Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela ruang makan, menyinari meja kayu yang rapi dengan piring keramik putih. Aroma kopi hangat dan roti panggang memenuhi udara. Audy duduk anggun dengan blouse satin biru lembut, tablet di tangan, matanya fokus meneliti grafik-grafik yang berbaris di layar. Sesekali dia menyendok salad, sesekali menyesap kopi, tenang dan penuh konsentrasi.
Chandra yang baru turun dari kamar, dengan handuk yang masih tersampir di lehernya dan rambut basah setelah mandi, berdiri terpaku di ambang pintu. Dia mengucek matanya, memastikan penglihatannya tidak salah. Tidak ada sepiring nasi goreng, tidak ada omelet hangat, tidak ada secangkir kopi hitam yang biasanya sudah menunggu di meja untuknya.
“Loh, sayang…” Chandra mengerutkan dahi, berjalan mendekat. “Kamu kok makan sendiri? Punya aku mana?”
Audy tidak langsung menjawab. Dia menatap sekilas ke arah suaminya, lalu kembali ke tablet, seolah pertanyaan itu hanya sekedar gangguan kecil yang tidak berarti. Dengan nada datar, dia menjawab sambil menyesap kopinya, “Punya kamu? Bikin sendiri lah. Kamu kan bisa bikin sarapan sendiri? Jangan kayak anak kecil deh”
Chandra mendengus, mencoba menahan kesal. “Ya aku bisa sih bisa, tapi kalau aku bikin sekarang, aku bisa telat meeting sama klien. Ini klien besar, loh, sayang.”
Audy meletakkan sendok, menutup tablet, lalu menatap suaminya dengan senyum tipis. “Kalau kamu tahu mau meeting pagi, ya harusnya bangun lebih pagi. Siapin makananmu sendiri. Kamu pikir aku nggak sibuk.” Dia berdiri, mengambil tas kerja, saat dia mendengar suara klakson mobil kantor yang menjemputnya sudah datang.
Sebelum melangkah pergi, Audy menoleh sekilas. “Oh ya, habis makan cuci sendiri piringnya ya. Aku nggak mau sink kita bau.” Senyumnya singkat, lalu pintu menutup di belakangnya.
Chandra berdiri kaku, serbet di tangannya diremas lalu dilempar ke meja dengan kasar. “Audy kenapa sih? Belakangan ini dia bener-bener bikin gue kesel. Sialan,” gumamnya dengan wajah masam.
Chandra lalu bergegas ke kamar, membuka lemari dengan tergesa. Begitu melihat isinya, matanya membelalak. Kemeja-kemeja kerja yang biasa tersusun rapi kini tidak ada. Yang tersisa hanyalah beberapa kemeja lama—kusam, kusut, bahkan ada yang warnanya mulai memudar. Sama sekali tidak pantas untuk dipakai menghadiri meeting penting.
“Arrghhhhhh! Kenapa bajuku belum dicuci sih?!” Chandra hampir berteriak. Dengan frustasi dia menekan tombol interkom rumah, lalu menjerit dari ambang pintu kamar. “Biiiiii… Bi Ijahhhhhh!”
Tak lama, muncullah Bi Ijah, perempuan setengah baya dengan daster bunga-bunga dan kerudung yang dililit seadanya. Dia membawa lap di bahunya, wajahnya santai seolah baru saja pulang dari warung tetangga. “Iya, Pak…” suaranya pelan tapi terlihat hati-hati.
Chandra menunjuk ke arah lemari dengan ekspresi marah. “Ini kenapa baju saya belum dicuci?”
Bi Ijah melirik lemari, lalu menggaruk kepalanya dengan canggung. “Oh… kata Bu Audy, baju Pak Chandra disuruh cuci sendiri. Soalnya kalau saya yang cuci, nanti kalau nggak bersih atau rusak, saya juga yang dimarahi. Jadi mending bapak yang cuci sendiri”
Jawaban itu membuat Chandra ternganga, seolah tak percaya telinganya sendiri.
“Audy… Audyyyyyy!!!” teriaknya, suaranya menggema ke seluruh rumah.
Bi Ijah hanya bisa berdiri di ambang pintu, menatap majikannya yang seperti orang linglung. Bibirnya bergerak, hampir tak terdengar, sambil bergumam pada diri sendiri, “Astaghfirullah… ini bapak kok kayak anak kecil baru disapih, ya?”
***
Pintu rumah terbuka keras, hampir terbanting ke dinding. Chandra melangkah masuk dengan wajah merah padam, dasinya sudah longgar, kemejanya semakin kusut—seolah merekam seluruh penghinaan yang dia telan siang tadi saat pertemuannya dengan klien. Napasnya berat, dadanya naik-turun cepat.
“Dy!” suaranya menggema di ruang tamu. “Dy, kamu di mana?!”
Dari ruang keluarga, terdengar suara lembut musik jazz bercampur aroma teh melati. Audy duduk santai di sofa, kaki berselonjor, tablet di pangkuannya, sesekali mencatat sesuatu di buku kecil. Rambutnya tergerai indah, wajahnya tenang, seakan rumah ini tidak baru saja dimasuki badai.
“Apa?” sahutnya singkat tanpa menoleh.
Chandra mendekat, wajahnya merah padam. “Kamu tahu nggak?! Hari ini aku malu banget di depan klien gara-gara penampilan aku! Gara-gara bajuku nggak ada yang layak dipakai! Kamu pikir enak begitu?!”
Audy mengangkat kepalanya perlahan, sorot matanya dingin. “Terus?”
“Dy!” Chandra mendengus, tangannya mengepal. “Jangan bikin aku makin naik darah! Selama ini kan kamu yang ngurusin semuanya, kok tiba-tiba kamu jadi kayak gini sih? Aku udah cukup sabar ya sama sikap kamu belakangan ini, jangan bikin aku makin gila di rumah!”
Audy menutup tablet, meletakkannya di meja, lalu berdiri. Suaranya tetap tenang, nyaris datar, tapi justru itu yang membuat Chandra semakin terbakar.
“Terus mau kamu apa sekarang? Kalau kamu nggak suka, ya udah kita cerai aja, nggak masalah. Aku juga udah muak jadi istri yang patuh dan diremehkan sama kamu”
Chandra melangkah maju, nadanya meninggi. “Kamu ngomong apa sih, Dy! Cerai?! Enteng banget kamu ngomong begitu sama aku?!”
Audy menatapnya lurus, tanpa berkedip. Lalu senyum tipis tersungging di bibirnya. “Loh aku cuma kasih kamu solusi cepat, kalau kamu nggak suka sama sikap aku sekarang, ya udah cerai aja. Gampang kan”
"Atau mungkin, kamu bisa minta tolong Jenny, buat ngurusin kamu? Kan belakangan ini kalian akrab banget" lanjut Audy
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk lambung Chandra tanpa ampun. Dia terdiam, dadanya sesak, napasnya tercekat. Tangannya terulur, ingin melempar sesuatu, tapi tak ada tenaga tersisa.
"Aku tahu sekarang, kamu kayak gini karena kamu nggak suka aku akrab sama Jenny, please lah. Kamu tuh cemburu berlebihan tau nggak. Aku sama Jenny nggak ada hubungan apa-apa" seru Chandra.
"Emang yang bilang kalian ada hubungan siapa? Aku cuma bilang kalau kalian akrab banget, akrab bukan berarti ada hubungan kan? Atau mungkin kalian emang ada hubungan rahasia?" tandas Audy.
"Jangan ngelantur kamu Dy" seru Chandra mencoba menutupi raut panik diwajahnya.
Audy mengambil cangkir tehnya, menyeruput pelan. “Kalau nggak ada lagi yang mau kamu omongin, aku mau tidur. Oh ya, mulai malam ini kamu tidur diruang tamu, aku lagi nggak pengen tidur sekamar sama kamu” Suaranya ringan, tapi dingin bagai es. Setelah itu, dia berjalan ke arah tangga, meninggalkan Chandra yang terpaku di ruang tamu.
Sunyi.
Hanya suara detak jam dinding yang menemani Chandra, yang kini duduk di sofa dengan wajah pucat, genggamannya gemetar. Rasa marah, malu, dan kecewa bercampur jadi satu. Untuk pertama kalinya, dia merasa kalah dari Audy, wanita yang selama ini selalu menuruti permintaannya. Dan sekarang, mereka juga harus pisah ranjang? Chandra sulit percaya jika perubahan sikap Audy justru akan membuatnya kerepotan seperti sekarang.
***
Chandra duduk sendirian di teras rumah, malam itu. Rokok di tangannya sudah setengah habis, tapi rasa sesak di dada tak juga reda. Dari dalam rumah terdengar langkah Audy yang sibuk naik-turun tangga, seolah sama sekali tak peduli dengan keberadaannya. Ia meraih ponsel, menatap layar sejenak, lalu menekan nama yang selalu menjadi tempat pelariannya: Mama.
“Hallo, Chan? Ada apa kamu nelpon mama malem-malem?” suara Martha terdengar penuh kehangatan semu di seberang.
“Mama…” Chandra menarik napas berat. “Aku… aku nggak tahu harus gimana lagi. Audy… Dia sekarang beda banget, Ma. Dia nggak kayak dulu lagi. Semua aku kerjain sendiri, Ma. Baju nggak dicuci, sarapan nggak ada, bahkan tadi siang… aku harus menahan malu didepan klien cuma gara-gara kemeja lusuh. Aku pulang, bukannya ditenangin, malah makin disepelein.”
Terdengar decakan kesal dari Martha. “Hah! Mama tuh udah dari dulu bilang, Chan. Itu perempuan nggak pantas buat kamu. Dari awal Mama udah lihat, mukanya aja judes, hatinya apalagi. Cuma kamu aja yang buta.”
“Serius ma, aku capek sama dia” suara Chandra merendah, nyaris bergetar.
“Sekarang kamu baru ngerasa kan. Coba kamu pikir, sudah lima tahun kalian menikah, kalian belum juga punya anak. Mana? Nggak ada! Mama yakin kalau dia perempuan mandul , apa yang bisa dibanggain? Udah nggak bisa kasih keturunan, dari keluarga broken home, sekarang malah nyusahin kamu. Ckckck.”
“Maa…” Chandra mengusap wajahnya, matanya terasa panas. Ia ingin membantah, tapi hatinya justru makin terguncang oleh kata-kata ibunya.
Martha tak berhenti. “Masih mending gadis yang kamu kenalin sama mama waktu itu Chan, dia keliatan baik, sopan, dia pasti bisa jadi istri yang baik buat kamu”
“Jenny…?” Chandra tanyanya lirih. Nama itu meluncur pelan, tapi membuat pikirannya bergejolak.
“Iya, Jenny. Dia juga cantik, nggak kalah sama Audy, Lagian emang apa salahnya kalau kamu punya istri dua, toh istri kamu sekarang gak bisa ngelayanin kamu dengan baik. Normal lah, kalau laki-laki punya satu dua wanita di luaran.”
Suara Martha makin tajam, penuh tekanan, tapi juga seperti racun yang merembes pelan ke dalam hati Chandra.
Chandra menutup wajahnya dengan tangan, tubuhnya bergetar. Ia merasa semakin kecil, semakin tak berdaya. “Gak segampang itu lah ma, Jenny itu adik tirinya Audy, apa kata orang kalau mereka tahu aku pacaran sama adik aku sendiri.”
Di seberang, Martha mendesah panjang. “Ya kamu yang pinter dong, masa kayak gini aja mesti mama yang ajarin. Kan kalian bisa nikah siri dulu, nanti Audy pasti nyesel. Lagian kalian juga udah deket, sering liburan bareng juga kan sampai ke luar negeri?"
"Dengerin mama, kamu nikah siri aja dulu. Kalau Jenny punya anak dari kamu, baru kamu ceraikan Audy. Mama udah kepengen punya cucu, temen-temen mama semua udah punya cucu, masa cuma mama sendiri yang belum" kata Martha lagi.
Sunyi merayap di antara jeda percakapan. Chandra terdiam lama, rokok di tangannya padam tanpa sempat dihisap. Kata-kata ibunya terngiang keras di kepala, memecah sisa pertahanannya.
...****************...