menyadari kamu merasa sesepi ini," lirih Adelia, memeluk Saskia erat-erat. Pelukan itu tulus dan hangat, membuat Saskia semakin merasa hancur karena pengkhianatannya.
Adelia melepaskan pelukan itu, matanya berkaca-kaca namun menunjukkan ketegasan yang biasa ia tunjukkan saat mengambil keputusan bisnis.
"Tidak, Kak. Kamu tidak akan pergi sendiri." Adelia memegang kedua pipi Saskia. "Kamu tidak akan pergi ke makam sendirian. Aku akan ikut. Aku akan membatalkan semua jadwalku. Aku tidak mau kamu kembali ke kampung dan merasa sendiri lagi."
Saskia menggeleng lemah.
"Tidak, Del. Jangan korbankan pekerjaanmu. Aku bisa sendiri."
"Pekerjaan bisa menunggu. Keluarga tidak," tegas Adelia.
"Kita akan ke sana bersama. Kita akan pergi pagi ini. Dan kita akan ajak Mas Reno. Dia suamiku, dan dia sekarang adalah bagian dari keluarga kita."
Saskia hanya bisa menatap Adelia, tidak bisa menolak cinta dan kebaikan adiknya. Keputusan Adelia terasa seperti perangkap yang ia ciptakan sendiri, sebuah lubang yang ia gali dengan tangannya sendiri.
Saat tirai pagi tersingkap, menyambut mentari pertama yang malu-malu.
Reno terbangun, terkejut mendapati Adelia sudah rapi, mengenakan pakaian santai, dan terlihat tegang.
"Ada apa, Sayang? Kenapa kamu sudah bangun sepagi ini? Bukankah kamu harus istirahat?" tanya Reno, suaranya serak.
"Mas, kita ada urusan mendesak," kata Adelia, nadanya serius. Ia menceritakan kejadian subuh dan keputusannya.
"Kakak mau kabur. Dia merasa tidak bahagia di sini. Kita akan menemaninya pulang ke kampung. Aku sudah bilang pada sekretarisku, semua jadwalku batal."
Wajah Reno seketika pucat pasi. Ia panik, bukan karena terkejut Saskia pergi , tetapi karena rancangan baru Adelia.
"Ke kampung? Berarti... kita akan ke sana berdua dengannya?" Reno berusaha menyembunyikan getar suaranya. Ia merasakan keringat dingin membasahi punggungnya.
"Bertiga, Mas. Tentu saja. Kamu harus ikut. Kakak butuh kita berdua. Anggap saja ini mini-vacation mendadak. Kamu akan menyetir, ya? Lebih cepat daripada kereta." Adelia tidak menerima bantahan.
Reno tidak bisa menolak tanpa mengungkapkan kebenaran yang mengerikan. Ia harus ikut. Ia harus terjebak dalam perjalanan dan rumah masa lalu dengan Saskia, di bawah pengawasan ketat Adelia.
Ini adalah hukuman yang ia dapatkan dari surga, sebuah perjalanan yang tak terhindarkan.
Tiga jam kemudian, mobil melaju kencang, membelah jalanan yang dipenuhi kabut pagi.
Perjalanan terasa sunyi dan penuh ketegangan. Adelia duduk di samping Reno, sesekali menyentuh lengan Reno, bersyukur suaminya mau menemaninya.
Saskia duduk di kursi belakang, menjauh, menatap pemandangan yang berkelebat di luar jendela. Reno sesekali melirik Saskia dari kaca spion, melihat profil Saskia yang terlihat rapuh dan lelah, namun memancarkan keteguhan.
Saskia menghindari tatapan Reno. Ia tahu, perjalanan ini adalah siksaan. Ia harus melihat kemesraan adiknya, sementara ia membawa rahasia ciuman itu di bibirnya.
Menjelang senja, mereka tiba di desa kecil yang sejuk.
Rumah lama mereka, rumah yang mereka tempati bersama orang tua mereka, masih berdiri tegak. Adelia sudah menghubungi pemilik baru sebelumnya, seorang wanita tua yang baik hati.
"Silakan, Nak. Saya belum mengubah apa-apa. Kalian boleh menginap dua malam di sini. Anggap saja ini mengenang masa lalu," kata pemilik baru itu dengan ramah.
Rumah itu memang tidak berubah. Bau tanah basah, aroma kayu tua, dan bahkan beberapa perabotan lama masih tetap di sana.
Kenangan masa kecil yang polos langsung menyeruak, memukul memori Saskia dengan nostalgia yang menyakitkan.
Reno, dengan cepat, meletakkan koper. Kamar utama ,tempat orang tua Saskia dan Adelia dulu tidur,kini menjadi kamar mereka.
Saskia kembali ke kamar lamanya sebuah kamar kecil di dekat dapur.
Malam itu, setelah makan malam yang sunyi, Adelia memutuskan untuk istirahat. Ia terlihat lelah secara emosional.
"Mas, aku tidur duluan, ya. Aku lega Kakak baik-baik saja sekarang. Aku akan memelukmu sebentar," kata Adelia, lalu mencium Reno sekilas, dan masuk kamar.
Reno duduk sendiri di ruang tengah, di dekat meja kayu tua yang penuh ukiran masa lalu. Ia mencoba membaca koran lama, tetapi matanya tidak fokus.
Tiba-tiba, Saskia keluar dari kamarnya. Ia datang ke ruang tengah, berdiri di depan meja kayu.
"Meja ini... tidak pernah berubah," bisik Saskia, suaranya pelan dan penuh nostalgia. Ia menyentuh meja itu, seolah menyentuh kenangan lama yang hilang.
Reno mendongak. Di ruang tengah yang hanya diterangi lampu remang-remang, di rumah yang penuh kenangan masa kecil mereka, Reno dan Saskia kembali sendirian.
Jarak ribuan kilometer yang memisahkan mereka sudah hilang. Mereka kini terjebak dalam keintiman yang dipaksakan oleh takdir dan kebaikan Adelia, di tengah bisikan kenangan masa lalu yang polos.