Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 — Hari Pertama Berjauhan
Wisnu mencoba memejamkan mata,
meski di telinganya ia tak bisa mengabaikan suara pelan dengkuran Rendi
yang berpacu dengan detak jam dinding.
Lama-lama, suara itu melebur pelan,
berganti dengan irama langkah kaki kuda di atas tanah kering.
"Tap... tap... tap..."
Angin hangat menampar wajahnya lembut,
dan dari kejauhan, samar-samar terdengar suara seseorang memanggil.
“Hei... Wira!”
Suara itu berat, tegas.
Ia membuka mata, dan mendapati dirinya duduk di atas seekor kuda hitam gagah,
menyusuri jalan setapak di hutan lebat yang diterpa cahaya sore.
“Jika kau naik kuda sambil tidur, bisa-bisa dibawa kuda mu masuk ke jurang,”
suara itu datang lagi, kali ini jelas di sampingnya.
Sebuah tangan besar mendarat di kepalanya.
“Aduh…” Wisnu menggosok kepalanya pelan.
Di sisi kiri, seorang pria berwajah gagah dengan sorot mata tajam menatapnya.
Ia adalah Suraghana, pangeran pertama Galuh.
“Dedemit apa yang membuatmu begitu melamun, Wira?”
seru suara lain di belakang mereka, milik Sempakwaja,
yang menahan tawa sambil mengatur tali kekangnya.
“Dedemit apa,” dengus Suraghana. “Dia di sini, tapi hatinya di taman kaputren.”
Sempakwaja tertawa lepas.
Wirabuana hanya menatap jalan di depannya.
Suraghana menatap adiknya lekat-lekat.
“Wira, jangan biarkan hatimu mendahului kewajibanmu.”
Wira menunduk. “Maafkan aku, Kakang. Setelah membawa Puspa ke Galuh, baru kali ini kami berpisah jauh.”
Sempakwaja terkekeh. “Ck ck ck… Dulu kau paling bersemangat kalau disuruh patroli wilayah.
Ternyata cinta bisa juga mengubah segalanya.”
“Bukan begitu, Kakang,” jawab Wira, menatap jauh ke depan.
“Aku hanya… takut Puspa merasa sendiri.”
“Sendiri?” Suraghana menoleh sekilas. “Ada ibunda Ratu, ada para emban yang selalu menemaninya.
Apa yang kau maksud sendiri?”
Wirabuana tidak menjawab. Hanya menatap ke arah langit yang mulai temaram.
Sementara itu, langkah-langkah kuda mereka melambat, memasuki area datar di tepi hutan.
“Di sini saja kita berkemah malam ini,” ujar Suraghana akhirnya.
Sempakwaja mengangkat alis, tampak heran.
“Kenapa tidak di pesanggrahan Galuh saja, Kakang? Dekat dengan desa, ada tempat istirahat pula.”
“Entahlah…” Suraghana menatap sekeliling, memperhatikan rimbun pepohonan.
“Aku hanya tidak ingin kedatangan kita diketahui para lurah dan bangsawan wilayah.”
“Oh, jadi maksud Kakang ingin tahu keadaan desa yang sebenarnya?” tanya Sempakwaja sambil menurunkan buntalan perbekalan dari pelana.
Suraghana mengangguk. “Tepat sekali.
Sebab setiap kali mereka tahu kita akan datang, semuanya seolah baik-baik saja.
Tapi mataku melihat sesuatu yang lain, ketakutan, atau mungkin… kepura-puraan.”
Wira menimpali dengan suara lebih rendah, “Jadi dengan berkemah di sini,
besok pagi kita bisa datang mendadak sebelum mereka sempat bersandiwara?”
Suraghana tersenyum. “Begitulah.
Dengan begitu, kita akan tahu siapa yang benar-benar sejahtera, rakyatnya, atau lurahnya.”
Sempakwaja tertawa pendek. “Pantas Kakang memilih tempat ini.”
Wira menghela napas. “Terutama… desa-desa yang dekat dengan Kadipaten milik Paman Jagatpati.”
Nada suaranya nyaris seperti bisikan.
Suraghana menatap adiknya sekilas, tapi tak berkata apa-apa.
Di kejauhan, para prajurit mulai menyiapkan tempat perapian, membersihkan dahan dan ranting kering.
Cahaya obor berpendar lembut.
Suara jangkrik mulai terdengar dari balik semak.
Wirabuana membersihkan jelaga hitam yang menempel di kulit singkong bakar.
Begitu kulitnya terkelupas, uap panas mengepul tipis, membawa aroma gurih-manis khas singkong yang baru diangkat dari bara.
“Waaah... Puspa pasti senang sekali menikmati singkong bakar dengan jahe gepuk hangat seperti ini,” ujar Wirabuana sambil tersenyum kecil.
“Jangankan Puspa, kita juga sudah menunggu ini dari tadi,” timpal Sempakwaja, menyodorkan gelas gerabah berisi wedang jahe ke arah adiknya.
Wirabuana menerima gelas itu, kemudian menyerahkan sepiring singkong bakar ke kakaknya.
“Lihat Kakang... sudah kubersihkan, tinggal makan.”
Suraghana yang tengah memanggang ayam hutan hanya menggeleng pelan. Beberapa prajurit yang duduk di dekat api unggun sempat hendak membantu, namun ia menahan mereka.
“Kalian nikmati saja makan malam kalian. Biar ini kami urus sendiri.”
Sempakwaja terkekeh. “Benar, kalian tidak perlu repot membantu Wirabuana membersihkan singkong... biar tangannya saja yang hitam!”
Beberapa prajurit tertawa kecil, sementara bara api memercik halus, menyinari wajah ketiga pangeran Galuh yang tampak lebih seperti saudara dalam perkemahan.
"Ayam panggang hutan buatan Kakang memang yang terbaik,” puji Wirabuana sambil menghirup aroma gurih dari ayam yang matang sempurna.
“Aduh, panas sekali... kau benar, Wira!” seru Sempakwaja yang sedang sibuk memotong-motong ayam panggang itu.
Suraghana hanya mendengus, matanya menyipit.
“Halah, itu hanya alasan kalian saja, kan? Karena malas membolak-balikkan ayam.”
“Bukan malas, Kakang,” Wirabuana terkekeh. “Cuma tidak setelaten Kakang. Kalau bikin singkong bakar tinggal kubenamkan di bara, nanti kalau sudah matang tinggal diangkat.”
“Benar, dan bikin wedang jahe pun bisa sambil mata setengah terpejam. Tapi kalau ayam? Dibiarkan dengan bara terlalu panas bisa gosong, eh dagingnya masih merah kalau apinya padam,” Sempakwaja menimpali.
Suraghana akhirnya tertawa kecil.
“Kalian ini… mana bagianku? Hei, Waja, jangan ambil yang paling besar, ya!”
Sempakwaja langsung berseru,
“Tidak, Kakang. Sudah kubagi dengan adil untuk kita bertiga!”
Suraghana hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu meneguk perlahan air jahe hangat yang mengepulkan uap.
“Wilayah-wilayah yang kita datangi tadi siang cukup baik,” ujarnya akhirnya.
Wirabuana mengangguk sambil mengunyah.
“Benar. Lurahnya juga tampak mengayomi rakyat di wilayahnya. Saudagar dan bangsawan di sana pun tidak menutup mata terhadap keadaan rakyat lain.”
Sempakwaja menimpali dengan nada kagum.
“Bahkan, saudagar di sana yang membayar tabib desa agar rakyat sekitar bisa mendapatkan pengobatan gratis.”
Suraghana menatap bara api di depan mereka.
“Jika saja semua wilayah seperti itu…” gumamnya pelan, membiarkan kalimatnya menggantung.
Wirabuana menatap kakaknya. “Ah, Kakang, tidak semua saudagar dan bangsawan mau menghamburkan uangnya, kan? Di wilayah terakhir tadi Kakang juga menegur lurahnya kan?”
“Ya,” jawab Suraghana, suaranya sedikit berat. “Itu karena di sana hanya ada satu tabib, dan katanya tabib itu sedang bepergian dan belum juga kembali. Kenapa tidak ada tabib pengganti, sampai kapan orang sakit diminta menunggu...”
“Pergi ke mana tabib itu, Kakang?” tanya Sempakwaja sambil memotong daging ayam di tangannya.
“Entahlah. Anak yang ada di rumahnya tidak bisa berbicara, jadi sulit sekali untuk ditanyai,” jawab Suraghana. Lalu ia menoleh, seolah baru teringat sesuatu. “Tadi kau kabur ke mana, Waja?”
“Aku? Aku memeriksa irigasi desa bersama para prajurit,” sahut Sempakwaja, kali ini nada suaranya berubah kesal. “Ah, aku marah sekali. Airnya hanya mengalir ke lahan yang luas, tentu saja itu milik bangsawan. Sedangkan lahan petani kecil hanya mendapat aliran sisa!”
Suraghana menarik napas panjang,
“Dan mereka menyebutnya tanah makmur...” ucapnya lirih, lalu menoleh pada adiknya.
“Lalu apa yang kau lakukan, Waja?”
Sempakwaja menegakkan duduknya, menaruh tulang ayam di samping bara.
“Aku ubah alur irigasinya, Kakang. Kupasang pembagi air baru dari bambu agar alirannya merata. Lahan besar dan kecil sama-sama dapat bagian sesuai luasnya, bukan hanya berdasarkan siapa pemiliknya.”
Wirabuana tersenyum kecil, kagum. “Kau pasti akan dimarahi lurah atau bangsawan setempat.”
Sempakwaja terkekeh, menatap bara yang mulai padam.
“Mungkin besok mereka akan mengadu pada pengusaha kadipatennya. Tapi selama kita membawa nama Galuh, bukankah mereka harus tunduk?"
Suraghana menatap adiknya lama, antara bangga dan khawatir.
Sempakwaja paham hal itu, tapi matanya tetap menyala oleh semangat.
“Tidak apa-apa Kakang, rakyat pasti berpihak pada kita."
Wirabuana menatap kedua kakaknya bergantian, lalu tersenyum samar.
“Ah, kalian ini… bahkan saat makan pun masih bicara hal berat.”
Suraghana tertawa kecil. “Itu sebabnya Galuh berhasil berdiri. Karena bahkan saat lelah pun, kita tak lupa apa yang harus dijaga.”
“Aku rindu sekali pada Puspa,” ujar Wirabuana tiba-tiba, sambil meletakkan tulang ayam terakhirnya.
"Haaa... kau ingin tidur kupeluk saja agar tidak kesepian?” goda Sempakwaja sambil terkekeh.
“Bukan begitu, Kakang...” Wira menghela napas panjang.
“Baru juga tadi pagi buta kalian terpisah... tenanglah, ada Ibunda Ratu di sana,” sahut Suraghana, berusaha menenangkan.
“Iya, Kakang... tapi juga ada Kencana,” balas Wira lirih.
“Hmmm... aku mengamati gelagat Kencana, tak ada yang aneh,” kata Sempakwaja.
“Dia memang sering datang ke Kaputren, tapi sejauh ini banyak membantu Puspa belajar,” tambah Suraghana.
“Aku tahu itu, Kakang. Aku juga heran... Paman Jagatpati pun tampak tenang, tak ada pergerakan apa pun,” Wira menunduk, menatap bara yang mulai padam.
“Mungkin Kencana benar-benar hanya ingin punya teman sebaya wanita?” ucap Sempakwaja, mencoba menebak.
“Bangsawan lain pun banyak jika hanya ingin teman sebaya, Waja,” jawab Suraghana tenang. “Kau sudah menyuruh Puspa untuk waspada?”
Wira mengangguk pelan. “Sudah. Tapi sejauh cerita Puspa, memang benar... Kencana datang untuk belajar, menemani, dan membantunya beradaptasi. Aku ingin curiga, tapi... dari mana harus memulai?”
Ketiga pangeran itu terdiam.
Hanya suara malam dan bara kayu yang sesekali berderak.
Wira menatap bara yang mulai redup.
“Semoga ia baik-baik saja…” bisiknya nyaris tak terdengar.