Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Alma terdiam.
Tatapannya tidak marah, hanya datar dan penuh pikir.
Harsya melanjutkan pelan,
“Tapi bukan berarti saya menganggap kamu pelarian, persinggahan, atau selingan. Tidak. Saya ingin kamu menjadi bagian dari dunia saya… saya mencintaimu, dengan cara saya.”
Kata-kata itu menggantung lama di udara.
Mungkin bagi orang lain terdengar egois, tapi bagi Alma justru kejujuran itulah yang membuatnya lemah.
Ia menatap ke luar jendela, ke arah kelap-kelip lampu kota.
Hidup selalu punya cara yang aneh untuk mempertemukan dua jiwa kadang di tempat yang salah, pada waktu yang keliru.
Dan malam itu, tanpa sadar, Alma berhenti menyangkal.
Alma duduk di seberangnya, memegang cangkir teh yang sudah kehilangan uap.
Beberapa menit mereka hanya diam.
Sampai akhirnya Alma berbisik pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Saya tidak tahu ini benar atau salah. Tapi saya tidak bisa menyangkal perasaan saya."
Harsya tak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan lembut.
Lalu, perlahan, menyentuh tangan Alma di atas meja tanpa paksa, tanpa kata.
Keheningan menggantung di antara mereka setelah Harsya mengakhiri kalimatnya.
Suara musik lembut dari pengeras ruangan nyaris tak terdengar, hanya denting sendok yang beradu dengan cangkir.
Alma menatapnya dalam diam, lalu tersenyum tipis.
Ada kegetiran di sana, tapi juga ketenangan.
“Saya tahu posisi saya, Pak. Bapak tidak perlu khawatir tentang hal itu.”
Nada suaranya datar, tapi bukan tanpa perasaan.
Ia tidak bicara dengan nada tunduk, melainkan nada orang yang telah lama berdamai dengan kenyataan.
Harsya mengangguk pelan ada rasa lega, tapi juga getir.
Mungkin karena ia tahu, perempuan di depannya ini terlalu kuat untuk dijinakkan, terlalu sadar untuk dibohongi.
“Alma,” katanya pelan,
"Kamu perempuan yang sulit ditebak.”
Alma tersenyum samar.
Beberapa detik mereka hanya saling menatap.
Lalu Harsya mengulurkan tangan, menyentuh punggung tangan Alma.
Sentuhan yang ringan, tapi mengandung banyak hal yang tak terucap.
Alma tidak menarik tangannya, tapi juga tidak membalas.
Ia hanya membiarkan momen itu menggantung — seperti dua orang yang tahu bahwa mereka baru saja melangkah ke tempat yang tidak seharusnya, tapi juga tidak ingin mundur.
Satu minggu setelah pertemuan di resto itu , Alam mendapat kejutan.
Harsya yang menyiapkannya.tanpa banyak bicara, hanya memberi kunci dalam sebuah amplop kecil.
"Ini untukmu,” katanya singkat waktu itu.
“Agar kamu punya ruang sendiri… tanpa mata siapa pun.”
"Apa ini pak?."
Harsya hanya tersenyum tipis tidak menjawab.
Apartemen itu berdiri di kawasan Pandan Sari, tidak terlalu ramai, tapi cukup dekat dengan pusat kota.
Dari luar, tampak seperti hunian biasa — hanya beberapa unit dengan balkon kecil menghadap ke arah barat.
Namun bagi Alma, tempat itu perlahan menjadi sesuatu yang lain ruang sunyi di mana ia tidak perlu berpura-pura kuat.
Sejak hari itu, Alma mulai terbiasa datang ke sana setelah bekerja.
Ia membersihkan, menata ulang, menaruh beberapa pot tanaman kecil di dekat jendela.
Kadang, hanya duduk diam sambil menatap lampu kota dari balkon
Seminggu dua kali, Harsya datang.
Kadang hanya membawa makanan, kadang sekadar ingin memastikan Alma baik-baik saja.
Di ruangan itu, mereka jarang bicara soal masa depan.
Harsya tahu batasnya, dan Alma tidak pernah menanyakan hal yang tidak perlu.
Namun setiap kali pintu tertutup di belakang lelaki itu, suasana berubah menjadi hangat, tapi juga sunyi.
Bagi Alma, tempat itu bukan kemewahan.
Itu hanya ruang untuk bernapas.
Dan setiap kali ia berdiri di balkon, menatap kelap-kelip kota, ia tahu betul bahwa kebahagiaan ini tidak akan abadi.
Pagi itu, matahari menembus tirai apartemen Pandan Sari, menciptakan semburat hangat di ruangan yang masih tenang.
Alma baru saja menyalakan mesin kopi ketika ponselnya bergetar di meja makan.
Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
“Al, besok saya ada pertemuan di luar kota, acara amal. Kamu temani saya, ya?”
Alma membaca pesan itu dua kali, untuk memastikan bahwa ia tidak salah baca.
Tangannya berhenti di udara, lalu ia mengetik perlahan.
"Tapi Mas?."
Tidak menunggu waktu lama balasan datang.
"Tapi kenapa?Disana tidak ada yang mengusik tentang kehidupan pribadi orang lain,"Balas Harsya seolah bisa membaca apa yang menjadi keraguan Alma.
Alma menatap latar ponsel itu lebih lama.
Ia tahu apa yang dimaksud Harsya — bahwa dunia punya caranya sendiri untuk menebak-nebak sesuatu yang tak seharusnya diketahui.
Keesokan harinya, Harsya menjemputnya di depan apartemen.
"Al aku dibawah, sudah siap belum?."
"Sebentar ya Mas saya turun."
"Dengan senang hati ,saya akan menunggu."
Mereka tertawa kecil — tawa yang hangat tapi hati-hati, seperti dua orang yang tahu sedang berjalan di garis tipis antara rasa dan rahasia.
Ketika Alma muncul di hadapannya ,Harsya terpaku sesaat melihat perempuan di depannya, ia nyaris tidak berkedip.
"Al...benarkah ini Alma?."Ujar Harsya sambil menatapnya dengan campuran antara rasa bangga dan takjub.
Alma tampil menawan dengan balutan gaun dari sutra berwarna hitam pekat rambutnya di cepol sederhana, membiarkan beberapa helai jatuh di sisi wajah. Tidak ada sisa aroma malam Grand Amartha dalam dirinya pagi itu hanya elegansi tenang yang membuat waktu seakan melambat.
"Apa sih Mas ahh." Ucap Alma tersipu merasa Risih dengan tatapan Harsya.
"Cantik sekali kamu." Gumam Harsya sambil kembali memandang kearah Alma.
Perjalanan menuju kota tempat acara berlangsung memakan waktu hampir dua jam.
Sepanjang jalan, suasana di dalam mobil terasa hangat tapi tenang.
Alma duduk di kursi samping Harsya matanya sesekali menatap jalanan yang berkelok di luar jendela.
Sementara itu, Harsya sibuk dengan panggilan kerja — suaranya tegas, tapi setiap kali panggilan selesai, ia sempat melirik ke arah Alma.
“Capek?” tanyanya sambil tersenyum tipis.
Sedikit,” jawab Alma, menatap ke depan.
“Kalau begitu, tidur saja sebentar. Mas janji, nanti Mas bangunkan kalau sudah sampai.”
Nada suaranya begitu tenang, seolah dunia di luar mobil berhenti bergerak.
Alma menunduk, lalu bersandar perlahan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa aman.
Ballroom hotel itu berkilau bagai istana kaca. Gaun-gaun mahal berayun, suara tawa lembut menyatu dengan denting gelas sampanye. Di antara keramaian itu, Harsya berdiri di sisi ruangan, mengenakan Batik berwarna hijau sage yang membingkai sosoknya dengan sempurna. Ia sedang berbincang dengan rekan bisnisnya ketika pandangannya terhenti.
Beberapa pasang mata menatapnya dengan tatapan kagum
"Siapa dia?” bisik seseorang di antara para tamu.
“Iya baru sepertinya…” sahut yang lain.
Harsya hanya tersenyum samar.
“Seseorang yang membuat dunia terasa sedikit lebih lambat,” jawabnya pelan.
Dari kejauhan, Harsya memperhatikan dengan saksama.
Ia berdiri bersama beberapa kolega, namun pandangannya kerap berpindah mencari sosok Alma di antara kerumunan.