Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Happy Birthday
Pagi itu di apartemen, Erick bersiap untuk hari kerja yang panjang. Pikirannya terasa enteng setelah dipindahkan mendadak oleh Hartono. Ia bersyukur atas kedamaian yang ia nikmati kini.
Saat ia mengenakan jas dan merapikan dasinya, Zara mendekat dari belakang. Ia melingkarkan tangan di pinggang Erick, menyandarkan kepalanya di punggung suaminya.
"Hati-hati, Mas." bisik Zara lembut. Erick berbalik, memegang kedua tangan Zara dan menatap matanya dalam-dalam. "Tentu, istriku sayang. Kamu juga jaga diri di rumah, ya, Ingat, jangan keluar kalau gak sama aku." Seru Erick seraya memberikan kecupan hangat di kening Zara.
Saat Erick hendak melangkah pergi, Zara menahan sebentar, meraih punggung tangan suaminya, dan mendaratkan ciuman ringan di sana. Ciuman punggung tangan itu terasa sangat manis, sebuah gestur lembut penuh cinta dan do'a, menyalurkan seluruh kekuatannya untuk menemani Erick menghadapi dunia kerja.
"Oh ya, Mas. Aku lupa mau bilang sesuatu. Nanti malam kamu pulang seperti biasanya atau lebih larut?"
"Memangnya kenapa, Ra? Kamu mau aku pulang lebih awal ya?"
"Iya, Mas. Akhir-akhir ini kamu kan suka pulang malam, jadi aku mau hari ini Mas Erick pulangnya agak cepat ya."
Erick tersenyum lembut mendengar permintaan istrinya. Senyumnya melebar saat melihat ekspresi berharap di wajah Zara.
"Tentu saja, Sayang. Kalau kamu mau aku pulang lebih awal, aku akan usahakan pulang jam tujuh tepat. Ingat ya, jam tujuh Mas-mu sudah kembali ke rumah," kata Erick.
Ia memeluk Zara sekali lagi, kemudian pandangannya beralih ke perut Zara yang kini sudah mulai membuncit. Dengan hati-hati, Erick berlutut sedikit mendekatkan wajahnya ke perut istrinya.
"Ayah pergi kerja dulu ya, Nak. Nanti malam Ayah pulang cepat, kita akan bercerita, atau main tebak-tebakan."
"Iya Ayah." Zara menjawab pakai nada suara bocil.
"Pinter si anak Ayah sudah bisa jawab. Kalau begitu, Ayah mau kasih tebak-tebakan. Ayam sama telur lebih dulu yang mana?"
"Ayam." Jawab Zara masih pakai nada bocil. Ia pun terkekeh. Seketika Erick langsung berdiri, ia mengakhiri sapaan manisnya dengan kecupan ringan di perut Zara.
"Anak kita masih di dalam perut udah pintar jawab, Ra."
"Iya dong, siapa dulu bapaknya, hehe." Jawab Zara. Dikata begitu, Erick pun sontak menyugar rambutnya dengan percaya diri.
"Eh tapi kenapa kamu jawabnya ayam? Kenapa gak jawab telur karena ayam berasal dari telur?"
"Karena... rahasia. Jawabannya nanti malam jam 7 aku mengucapkan ya, Mas." Jawab Zara sembari senyum. Dalam benaknya, ia akan memberikan kejutan kepada Erick pada saat itu karena Erick sedang berulang tahun.
...****...
Erick melangkah ke lobi kantor barunya. Senyumnya masih terukir, belum luntur sedikit pun meskipun sudah beberapa menit terlewati sejak ia meninggalkan apartemen dan istrinya. Zara selalu berhasil menyisakan jejak manis di hatinya, menghadirkan rasa penasaran, dan juga decak kagum setiap kali ia mengeluarkan kalimat-kalimat bijak atau pun hanya sekadar celotehan polos. Erick menggeleng kecil, geli mengingat nada bocil Zara yang pura-pura jadi anaknya tadi. Dan ia juga penasaran akan jawaban Zara di jam tujuh malam nanti.
Ia menaiki lift menuju lantai eksekutif. Pikirannya damai, jauh dari tekanan yang biasa ia hadapi dulu. Tepat saat ia keluar dari lift dan berjalan menuju ruang kerjanya, hari yang tadinya cerah mendadak terasa mendung.
Langkahnya seketika terhenti.
Di hadapannya, Emily berdiri mematung. Wanita itu mengenakan setelan kantor yang rapi nan cantik. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Ia tampak menanti dengan sabar, atau lebih tepatnya dengan kesombongan yang tidak berubah.
Emily melangkah mendekat, sedikit senyum canggung merekah di bibirnya.
"Happy Birthday, Erick."
Ucapannya terasa asing. Emily mengulurkan tangan kanannya, ingin menjabat.
Erick tidak bergerak untuk menyambut uluran tangan itu. Dengan gerakan halus dan sopan, ia mengatupkan kedua tangannya di depan dada, sedikit membungkuk.
"Terima kasih, Emily," jawabnya singkat. Dan tanpa menunggu respons lebih lanjut, Erick berbalik, berniat melangkah pergi.
"Tunggu!" suara Emily terdengar keras.
Erick menghentikan langkahnya, namun tidak berbalik. Ia hanya menanti.
"Kenapa kamu ganti nomor? Kenapa kamu memutuskan semua akses denganku?" tanya Emily. Ia berbicara tanpa melihat punggung Erick. Mereka berdua sama-sama saling memunggungi.
"Saya tidak pernah mengganti nomor telepon." jawab Erick.
"Kalau tidak ganti, kenapa tidak bisa dihubungi?!" Emily mendesak, berjalan satu langkah mendekat.
Erick akhirnya berbalik, menatap Emily dengan pandangan yang dingin. atapan itu berhasil membuat Emily menahan langkah.
"Karena kita sudah selesai. Nomor khusus yang saya pakai untuk kepentingan hubungan kita sudah saya nonaktifkan. Saya tidak punya alasan untuk mempertahankannya."
"Beri aku nomormu yang baru," tanda tedeng aling-aling, Emily langsung meminta.
"Jika ada kepentingan pekerjaan, Anda bisa menghubungi asisten saya."
Memdengar jawaban Erick, Emily tidak bisa menyerah begitu saja. Ada cara lain yang bisa ia gunakan.
"Kita belum resmi bercerai di pengadilan, Erick. Akta cerai belum keluar. Jadi…bukankah aku masih tanggung jawabmu?"
Erick terdiam. Ia menyimak, membiarkan Emily mengeluarkan semua yang ada di benaknya. Ia ingat betul janji yang pernah ia buat kepada Papa Emily, janji untuk melindungi wanita itu. Emily mengambil kesempatan dari keheningan Erick.
"Apa yang kau bilang selama ini benar. Darren hanya memanfaatkanku untuk tujuannya. Dia menyakitiku."
Hati Erick biasa saja mendengar pengakuan itu. Ia menduga bahwa hal ini pasti terjadi. Dan sekarang, Emily dapat merasakan kenyataannya tanpa harus terus-terusan disadarkan oleh orang lain.
"Jadi Lakukan tugasmu sesuai perjanjian yang kau buat dengan Papa, bahwa kau akan terus melindungiku."
Erick menghela napas panjang.
"Kau tenang saja," kata Erick, "Jika kerugian yang kau maksud adalah kerugian nama baik dan materi, itu sudah saya atur. Semua akan saya bereskan. Tetapi jika kerugian yang kau maksud berupa rasa sakit hati dengan perbuatan Darren, itu urusan Anda."
Ia mengambil satu langkah mundur, menyudahi pembicaraan yang tidak berujung itu.
“Permisi,” tutup Erick.
Erick berbalik dan melangkah pergi, tak lagi menoleh ke belakang.
Emily berdiri membeku. Ia mengamati punggung Erick yang semakin menjauh. Pria di hadapannya benar-benar telah berubah. Dulu, Erick tidak pernah sedingin ini padanya. Ia selalu berhasil membuatnya merasa paling penting.
"Apa dia tengah mencoba tarik ulur diriku?" batin Emily.
Rasa sakit hatinya seketika tersalip oleh pikiran untuk mendapatkan kembali perhatian Erick. Ia menoleh ke sekitar. Ini adalah kesempatannya.
Emily memejamkan mata. Ia akan menjatuhkan diri, berpura-pura pingsan. Dengan begitu, Erick pasti akan terpaku kembali padanya.
.
.
Bersambung.
jadi lebih baik kau perbaiki dirimu sendiri bukan untuku TPI untk masa depanmu sendiri
bay
yg penting mas areick makin Cintaa dan sayang ke zahra