“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter: 35
“Apa Abang tak penasaran tentang sosok pria kurang kerjaan itu?” Meutia tidak memutuskan pandangan mereka, dia benar-benar ingin menikmati menatap sosok yang sudah lama tak dilihatnya secara nyata.
Sebelumnya, semenjak kepergian Ikram Rasyid – sebagai pelampiasan rasa rindu, Meutia akan mencium, memeluk potret suaminya.
Ikram mengangguk, dia seperti terhipnotis oleh wanita cantik sekaligus manis ini. “Siapa …?”
“Yakin ingin tahu?” sengaja sedikit ingin menggoda.
“Iya, saya penasaran.” Angguknya dengan binar keingintahuan tinggi.
“Abang lah orangnya. Entah apa dulu yang merasukimu, seolah tak punya malu – diam-diam menjadi seorang penguntit, sampai menyusulku ke kampung halaman,” tuturnya lembut.
"Sampai sebegitu nya?” ia sampai nyaris kehilangan kata-kata. Tidak menduga ternyata bisa berbuat sejauh itu.
Meutia menggeleng. “Itu belum seberapa, masih banyak hal aneh yang Abang lakukan. Hem … kalau Abang tak keberatan, boleh tidak Tia membawamu kembali ke masa lalu, lewat kisah yang aku ceritakan?”
Ikram terdiam, ada hal menggelitik hatinya. “Siapa namamu? Apa cuma, Tia?”
Tawa yang sudah lama bersembunyi, kini hadir di bibir Meutia. Hatinya menghangat, perasaan yang dikira telah terkubur, ternyata hanya dengan kata sederhana langsung menyeruak ke permukaan.
'Alhamdulillah. Terima kasih ya Rabb, Engkau gantikan kesakitanku dengan rasa bahagia membuncah dihati hamba.'
Sesaat Ikram terdiam sampai tidak berkedip. Dia terpesona oleh wajah berseri-seri wanita yang sibuk mengusap jejak air mata dipipi.
Menggunakan lutut, Meutia mengikis jarak mereka. Kemudian mengulurkan tangan kanan kedepan. “Perkenalkan, namaku Meutia Siddiq. Mahasiswi calon guru.”
‘Namaku Meutia Siddiq! Sudah tau ‘kan? Sekarang cepat pergi sana! Malu aku diikuti terus! Dikira orang punya hutang yang tak sanggup dibayar! Jangan balek-balek lagi! Kalau mau kasih hadiah, titipkan saja pada ibu kost! Tak perlu teriak-teriak memanggil Tia, Tia, Tia ... sudah macam Orang hutan saja!’
Ikram menggelengkan kepala, dia seperti mendengar suara serupa tapi dengan nada ketus.
Tangan sang pria pun terangkat sampai menempel pada telapak milik Meutia, rasa hangat itu merambat sampai ulu hati. Dia langsung menatap lekat netra si wanita.
“Kenapa?”
“Rasanya sulit untuk dijelaskan, tapi aku seperti tak asing dengan getaran hati ini,” aku nya jujur.
Meutia menggenggam telapak tangan terdapat kukit kapalan, kasar. Dia sembunyikan rasa sakit hatinya, dipersembahkannya senyum manis hanya teruntuk sang suami.
“Kita sudah pernah sedekat ini, bahkan lebih. Suka duka, sedih bahagia, tak pernah sekalipun saling menjauh. Tetap membersamai meski terkadang kesalahpahaman membuat salah satu dari kita sejenak mengambil jarak. Hanya sebentar, setelahnya kita duduk di ruangan tertutup agar tak ada yang mendengar praha rumah tangga kita, mencari solusi dari masalah dengan kepala dingin.”
“Ikram Rasyid, Anda belum memperkenalkan diri loh, minimal menyebutkan nama sendiri,” tuntutnya bercanda.
Ikram tidak melepaskan genggaman hangat itu. “Ikram Rasyid.”
Barulah Meutia melepaskan jabat tangan, dia tidak ingin terburu-buru memaksa sang suami mengingat.
Ada sesuatu yang hilang kala jemari lentik tidak lagi menyentuh punggung tangannya. Seperti kekosongan dalam sanubari, Ikram mencoba menjembatani hati dengan logikanya sendiri.
“Meutia ….”
“Ya?” hampir saja dia berseru, sudah lama sekali tidak mendengar namanya dipanggil dengan nada lembut, tatapan hangat.
“Apa diriku masih memiliki orang tua lengkap, dan Nyak Zainab itu …?”
Meutia melipat kakinya menjadi bersila. “Abang sudah yatim piatu, dan sebatang kara. Ibu dan bapak, meninggal sewaktu Abang remaja. Ada bang Darwin, saudara satu-satunya yang bang Ikram miliki. Beliau meninggal tiga tahun lalu, tidak memiliki anak. Nanti bila Abang berkenan, kita berziarah ke peristirahatan mereka, maukah?”
Anggukan Ikram terlihat antusias, ini yang dia inginkan. Meskipun belum mengingat apapun, paling tidak ada seseorang mencoba membawanya mengenang masa lalu.
“Nyak Zainab itu, ibuku. Semenjak kita menikah, dia juga ibunya bang Ikram. Begitu pula seluruh keluargaku, menjadi saudaramu. Sebab, tak lagi ada aku, kau, tapi kita.”
“Terima kasih.”
“Untuk …?” Alisnya naik sebelah.
“Sudah memberiku keluarga disaat diri ini tak lagi memiliki orang tua,” katanya tulus dengan binar mata hangat.
“Hem … apa kita sudah memiliki keturunan?” tanyanya hati-hati. Dia teringat bagaimana luwesnya merawat Denis sedari bayi.
Meutia memperhatikan lekat wajah kekasih hati, dia ingin mengukur, menerka, sanggup tidaknya Ikram Rasyid menerima kabar bertubi-tubi.
“Kita memiliki buah hati yang Alhamdulillah, sholeh dan sholehah _” informasinya terhenti saat mendapati rahang Ikram mengetat, dan punggungnya tegak.
“Lantas, terus, nasib ….” ia diserang rasa panik, dihantam rasa bersalah sampai napasnya menjadi pendek-pendek, dan detak jantung bertalu-talu.
“Bang, lihat Tia, bisa?” Meutia mencoba mengembalikan fokus Ikram Rasyid.
‘Abang tolong lihat, Tia! Abang janji akan kembali ‘kan?’
Rasa pusing langsung menyerang Ikram, kepalanya sakit, dan pandangan mulai berkunang-kunang. Lagi, dia seolah mendengar suara Meutia, tapi kali ini dengan nada lirih.
Meutia menyembunyikan rasa paniknya, melanggar batas yang dia ciptakan demi menjaga kenyamanan sang suami. Dia berdiri, lalu membungkuk – tanpa permisi menjadi penopang tubuh mulai menggigil.
“Tak mengapa, Sayang … aku ada disini, kau tak lagi seorang diri. Ayo kita lewati bersama-sama rasa membingungkan ini. Jangan dipaksakan, perlahan saja. Seumur hidup pun aku ikhlas bila harus dihabiskan membantumu mengingat masa lalu kita.”
Tangan Ikram merangkul pundak Meutia, sebelahnya lagi menekan lantai supaya dia bisa berdiri.
Meutia membantu suaminya berbaring di atas ranjang. Kecemasan itu terlihat pada sorot matanya, dan tertangkap oleh indera penglihatan Ikram.
Ikram seperti menemukan tambatan, sandaran. Dia merasa nyaman sekaligus dekat dengan wanita ini. Meutia tidak memaksa, padahal jelas dirinya berhak dikarenakan statusnya sebagai seorang istri.
“Apa perlu Tia panggil dokter?”
“Tak usah, biasanya dengan berbaring, nanti rasa sakit itu hilang dengan sendirinya. Meutia ....” Dia menarik napas dalam. “Maaf, aku betul-betul tak mengingat _”
Meutia menekan saklar lampu utama, lalu sedikit mundur sampai mereka berjarak tidak lagi menempel. “Bang, jangan dipaksakan! Biar semuanya mengalir apa adanya. Jangan pula merasa bersalah kepada anak-anak, mereka pasti paham. Sebab ini semua bukan keinginan Abang, tapi sudah suratan takdir.”
Ikram terdiam, menatap dalam keheningan dibawah cahaya temaram. “Kau mau kemana?” tanya Ikram, dia melihat gesture Meutia seperti orang bingung.
“Ternyata sudah jam sepuluh, lebih baik Abang tidur. Besok pagi kan hendak melakukan pemeriksaan kesehatan lanjutan. Hem … Tia mau kembali ke hotel seberang rumah sakit ini.”
“Oh,” ada rasa enggan tertinggal dihati, tapi diapun tidak ingin menghalangi keinginan Meutia. Ini terlalu cepat untuk mereka, menurutnya.
“Diluar ada tiga orang pemuda, saudara kita. Biar Tia pinta kepada mereka untuk menemani Abang malam ini, apa Abang tak keberatan?”
“Kenapa harus mereka? Mengapa bukan dirimu saja …?”
.
.
Bersambung.
suskes trs y kak, dtunggu novel kak cublik yg lain'y 😎🥰
setiap katanya penuh semangat khas "Medan kali" , harapannya kedepan lebih banyak bahasa sehari-hari warga Medan atau Langkat khususnya digunakan mbak jadi kesannya memang benar kisah nyata.
Pemirsa pembaca yang Budiman masih menunggu kelanjutan kisah dari desa jamur luobok yang lain. Mungkin kisah si three Musketeers from desa jamur luobok " ayek dkk" .
🙏🙏🙏
terimakasih kaka.. ditengah gundah gulana kaka akan kabar keluarga di tanah air yg terkena musibah, tapi kaka tetap menulis sampai akhir kisah meutia ini. semoga semua karya kaka bisa jadi ladang pahala untuk kakaa.. salam sayang online dari jauh 🤗🤗🥰🩷