Semua orang mengira Zayan adalah anak tunggal. Namun nyatanya dia punya saudara kembar bernama Zidan. Saudara yang sengaja disembunyikan dari dunia karena dirinya berbeda.
Sampai suatu hari Zidan mendadak disuruh menjadi pewaris dan menggantikan posisi Zayan!
Perang antar saudara lantas dimulai. Hingga kesepakatan antar Zidan dan Zayan muncul ketika sebuah kejadian tak terduga menimpa mereka. Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 - Zidan
Langit sore di atas kota tampak kelabu, seolah meniru suasana hati Zidan sore itu. Angin menerpa kandang raksasa yang berdiri di pinggiran kota. Di balik panggung, suara musik, sorak-sorai, dan lampu warna-warni terdengar samar tapi semua itu terasa begitu jauh dari dirinya.
Ia duduk di dalam kandang besar yang kini sepi, ditemani oleh satu-satunya sahabat sejatinya: seekor harimau Bengal jantan bernama Alpen. Bulunya oranye keemasan, namun kini terlihat kusam. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya lemah, dan mata emasnya kehilangan cahaya yang dulu menakutkan semua orang.
“Berlari, melompat, mengaum,” gumam Zidan lirih sambil menepuk-nepuk lembut kepala harimau itu. “Berlari, melompat, mengaum... ayo, satu kali lagi, Alpen.”
Tapi harimau itu hanya menatapnya, tenang, pasrah. Ia tahu waktunya hampir habis. Dan Zidan tahu juga.
Tangannya bergetar saat memeluk tubuh besar binatang itu. Dalam setiap helaan napasnya, kenangan masa lalu berkelebat, hari-hari ketika Alpen masih muda dan liar, ketika ia melatihnya dengan kesabaran.
Zidan tidak pernah punya keluarga. Ia dibesarkan oleh mendiang kakeknya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu, hidup dari pekerjaan kasar hingga akhirnya direkrut oleh Kebun Binatang Safari. Sejak itu, Alpen adalah satu-satunya keluarga yang ia punya.
Harimau itu bukan sekadar hewan bagi Zidan. Ia sahabat, pelindung, sekaligus alasan untuk terus hidup. Namun kini, di depan matanya, keluarga satu-satunya itu sedang sekarat.
Ia menatap wajah binatang itu dengan mata memerah. “Kau tahu, Alpen… orang bilang aku gila karena lebih peduli padamu daripada manusia. Tapi mereka tidak tahu, hanya kau yang selalu menatapku tanpa kebencian.”
Harimau itu menggerakkan telapak kaki depannya, menyentuh tangan Zidan lemah-lembut. Lalu, untuk terakhir kalinya, ia mengeluarkan suara pelan, bukan auman, tapi seperti bisikan lembut yang hanya bisa dimengerti oleh satu orang di dunia ini.
“Roarrr…”
Suaranya memudar, dan tubuhnya pun diam. Zidan menatap kosong, seolah seluruh warna di dunia menghilang. Udara tiba-tiba begitu berat, waktu seakan berhenti berputar.
Air mata jatuh tanpa suara.
“Tidak, Alpen… buka matamu… ayo, sekali lagi…” suaranya parau, nyaris tak terdengar. Tapi tubuh besar itu tetap tak bergerak. Hangat yang dulu ada di bawah tangannya perlahan menghilang, berganti dingin yang menusuk hati.
Ia menunduk, keningnya menyentuh kepala harimau itu. “Tidurlah,” bisiknya lirih. “Kau sudah berjuang terlalu lama.”
Di luar, hiruk pikuk pengunjung kebun binatang masih menggema, tanda bahwa dunia tidak berhenti walau satu jiwa baru saja pergi.
Zidan, begitulah namanya. Ia hanya tahu satu kata itu saja. Jujur saja, Zidan tak pernah tahu tentang asal-usul keluarganya, dan dirinya tak pernah ingin tahu. Yang jelas bagi Zidan, keluarganya telah membuangnya karena kecacatan yang dirinya miliki.
Memang sejak lahir, Zidan memiliki kecacatan fisik berupa tangan buntung. Seumur hidupnya dia hanya punya tangan kanan. Karena kecacatan itu pula Zidan selalu dibully dan tak punya teman.
Malam itu, hujan turun pelan.
Kebun binatang telah sepi, hanya suara tetesan air yang menemani Zidan yang duduk di samping tubuh Alpen yang sudah dibungkus kain putih. Ia tidak bisa berhenti memandangi wajah harimau itu.
“Berlari, melompat, mengaum,” ulang Zidan pelan. Kalimat itu kini hanya gema dari masa lalu.
Petir menyambar di langit.
Dalam cahaya kilat sesaat, Zidan menatap cincin kecil yang tergantung di lehernya, cincin giok tua yang dulu diberikan oleh kakeknya. Lelaki tua itu berkata cincin itu membawa keberuntungan, simbol penjaga dari roh binatang besar. Tapi malam itu, cincin itu terasa berat. Seolah menyerap kesedihan yang menyesakkan dada.
Sementara itu, di halaman luas kebun binatang, masuk sebuah mobil mewah. Seorang lelaki berjas rapi keluar dari mobil. Ia melangkah cepat sambil di iringi dua pengawalnya kala itu.
Lelaki berjas rapi tersebut menghampiri petugas keamanan kebun binatang yang berjaga. "Permisi, bisakah kami menemui karyawan yang bernama Zidan? Katanya dia bekerja jadi pawang harimau di sini," ujarnya.
"Oh si tangan buntung dan aneh itu? Dia kulihat belum pulang dari tadi. Ada apa ya, Pak? Apa dia melakukan pelecehan seperti Agus yang viral itu?" tanggap Sobri, si petugas keamanan.
Cinta yang sehat dapat membantu seseorang merasa lebih bahagia dan lebih sehat secara keseluruhan.
Ketika seseorang merasa dicintai dan mencintai, tubuh dan pikirannya akan bekerja lebih baik untuk mendukung kesejahteraan secara menyeluruh...🤨☺️
Ketika seseorang mencintaimu sepenuh hati, itu memberimu rasa aman dan penerimaan yang membantumu menjadi versi terbaik dirimu. Mengetahui bahwa seseorang mendukungmu, bahwa kamu dihargai dan disayangi apa adanya, memberimu rasa stabilitas.
Kamu merasa lebih kuat karena seseorang percaya padamu, terkadang bahkan ketika kamu berjuang untuk percaya pada diri sendiri...🥰💪
Konsep ini menyatakan bahwa setiap tindakan (baik atau buruk) memiliki konsekuensi yang akan kembali kepada pelakunya, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya.
Jika kamu melakukan hal baik, maka efeknya pun baik, begitu pula sebaliknya.
Dalam konteks modern, karma juga dapat dipahami sebagai prinsip tanggung jawab pribadi dan kesadaran atas tindakan kita.
Karma berlaku bagi siapapun yang melakukan hal buruk.
Jangan pernah berbuat hal buruk sekecil apapun dan dalam kondisi apapun.
Karena hal itu akan membawa sesuatu yang buruk pula ke dalam hidupmu, atau bahkan bisa terbalas dengan keburukan yang lebih besar...😭
Amarah, kesedihan atau kebencian yang berlebihan, jika dibiarkan merajalela, akan membutakan mata hati dan menyesatkan akal sehat.
Kita kemudian menjadi tawanan dari perasaan kita sendiri, terperangkap dalam labirin pikiran yang gelap dan berliku.
Setiap langkah yang kita ambil didikte oleh emosi sesaat, tanpa pertimbangan yang matang dan tanpa visi yang jernih.
Kita kehilangan kemampuan untuk berpikir rasional, untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang, dan untuk mengambil keputusan yang bijaksana...😥