Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Pesta Perpisahan dengan Sang Pengkhianat
Mobil sedan Wina melaju kencang, memecah kesunyian fajar Jakarta. Di dalam, udara terasa lebih dingin daripada suhu di luar. Megan duduk tegak, tubuhnya kaku, setiap guncangan mobil mengirimkan gelombang mual. Ia tidak lagi melihat Wina sebagai teman lama atau bahkan saingan; Wina adalah ular yang membawanya kembali ke kandang singa.
“Kau diam saja, Megan,” ujar Wina, melirik melalui kaca spion. Senyum puasnya terpantul di sana. “Aku harus akui, kau punya nyali juga lari dari club. Tapi, sungguh menyedihkan. Kau memilih melarikan diri dari pria yang benar-benar bisa memberimu kekuasaan, dan kembali ke Jose yang sudah jelas-jelas tidak menginginkanmu.”
Megan menoleh, mata lelahnya menatap tajam. “Kau menjualku. Kau memberiku obat bius.”
“Oh, jangan dilebih-lebihkan. Aku hanya membantumu menemukan jalan keluar dari pernikahan yang membosankan,” balas Wina ringan, seolah mereka sedang membahas menu makan siang. “Lagipula, kau mendapatkan pengalaman yang berharga, kan? Kudengar kamar VIP di lantai atas itu eksklusif sekali. Siapa tamu VIP-mu? Pengusaha minyak? Politisi?”
Megan menutup matanya, berusaha keras mengunci ingatan tentang Vega. Pria itu adalah bahaya, tetapi pengkhianatan Wina terasa lebih tajam dan pribadi.
“Jose tahu yang sebenarnya,” Megan mendesis.
Wina tertawa terbahak-bahak. “Tentu saja dia tahu yang sebenarnya, Megan. Kebenaran yang aku buat. Kau pikir Jose akan percaya pada dongengmu tentang diculik, dibius, lalu berakhir di sarang mafia? Sayangku, Jose hanya melihat apa yang ingin dia lihat. Dan dia ingin melihatmu sebagai istri yang kotor, sehingga dia bisa membersihkan namanya sendiri dan menikahiku tanpa rasa bersalah.”
Megan tidak menjawab. Ia tahu Wina benar. Jose selalu mencari jalan termudah. Menuduhnya curang jauh lebih mudah daripada mengakui pengkhianatannya sendiri.
Mobil berhenti. Mereka berada di depan rumah mewah Megan dan Jose. Rumah yang ia dekorasi, rumah yang ia rawat, kini terasa seperti monumen kebohongan.
“Ayo, ratu,” Wina menyeringai, membukakan kunci pintu. “Waktunya pertunjukan besar.”
Mereka melangkah masuk. Interior rumah tampak damai dihiasi cahaya fajar yang masuk melalui jendela, tetapi ketegangan yang menggantung terasa lebih pekat daripada asap mesiu di club tadi malam.
Jose sudah menunggu di ruang tamu. Ia tidak duduk. Ia berdiri di tengah ruangan, mengenakan kemeja yang rapi, tangannya terkepal di samping tubuh. Wajahnya tidak menunjukkan kesedihan atau keraguan, hanya kemarahan yang dingin dan terencana.
“Megan,” panggil Jose, suaranya rendah dan menusuk.
Wina dengan cepat menempatkan dirinya di sisi Jose, memainkan peran sebagai pendukung yang hancur. “Jose, astaga, lihat dia. Kau lihat sendiri keadaannya. Dia baru saja kembali dari… dari sana.”
Megan menatap Jose, mencoba mencari sisa-sisa pria yang pernah ia cintai. “Jose, aku bisa jelaskan. Aku dijebak. Wina—”
“Cukup!” Jose membentak, suaranya menggema di ruangan. “Kau masih berani menyebut namanya?”
“Dia yang melakukan ini!” Megan membalas, rasa putus asa mengubah keputusasaannya menjadi amarah yang membara. “Dia membawaku ke sana, dia memberiku obat!”
Wina menggelengkan kepalanya dengan dramatis, air mata palsu mulai membasahi pipinya. “Jose, aku sudah mencoba membantu Megan. Aku mengajaknya keluar untuk mengobrol, berharap kami bisa berbaikan. Tapi dia malah mabuk dan mulai bercerita tentang kehidupannya yang tidak bahagia, tentang bagaimana dia ingin melarikan diri. Aku meninggalkannya karena aku harus kembali ke rumah, dan dia bilang dia akan bertemu temannya. Aku tidak tahu dia akan berakhir di club seperti itu!”
Jose menatap Wina, tatapan penuh kasih sayang palsu. Ia kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke Megan, dan kebencian terpancar dari matanya.
“Aku tidak sebodoh itu, Megan,” kata Jose. “Kau keluar dari rumah ini tadi malam dengan alasan ingin bertemu teman lamamu. Dan kau kembali pagi ini, dengan pakaian compang-camping, berbau alkohol dan rokok, setelah menghabiskan malam di kamar VIP Club Nocturne?”
“Aku tidak menghabiskan malam di sana! Aku diculik! Aku berhasil melarikan diri!” Megan berteriak.
Wina melangkah maju, memegang ponselnya. “Melarikan diri? Dari siapa? Dari tamu VIP yang membayar mahal untukmu? Aku mendapatkan ini dari rekan kerja di club tadi malam, Megan. Aku sangat malu, tapi Jose harus tahu kebenaran busukmu.”
Wina menekan layar ponselnya, dan menunjukkannya kepada Jose. Jose mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar. Megan tahu persis apa yang ada di layar itu: foto-foto yang dimanipulasi, yang menunjukkan dirinya masuk atau berada di ambang pintu kamar terisolasi di lantai atas.
Jose melihat foto itu. Matanya merah karena amarah, atau mungkin karena kelelahan akting. Dia tidak mencoba menganalisis keaslian foto itu. Dia hanya menerima narasi yang ditawarkan.
“Ini kamar VIP eksklusif, Megan,” Jose mendesis. “Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke sana. Dan kau ada di sana. Berjam-jam.”
“Aku dibius! Aku bahkan tidak sadar sepenuhnya!” Megan memohon, tetapi suaranya pecah. Ia tidak bisa menceritakan tentang Bos Mafia, tentang Vega Xylos. Itu terlalu berbahaya. Jika ia menyebut nama itu, ia tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, tetapi juga kelak jika ada janin di perutnya.
“Oh, tentu saja kau dibius. Kau selalu menjadi korban, kan?” sindir Wina, suaranya tajam seperti pecahan kaca. “Kau tahu, Megan, orang-orang di club itu bilang kau dijual sebagai hadiah untuk seorang pengusaha penting. Kau pikir kami tidak tahu betapa putus asanya kau belakangan ini?”
Jose melempar ponsel itu ke sofa, tatapannya kini memancarkan penghinaan total. “Aku tidak percaya aku pernah mencintaimu. Kau telah mempermalukan keluarga ini. Kau menghancurkan reputasiku.”
“Kau yang berselingkuh!” Megan membalas, menunjuk Wina. “Kau dan dia sudah bersama sejak lama! Kalian yang menjebakku agar kau bisa bebas!”
Jose tersenyum sinis. “Bahkan jika aku berselingkuh, itu karena kau gagal memenuhi tugasku sebagai istri. Tapi kau? Kau pergi dan menjual dirimu ke orang asing di club malam. Itu level pengkhianatan yang berbeda, Megan. Itu adalah kebejatan.”
Wina merangkul lengan Jose, memberikan dukungan visual. “Jangan marah, sayang. Biarkan saja dia. Kita tahu kebenarannya. Dia tidak layak mendapatkan kemarahanmu.”
Kata-kata Wina menusuk lebih dalam daripada pisau. Megan menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan Jose; ia kehilangan identitasnya. Mereka telah berhasil merangkai kisah di mana dia adalah penjahat, dan mereka adalah korban yang menderita.
“Aku tidak bersalah,” bisik Megan, air mata akhirnya mengalir, tetapi itu adalah air mata kemarahan, bukan kesedihan.
Jose menarik napas dalam-dalam, mengatur ekspresinya, seolah dia sedang melakukan pekerjaan yang menjijikkan tetapi perlu dilakukan.
“Aku ingin kita bercerai,” kata Jose. Suaranya datar, tanpa emosi, seolah dia sedang memesan kopi.
Megan sudah menduganya, tetapi mendengar kata-kata itu secara langsung tetap menghantamnya seperti palu godam.
“Aku sudah menghubungi pengacaraku. Kau tahu, karena perbuatanmu ini, kau tidak berhak atas apa pun,” lanjut Jose, menunjuk ke sekeliling ruangan. “Tidak ada harta gono-gini. Tidak ada tunjangan. Semua yang kau miliki di sini adalah milikku. Kau akan pergi seperti kau datang: dengan tangan kosong.”
Megan mundur selangkah. “Kau tidak bisa melakukan ini.”
“Aku bisa. Foto-foto ini adalah bukti kuat di pengadilan bahwa kau telah melanggar janji pernikahanmu secara serius,” Jose berkata, nada suaranya berubah menjadi ancaman. “Jika kau mencoba melawan, aku akan memastikan semua orang, mulai dari orang tuamu hingga rekan kerjamu, tahu tentang ‘petualangan’ VIP-mu.”
Jose berjalan ke sebuah meja kecil, mengambil amplop tebal. “Ini adalah dokumen cerai. Tanda tangani hari ini, dan kau bisa pergi tanpa perlu ribut. Jika kau menolak, pengacaraku akan memastikan kau tidak hanya kehilangan semua hartamu, tetapi juga harus membayar biaya kerugian emosional yang kau timbulkan.”
Wina tersenyum penuh kemenangan. Ia telah menang. Rumah ini, suaminya, dan reputasi yang bersih—semua menjadi miliknya.
Megan menatap dokumen itu. Kepalanya pusing, tubuhnya lemas. Ia tidak punya energi untuk berperang di pengadilan. Ia tidak punya uang untuk menyewa pengacara. Dan yang paling penting, ia membawa rahasia yang jauh lebih besar dan berbahaya dari sekadar perselingkuhan: kelak dia pasti memiliki seorang anak dari seorang bos mafia yang paling dicari. Dia yakin itu. Sebab malam panasnya itu sangat lama dan setiap semburan benihnya sangat kuat masuk dan merembes dalam hangatnya dinding rahimnya.
“Aku akan tanda tangan,” kata Megan, suaranya hampir tidak terdengar.
Jose menghela napas lega, ekspresi kemarahan di wajahnya sedikit mereda. “Bagus. Kau tahu di mana pulpennya.”
Megan berjalan terhuyung-huyung ke meja, mengambil pulpen. Tangan gemetar. Ia melihat namanya di atas garis. Megan... Megan yang dulu, yang percaya pada cinta dan kesetiaan, telah mati di club tadi malam.
Ia menandatangani. Tanda tangan itu terasa seperti penutupan babak, atau lebih tepatnya, pembukaan gerbang neraka baru.
“Sekarang pergilah,” perintah Jose, mengambil kembali dokumen itu dengan cepat, seolah Megan bisa mencemari kertas itu hanya dengan menyentuhnya. “Kau punya waktu satu jam untuk mengemasi barang-barang pribadimu. Hanya barang-barang pribadi. Pakaian di badanmu, dan beberapa kenang-kenangan.”
Wina melangkah maju, tangannya melipat di dada. “Tunggu. Dia tidak boleh membawa apa pun yang berharga, Jose. Bahkan perhiasan dari pernikahan.”
Jose mengangguk. “Hanya pakaian di badanmu, Megan. Itu sudah lebih dari cukup untuk seorang wanita sepertimu.”
Megan menatap pasangan itu. Mereka berdiri bersama, bersinar dalam cahaya pagi, sempurna dalam kekejian mereka. Jose, yang terlalu lemah untuk jujur. Wina, yang terlalu licik untuk berperasaan.
“Aku harap kalian berdua akan hidup bahagia,” ujar Megan, kata-kata itu diucapkan tanpa emosi, hanya pengakuan akan kehancurannya sendiri.
Ia berbalik dan berjalan menuju kamar tidurnya, yang kini terasa asing dan dingin. Ia membuka lemari pakaian, tetapi ia tidak punya kekuatan untuk mengemas. Pakaian, perhiasan, sepatu—semua itu terasa tidak berarti.
Satu jam kemudian, Megan berdiri di ambang pintu depan. Ia mengenakan pakaian yang sama yang ia kenakan saat melarikan diri dari Club Nocturne—compang-camping, berdebu, dan berbau asap. Ia tidak membawa tas, tidak ada dompet, tidak ada ponsel. Hanya kunci rumah, yang ia jatuhkan di keset pintu, mengakhiri perannya di rumah itu.
Jose dan Wina melihatnya pergi dari ruang tamu, seperti mengusir hama. Mereka tidak mengucapkan selamat tinggal. Mereka hanya menonton.
Megan melangkah keluar. Pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi ‘klik’ yang final. Ia berdiri di jalanan, matahari sudah naik, menerangi kehancurannya. Ia seorang diri, tanpa harta, tanpa pekerjaan, dan yang terpenting, membawa rahasia tentang kehidupan baru yang kelak akan tumbuh di dalam dirinya.
Ia mulai berjalan, kakinya terasa berat, tetapi tujuannya jelas: menjauh dari rumah itu, menjauh dari Jose dan Wina. Ia harus mencari tempat persembunyian.
Ia berjalan selama beberapa jam, hingga ia mencapai area perkotaan yang lebih padat. Dengan sisa uang tunai yang ia temukan terselip di saku jaketnya, ia menyewa sebuah kamar kos kecil di sebuah lorong sempit. Tempat itu kotor dan pengap, tetapi aman. Untuk saat ini.
Malam itu, Megan meringkuk di kasur reyot, memegang perutnya yang rata. Ia telah kehilangan segalanya, tetapi ia mendapatkan satu hal: kebebasan yang brutal. Kebebasan untuk memulai kembali, demi kehidupan yang ia bawa.
“Aku akan menjagamu,” bisiknya pada sesuatu yang kelak pasti akan hidup di rahimnya. Yaitu janinnya. “Aku akan merahasiakanmu. Tidak ada seorang pun yang akan tahu tentangmu. Terutama mereka.”
Jauh di markas Vega Xylos, Zeno melaporkan hasil pencarian cepat mereka. “Tuan Xylos, Jose telah mengajukan gugatan cerai kilat pagi ini. Dia menuduh Megan berselingkuh dan mengusirnya. Kami melacak ponsel Wina, dia ada di rumah itu sekarang.”
Vega duduk di kursi kulitnya, pandangannya tertuju pada peta digital Jakarta. “Dia diusir. Bagus. Mereka membersihkan jejak mereka sendiri.”
“Tetapi kami tidak menemukan Megan, Tuan. Dia menghilang setelah meninggalkan rumah itu. Tidak ada transaksi bank, tidak ada penggunaan ponsel. Dia seperti hilang ditelan bumi.”
Vega menyeringai tipis, puas sekaligus terganggu. “Wanita itu. Dia lebih pintar dari yang kukira. Dia tahu cara bersembunyi. Dia tahu bahwa jika dia tinggal, dia akan menjadi umpan.”
“Apa perintah Anda selanjutnya, Tuan? Kami harus menemukannya sebelum Rommy Ivanov berhasil menelusuri jejak Wina,” tanya Zeno.
Vega bangkit, berjalan ke jendela, menatap ke arah kota. “Biarkan dia lari sebentar. Dia butuh waktu untuk pulih. Sementara itu, fokuskan sumber daya kita pada Jose dan Wina. Hancurkan hidup mereka. Hancurkan reputasi mereka. Mereka telah menyentuh milikku.”
Vega menatap peta itu lagi, jarinya berhenti di titik samar di pusat kota yang padat. Ia tahu, naluri seorang mafia tidak pernah salah. Megan berada di luar sana, sendirian, namun membawa benih kekaisaran Xylos.
“Dia akan kembali,” gumam Vega. “Dan ketika dia kembali, dia akan membawa hadiah yang paling berharga.”
DUA BULAN KEMUDIAN
Di kamar kos yang sempit, Megan terbangun oleh rasa mual yang hebat. Ia berlari ke kamar mandi kecil, berlutut di depan kloset. Setelah muntah hebat, ia menatap dirinya di cermin yang buram. Matanya yang merah menatap perutnya.
Sudah hampir dua bulan sejak malam di Club Nocturne. Perubahan fisik yang samar, tetapi gejala yang tidak bisa disangkal. Ia menghitung tanggal dengan jari gemetar.
Ketakutan yang dingin merayapinya, digantikan oleh kepastian yang mengejutkan. Ia hamil. Anak itu pasti anak dari malam yang mengerikan itu, anak dari pria yang meninggalkannya, Bos Mafia, Vega Xylos.
Ini bukan hanya kehamilan; ini adalah bom waktu. Jika Jose tahu, ia akan menggunakannya untuk menghancurkannya. Jika Vega tahu, ia akan kembali untuk merebut anak itu.
Megan menahan napas, keputusannya final dan mutlak. Ia harus menghilang. Ia harus melindungi putranya, rahasia Xylos yang kini tumbuh di dalam dirinya. Ia harus mencari pekerjaan dan pindah ke tempat yang tidak akan pernah ditemukan oleh Jose, Wina, atau bahkan Bos Mafia yang paling berkuasa di dunia.
“Kau dan aku, Nak,” bisiknya pada perutnya. “Kita akan bertahan.”