NovelToon NovelToon
Istri Kejam Sang Mafia

Istri Kejam Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Mafia / Pernikahan Kilat / Romansa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Naelong

Aurelia Valenza, pewaris tunggal keluarga kaya raya yang hidupnya selalu dipenuhi kemewahan dan sorotan publik. Di balik wajah cantik dan senyuman anggunnya, ia menyimpan sifat dingin dan kejam, tak segan menghancurkan siapa pun yang berani menghalangi jalannya.

Sementara itu, Leonardo Alvarone, mafia berdarah dingin yang namanya ditakuti di seluruh dunia. Setiap langkahnya dipenuhi darah dan rahasia kelam, menjadikannya pria yang tak bisa disentuh oleh hukum maupun musuh-musuhnya.

Takdir mempertemukan mereka lewat sebuah perjodohan yang diatur kakek mereka demi menyatukan dua dinasti besar. Namun, apa jadinya ketika seorang wanita kejam harus berdampingan dengan pria yang lebih kejam darinya? Apakah pernikahan ini akan menciptakan kerajaan yang tak terkalahkan, atau justru menyalakan bara perang yang membakar hati mereka sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naelong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sisi lain Aurelia

Giovanni menunduk, menatap cucunya satu persatu seolah menimbang beban yang akan ia titipkan. Di wajahnya tersungging garis-garis kelelahan—garis yang hanya bisa ditorehkan oleh tahun-tahun mengarungi badai dunia bisnis dan intrik kekuasaan. Ia menyentuh tongkatnya pelan, lalu menghela napas panjang.

“Aurel,” suaranya berat tapi tegas, “kau tahu aku bukan orang yang suka membuat keputusan gegabah. Namun ada keadaan yang membuatku tak punya pilihan lama lagi.”

Aurelia mengangguk pelan. “Kakek, apa maksud kakek? Aku akan selalu mendengarkan.”

Giovanni memandang jauh ke rak- rak buku, lalu kembali menatap mata cucunya. “Alessandro—Papamu—adalah pria baik. Dia menjalankan perusahaan ini dengan niat yang tulus. Tapi belakangan… dia buta oleh cinta. Campur tangan Marcella semakin meresap. Aku melihat bagaimana keputusan penting mulai bergeser karena suara keluarga barumu itu.”

“Kakek takut perusahaan ini dipermainkan, atau tergerus sampai kehilangan akar. Kita tidak boleh menunggu sampai terlambat. Aku butuh seseorang yang bisa kupercayai untuk menjaga Valenza. Aku butuh kau memimpin—secara resmi.” Giovanni menatap tajam, menekan setiap kata agar mengena.

Aurelia ternganga sedikit. “Kakek… saya masih kuliah. Tugas saya sekarang adalah menyelesaikan pendidikan. Papa sudah ada—dia bisa mengurus perusahaan.”

“Kau bicara soal logic yang ideal,” potong Giovanni. “Tapi dunia kita bukan hanya soal logika. Ini soal naluri, soal mata yang tak tertipu. Alessandro, seperti yang kau tahu, ia punya hati yang lembut. Nyatanya, hatinya bisa dimanfaatkan. Aku butuh seseorang yang memiliki kepala dingin, yang bisa mengambil keputusan saat diperlukan — dan aku percaya padamu, Aurel.”

Ia menunduk, menahan amarah yang tertahan selama bertahun-tahun melihat permainan Marcella. “Kau belum tampak seperti itu di muka publik—kau sengaja bermain peran. Tapi aku tahu darah Valenza mengalir di nadimu. Kau kuat, hanya saja kau memilih menyamarkan kekuatan itu.”

Aurel memejam, “Kakek, aku… jika kakek bersabar, aku akan mempertimbangkan ini. Aku tidak menolak sepenuhnya—tapi beri aku waktu menyelesaikan kuliah. Biarkan Papa tetap mengurus operasional untuk sementara. Aku akan belajar dari jauh.”

Giovanni menatapnya lama, lalu perlahan mengangguk. “Aku tak bisa menahanmu jika itu keputusanmu. Tetapi dengarkan aku: jika kau tidak siap, ada orang-orang yang akan mengisi kekosongan itu. Dan mereka bukan Valenza. Jika kau bersedia, aku akan mulai menyerahkan beberapa bidang kecil untuk kau kelola—keuangan unit amal, proyek properti tertentu—tas kecil tapi penting. Kau bisa mulai dari situ.”

Aurel menghela napas panjang.

“Baiklah, Kakek,” jawabnya pelan. “Kalau itu maumu, aku… akan coba. Tapi beri aku waktu untuk menyiapkan mental dan akademisku. Aku tidak ingin setengah hati.”

Giovanni tersenyum, mata yang biasanya keras melunak. “Itu cukup. Kau bukan gadis bodoh, Aurel. Kau akan menyesuaikan. Dan ingat—jika kau perlukan apa pun, kakek selalu ada di belakangmu.”

Aurel membalas senyum kakeknya, lalu setengah jongkok mencium tangan lelaki tua itu. Dalam bahunya muncul rasa hangat, sekaligus beban yang berat.

Aurel sudah berpamitan pulang. Ia berjalan keluar dari ruang kerja Giovanni, menapaki kembali lorong-lorong yang tak asing baginya, menyapa pelayan-pelayan lama yang mengenalnya sejak kecil. Di dalam hatinya ada bisik-bisik ragu, namun ia berusaha menampilkan wajah tenang.

Belum jauh dari gerbang rumah kakeknya, mobil hitam yang menjemputnya melambat. Sopir yang tenang mempercepat laju saat Aurel masuk, dan mobil meluncur kembali ke jalan besar. Matahari siang mulai mendongak, udara bersih dan hangat menampar wajahnya.

Aurelia tiba kembali di jalan raya utama. Dia menata busana di kursi sebelum turun. Saat pintu mobil terbuka, udara luar menghantamnya, dan langkah kakinya ringan. Namun belum dua langkah ia keluar, segerombolan pria serba hitam sudah menutup jalan. Mereka mengenakan masker kain, pakaian seragam dan bertingkah ganas.

“Turun, nona,” salah seorang berteriak sambil menodongkan gagang besi. Suaranya berat dan keset.

Para bodyguard di mobil segera memberi isyarat bersiap. Sopir menunduk, memeriksa situasi. Kepala mereka bergeming—ini bukan sekedar penghalang lalu lintas; ini ambush. Seorang bodyguard berbisik menanyakan apakah harus memanggil Leo.

“Nona? Haruskah saya telepon Tuan Leonardo?” tanya sopir dengan suara cemas.

Aurel mengangkat tangan menenangkan, suaranya dingin tapi terkendali. “Tidak usah, Pak. Ini urusanku.”

Semua orang menoleh, ragu aturan—menghadapi situasi ketika sang calon istri menunjukkan keinginannya untuk turun sendiri. Mereka tahu sikap Aurel bukan sekadar kepura-puraan; ada api di matanya yang membuat tubuh mereka menahan.

Aurel membuka pintu mobil, turun dengan anggun. Ia menatap para preman itu dengan ekspresi dingin.

“Kalian mau apa?” bentaknya, suaranya tajam seperti belati.

Para preman saling bertatapan, lalu salah satu menyeringai. “Lumayan juga… badan cewek ini. Mungkin bisa kita jadikan pajangan.” Mereka tertawa kasar, meremehkan. Temannya mengingatkan, “Ingat kata bos. Jangan sampai merusak barang. Ambil yang perlu, bawa pulang.”

Rencana mereka kasar—merendahkan dan mengancam. Salah satu pria mencoba maju dan menarik bahu Aurel, maksud merendahkan dan memaksa. Namun Aurel tidak lari. Ia menggeram pelan, jarinya mencengkeram seutas kalung kecil di lehernya—bukan untuk bela diri, melainkan sebagai pengait konsentrasi.

“Aku bukan gadis lemah,” ucapnya pelan, mulutnya membentuk senyum dingin.

Mereka tertawa dan maju. Pria itu mengangkat tangan hendak menampar; tetapi sebelum tangan itu sempat menyentuh, Aurel melakukan satu gerakan yang tak terduga: tendangan rendah, cepat dan penuh tenaga, menghantam lutut sang penyerang. Ia bergerak seperti kucing yang menahan untuk tidak menyerang: disiplin, cepat, dan dingin.

Satu per satu, saat mereka hendak maju, ia menendang, menyapu, menggunakan teknik yang bukan sekadar tendangan gadis biasa. Tendangan ke rongga perut, sapuan kaki ke sisi satu badan, bahkan pukulan siku yang mengarah ke dagu. Para preman, yang semula sombong, tercekat. Mereka tak menduga bahwa ‘gadis manja’ yang diharapkan akan menangis dan teriak, malah membalas dengan keganasan yang efisien.

Beberapa saat kemudian, sudah beberapa preman terbaring menahan rasa sakit, napas terengah. Yang lain mundur kebingungan.

Aurel mengendus udara, nafasnya teratur. Ia meraih benda tajam yang terpental dari saku salah satu preman—pisau kecil, salah satu yang biasa dipakai para penyusup. Ia mengangkatnya, menatap sekelompok yang tersisa.

“Siapa yang menyuruh kalian?” tanyanya dingin.

Semuanya bungkam. Mereka takut. Mereka berbisik satu sama lain, menimbang kemungkinan hidup atau mati. Satu di antara mereka akhirnya menjawab dengan suara gemetar, “Kami… kami diupah. Kami hanya pekerja, nona.”

“Tidak cukup jelas,” kata Aurel. Ia menatap mereka, kemudian tanpa ragu, mengangkat ujung pisa* dan memberikan sentakan kecil—bukan memotong, melainkan menusuk lembut pada ujung jari masing-masing pelaku. Sakitnya cukup tajam untuk membuat setiap pria menjerit dan melepaskan genggaman, namun tidak mematikan. Darah mengalir sedikit, bukan grafis, tapi cukup untuk memberi bekas. Ia menekankan bahwa ia akan menghukum yang berkhianat dan ia bisa melumpuhkan seseorang tanpa membunuh.

“Kutanamkan pada kalian satu pelajaran,” suaranya dingin. “Kalian orang kecil yang bisa dibeli. Tapi ingat—jika kalian berani ambil perintah yang menyasar keluargaku, aku akan membuat kalian menyesal seumur hidup.”

Satu per satu para preman itu menjerit dan akhirnya berlutut, menangis. “Ampun, nona! Kami cuma… disuruh! Kami tidak tahu siapa!” mereka memohon, suaranya putus asa.

Aurel melangkah mendekat, menundukkan tubuhnya sedikit, menatap ke dalam mata mereka satu per satu. “Kalau begitu, sebutkan namanya. Katakan siapa yang membayar kalian. Katakan semuanya, atau aku akan memastikan kalian merasakan hal yang lebih pahit.”

Mereka gemetar, ragu. Rasa takut ada di balik bibir mereka—takut pada wanita yang berdiri di hadapan mereka layaknya pembunuh berbalut kain sutra. Namun rasa profesionalisme mereka, naluri untuk melindungi hidup, dan rasa takut pada yang lebih kuat membuat mereka memilih menanggung sakit ketimbang mengkhianati dalang. Mereka mulai menggumam: “Bosnya... seseorang dari sebuah kantor… seorang pria bernama Marco… Marco Bellini...”

Aurel mengangkat alis. Nama itu membawa gaung—Marco Bellini adalah salah satu pengusaha kecil yang sering dipakai oleh eksekutor bayaran di kota ini, seorang yang biasa bekerja untuk pihak ketiga. Informasi itu mungkin tidak cukup, tapi ini petunjuk.

“Baik,” kata Aurel pelan. Ia melepaskan pi*au dan memandang para preman itu dengan tenang.

“Aku akan memberi kalian pilihan. Aku bisa menyerahkan kalian pada hukum—atau aku bisa mengirimkan kalian ke tempat yang lebih kelam.

Pilih.”

Salah seorang, darah di jemarinya menetes, menengadah dan menangis. “Nona, tolong… jangan serahkan kami ke polisi. Marco… dia akan membunuh keluarga kami jika kami berbicara.

Tolong ampuni kami.”

Aurel menghela napas, lalu mengeluarkan ponsel dari dompet kecilnya. Ia menekan beberapa tombol cepat, sambil masih menatap para preman itu tajam. “Ini bukan soal belas kasihan,” ucapnya. “Ini soal pelajaran untuk mereka yang berpikir bisa mengganggu Valenza.”

Di panggilan itu, ia meminta bantuan—bukan kepada Leonardo, bukan pada ayahnya—melainkan pada salah satu orang kerpercayaannya. Enrico

Beberapa menit kemudian, suara mesin mobil terdengar, dan seorang pria berbadan besar—memberi tanda—muncul disertai dua orang kekar lainnya. Enrico turun dari mobil dengan wajah polos namun mata profesional. Ia menatap pemandangan para preman yang babak belur dan mendengus.

“Aurel? Apa yang terjadi?” suaranya tenang namun keras.

Aurel menunjuk pada preman-preman itu. “Bawah mereka. Mereka diutus oleh seseorang bernama Marco. Aku mau mereka dibawa untuk diinterogasi di markas. Aku ingin tahu siapa di balik mereka.”

Enrico mengangguk, menatap balik pada para preman. “Kalau mereka hanya preman upahan, aku serahkan pada kalian untuk di kasih pelajaran. Siapa suruh Mereka lebih pilih menutup mulut.” Ia menoleh pada anak buahnya dan memberi isyarat singkat—memegang masing-masing argumen untuk diangkut.

Ketika para preman digelandang pergi, satu di antara mereka menatap Aurel dengan mata penuh kebencian, tapi tak bisa berkata lagi. Mereka diikat dan dimasukkan ke dalam mobil Enrico. Aurel menatap mereka sekilas, lalu berbalik melangkah, naik ke dalam mobilnya kembali.

Sebelum pintu menutup, ia berkata tegas, “Sampaikan pada siapa pun yang menyuruh: jangan sentuh keluarga Valenza. Kalian hanya pion yang bisa aku remukkan—tapi aku memilih tidak memusnahkan kalian sepenuhnya. Ingat itu.”

Suara mesin mobil menghilang, meninggalkan jejak debu kecil dan bekas-bekas kaki preman di trotoar. Di dalam mobil, Aurel melepaskan napas panjang. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena ketakutan—melainkan karena adrenalin yang menyenangkan. Ia menatap telapak tangannya yang masih sedikit bernoda darah para lelaki tadi—bekas luka kecil dari tusukan yang disengaja. Senyum dingin mengembang di bibirnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di perjalanan pulang, Aurel menatap kota yang melewati jendela. Ia tahu langkah kecilnya hari ini adalah pembuka—pembuka bahwa ia tidak akan tunduk pada kekerasan yang dipaksakan. Ia mengambil napas, mengingat kata-kata Giovanni: “Kau bukan gadis manja, Aurel. Kau hanya memilih menyamarkan taringmu.”

Ia menepuk pelan pergelangan tangannya, mengecek luka kecil itu. Senyum tipis kembali muncul. Di kepalanya muncul rencana: mulai dari urusan kecil di perusahaan—menjadikan posisinya sebagai pintu masuk. Sambil kuliah, ia bisa mulai menata fondasi. Sambil berpura-pura lemah di mata musuh, ia bisa bekerja merombak pelan-pelan jaringan yang hendak menipu keluarganya.

Dan ketika mobil melaju menuju kediaman Alvarone—Aurel menutup mata sejenak, menikmati rasa kawal di tulang punggungnya.

1
Eka Putri Handayani
uh dalam mimpi km bisa rebut leo🤣pulu² mau disandingkan sm berlian ya mana bisa, terlalu menganggap aurel reme bngt dasar orng serakah
Ode Nael: betul.. betul.. dasar Bianca.
total 1 replies
Eka Putri Handayani
lanjut pokoknya kak, ttp smngt ya😍
Naelong: makasi sudah mampir🩵
total 1 replies
Eka Putri Handayani
ih siapa ya? apa jangan² leon ya yg menguji aurel
Naelong: siapa yaa??
total 1 replies
Eka Putri Handayani
smngt thor😍
Naelong
sabar yaa☺
Eka Putri Handayani
bagaimana maksudnya thor? kakeknya aurel suka gtu sm menantunya? atau bagaimana ya aku kok krng paham
Naelong: maaf typo, harusnya kakek Aurel sangat menyanyangi mami Aurel.
total 1 replies
Eka Putri Handayani
uh dasar pulu² serakah, itu jg ayahnya aurel knp gak bisa tegas bngt
Naelong: karna terlalu cinta sama istri ke duanya
total 1 replies
Emi Widyawati
bagus sekali, cerita berbeda, karakter kuat. good job thor 👍👍👍
Naelong: makasi sudah mampir☺
total 1 replies
sukahati
Lanjut thor
Naelong: masih sementara di reviuw. di tunggu kelanjutannya. makasi sudah mampir☺
total 1 replies
Asryani ode123
sangat keren ceritanya
Naelong: terimakasi
total 1 replies
Asryani ode123
mantap ceritanya smoga smpai tamat iya.
Naelong: makasi🙏
total 1 replies
Naelong
makasi sudah mampir ☺🙏
Eka Putri Handayani
keren sih, smg ramai yg baca, ttp smngt thor
Naelong: makasi☺
total 1 replies
Ode Nael
ceritanya bagus
Bé tít
Gemesin banget nih karakternya, bikin baper!
Waode Agustina08
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!