Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis berbeda
Jantung Arjuna berdebar tidak karuan. Bukan karena antusiasme, melainkan perpaduan antara kesal, panik, dan perasaan terburu-buru yang mencekik. Keputusannya untuk menyusul Kanaya adalah satu-satunya pilihan logis.
Mamanya sedang dalam perjalanan ke apartemennya.
Pesan itu jelas: "Mama tunggu penjelasanmu malam ini!"
Ini adalah alarm bahaya. Ratih tidak mungkin datang hanya untuk kunjungan biasa. Dia datang untuk menuntut jawaban, dan kemungkinan besar, untuk menghancurkan pernikahan ini.
Arjuna memukul setir saat mobilnya terjebak lampu merah. "Sialan!"
Dia tidak boleh membiarkan mamanya tiba dan menemukan menantunya—yang begitu beliau benci—masih mengenakan seragam office girl yang kotor. Atau lebih buruk lagi, menemukan Kanaya tidak ada di rumah sama sekali. Sandiwara mereka sebagai pasangan harus terlihat sempurna.
Dia sudah mencoba menghubungi ponsel Kanaya lima kali lagi selama perjalanan. Hasilnya nihil. Mati. Tidak aktif. Entah apa yang dilakukan perempuan itu. Di saat genting seperti ini, dia justru menghilang.
Pikirannya melayang pada percakapan di lobi tadi pagi. Wajah Kanaya yang menunduk. Apa dia membuat gadis itu begitu takut?
Arjuna mendengus. "Bukan urusanku."
Urusannya sekarang adalah tiba di apartemen sebelum mamanya. Dia harus memastikan Kanaya ada di sana, berganti pakaian yang pantas, dan yang terpenting, mereka harus satu suara. Mereka harus menyambut Ratih sebagai pasangan suami-istri yang normal, meskipun palsu.
Perjalanan yang seharusnya singkat terasa seperti selamanya. Otaknya terus menyusun skenario. Dia harus tegas pada Kanaya, mengingatkannya soal perjanjian mereka.
Ketika akhirnya dia tiba di basement apartemen, dia memarkir mobilnya dengan serampangan. Dia bergegas menuju lift, jarinya menekan tombol berulang kali seolah itu bisa membuat kotak besi itu bergerak lebih cepat.
Langkah-langkahnya menggema di koridor yang sepi. Berdiri di depan pintu unitnya, dia menarik napas panjang, mempersiapkan diri untuk berdebat dengan Kanaya.
"Kanaya!" serunya begitu pintu terbuka.
Hening.
Apartemen itu sunyi senyap. Tidak ada jawaban. Hanya dengung pelan pendingin ruangan.
Kekesalan Arjuna meningkat. "Kanaya, aku tahu kamu di dalam! Berhenti main-main, Mama akan segera tiba!"
Dia melangkah masuk, melepas sepatunya dengan kasar di dekat rak. Matanya mengedar. Ruang keluarga rapi. Dapur bersih. Kemana perempuan ini?
Arjuna melangkah lebih jauh ke dalam, menuju ruang tamu. Dan di sanalah dia menemukannya.
"Sial..." desis Arjuna, matanya membelalak kaget.
Kanaya tergeletak di lantai, di antara sofa dan meja kopi. Posisinya miring, tidak wajar. Tas kerjanya terlepas dari genggaman, dengan beberapa isinya berceceran di lantai—sebuah lipstik murah, dompet kecil, dan beberapa koin.
"Kanaya?" panggil Arjuna, nadanya seketika berubah. Kekesalannya menguap, digantikan oleh keterkejutan dan secercah kekhawatiran yang asing.
Dia berlutut di samping wanita itu. "Hei, bangun! Jangan bercanda, ini tidak lucu!"
Dia menepuk-nepuk pipi Kanaya. Hangat. Terlalu hangat. Wajah gadis itu pucat pasi, namun ada rona merah demam yang samar di pipinya. Bibirnya kering dan sedikit pecah-pecah.
"Kanaya!" Arjuna mengguncang bahunya sedikit lebih keras. Tidak ada respons. Wanita itu benar-benar pingsan.
Arjuna mengumpat pelan. Ini bencana. Mamanya bisa tiba kapan saja, dan istrinya—istri pura-puranya—terkapar tidak sadarkan diri di lantai.
Tanpa pikir panjang lagi, dia menyelipkan satu lengan di bawah lutut Kanaya dan lengan lainnya di punggung wanita itu. Dengan sekali angkat yang mantap, dia menggendong Kanaya. Tubuh itu terasa ringan dalam pelukannya, wanita itu sangat rapuh. Sesuatu yang sangat kontras dengan citra office girl yang selalu terlihat sibuk dan gesit.
Dia membawa Kanaya ke kamar tidur utama—kamar mereka. Meski kenyataannya mereka tidur terpisah, Arjuna di ranjang dan Kanaya di kasur lipat di sudut, malam ini dia tidak punya pilihan. Dia membaringkan Kanaya dengan hati-hati di tengah ranjang king size miliknya.
Dia menatap wanita yang masih terpejam itu. Napasnya terlihat dangkal.
"Bodoh, kenapa tidak bilang kalau sakit?" gerutu Arjuna, lebih pada dirinya sendiri.
Matanya lalu tertuju pada sepatu Kanaya. Sepatu flat hitam yang terlihat murah dan usang, masih terpasang rapi di kakinya.
Secara refleks, Arjuna bergerak. Dia benci kotoran. Dia sangat tidak suka jika ada orang yang mengotori tempat tidurnya, apalagi dengan sepatu bekas dari luar. Dengan gerakan cekatan dan cepat, dia melepaskan sepatu Kanaya satu per satu dan melemparkannya begitu saja ke lantai.
Dia kemudian berdiri dan menatap Kanaya lagi. Wanita itu masih mengenakan seragam kerjanya—kemeja biru muda polos dan rok bahan berwarna gelap. Pakaian yang pasti dia pakai seharian, berkeliaran di pantry, lobi, dan mungkin toilet kantor. Pakaian yang terkena debu jalanan saat pulang.
Pikiran itu membuat Arjuna bergidik ngeri. Dia adalah pria yang sangat menjaga kebersihan. Dan sekarang, Kanaya yang jelas-jelas berkeringat karena demam—dan pasti kotor—berbaring di atas seprai katun Mesir mahalnya.
"Akh, ini gila!"
Dia harus mengganti pakaian wanita itu.
Arjuna terdiam, berperang dengan batinnya sendiri. Dia enggan. Sangat enggan. Dia tidak ingin menyentuhnya lebih dari yang diperlukan. Itu akan melanggar batas. Tapi membiarkannya terbaring kotor di ranjangnya juga bukan pilihan. Baginya, itu jauh lebih menjijikkan.
"Terpaksa," putusnya akhirnya, suaranya pelan.
Jari-jarinya terasa kaku saat dia meraih kancing teratas kemeja Kanaya. Dia melakukannya dengan cepat, berusaha untuk tidak melihat, berusaha bersikap seolah dia sedang menangani manekin.
Satu kancing. Dua. Tiga.
Dia membuka kemeja itu, memperlihatkan kaus dalam tipis berwarna putih yang dikenakan Kanaya di baliknya. Dia menarik kemeja itu dari bahu Kanaya, sedikit memiringkan tubuh wanita itu agar bisa melepaskannya sepenuhnya.
Kemudian, roknya. Dia membuka ritsleting di samping dan menariknya ke bawah, melewati pinggul dan kaki jenjang wanita itu.
Kini, Kanaya terbaring di hadapannya, hanya mengenakan kaus dalam dan celana dalam sederhana, serta bra yang samar-samar terlihat di balik kaus dalamnya.
Dan untuk sesaat, Arjuna tertegun.
Dia membeku. Pemandangan di depannya benar-benar di luar dugaannya.
Selama ini, Kanaya yang dia lihat adalah Kanaya dalam balutan seragam kebesaran, atau daster longgar yang wanita itu pakai di rumah. Sosoknya selalu terlihat biasa saja, tenggelam dalam pakaian yang tidak membentuk tubuh.
Tapi sekarang...
Tubuh Kanaya ternyata benar-benar seksi. Kulitnya kuning langsat, bersih dan mulus. Pinggangnya ramping, kontras dengan pinggulnya yang berisi dan montok. Dan d4d4nya...
Mata Arjuna terpaku pada lekukan di balik kaus dalam itu. Buah d4d4nya terlihat besar dan kenyal, terbungkus bra sederhana yang sepertinya berjuang menampung keindahannya.
"Jadi selama ini..." pikir Arjuna, tenggorokannya mend4d4k kering, "...dia menutupi tubuh indahnya di balik pakaian besar yang sering ia kenakan."
Jantung Juna, yang tadi berdebar karena panik, kini berdesir karena alasan yang sama sekali berbeda. Ada getaran aneh yang menjalar di tubuhnya. Dia adalah pria normal. Dan pemandangan di depannya adalah sebuah... godaan yang tidak terduga.
Dia ingin sekali menyentuh. Membuktikan apakah kulit itu sehalus kelihatannya.
Dia ingin meremas. Merasakan betapa kenyal aset yang tersembunyi itu.
Dia ingin mengulum...
"Hentikan!" Arjuna menggelengkan kepalanya dengan keras, memaki dirinya sendiri dalam hati. Dia bukan pria m3sum! Dia Arjuna. Dia tidak mungkin bernafsu pada perempuan seperti Kanaya, seorang office girl yang dia nikahi karena terpaksa. Ini konyol.
Tapi tubuhnya tidak bisa berbohong.
Di bawah sana, "tongkat juniornya" mulai bereaksi. Benda itu menegang di balik celana bahannya, mengirimkan sinyal yang jelas dan memalukan. Rasa gelisah yang baru—rasa gelisah yang panas dan mendesak—mulai menjalari dirinya.
"Sialan!" umpatnya lagi.
Dengan gerakan panik dan terburu-buru, dia bergegas ke lemari. Dia membuka bagian lemari Kanaya, mengambil asal sebuah daster tidur katun yang terlihat paling longgar.
Dia kembali ke ranjang. Menghindari kontak mata—meskipun Kanaya pingsan—dia dengan cepat memakaikan daster itu ke tubuh Kanaya. Tangannya bergetar, dan dia merasa sangat canggung saat harus mengangkat lengan wanita itu, merasakan kehangatan kulitnya yang bersentuhan dengan kulitnya.
Setelah Kanaya terbalut daster, dia menarik selimut sampai ke d4d4 wanita itu. Menutupi pemandangan yang baru saja mengacaukan pikirannya.
Arjuna mundur beberapa langkah, mengatur napasnya yang memburu. Dia merasa kacau. Gairahnya yang tidak terduga membuatnya marah—marah pada Kanaya yang pingsan, marah pada tubuhnya sendiri yang bereaksi di luar kendali.
Dia harus segera pergi dari kamar ini. Dia butuh air dingin. Dia butuh...
DRRTT... DRRTT...
Ponsel di sakunya bergetar hebat.
Jantung Arjuna mencelos. Dia meraih ponselnya. Nama "Mama Ratih" terpampang di layar.
Sudah terlambat. Beliau pasti sudah di lobi.
Arjuna menatap ponsel yang berdering di tangannya, lalu beralih ke sosok Kanaya yang terbaring tidak berdaya di ranjangnya. Situasi ini baru saja berubah dari buruk menjadi bencana total.
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin