NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19

“Non…” Ucap Mbok Surti di sampingnya, suaranya lembut tapi menenangkan. “Tidak apa-apa, Non. Masuk saja. Si Mbok juga awalnya sempat kaget. Kira si Mbok, Bapak membawa Non Amira ke rumah hanya untuk diangkat sebagai anak. Makanya, si Mbok sudah menyiapkan kamar kosong dari beberapa hari lalu. Tapi mungkin si Mbok salah tangkap. Sekarang, kamar ini … ya, kamar den Angga juga jadi kamar Non.”

Amira menatap Mbok Surti, matanya penuh kebingungan. Campuran antara lega dan ragu-ragu terasa di dadanya. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, sebelum melangkah perlahan menuju pintu kamar yang terbuka.

"Ya sudah kalau begitu, si Mbok tinggal dulu, ya. Si Mbok mau nyiapin makan malam dulu. Kalau ada apa-apa, Non panggil si Mbok, ya."

Amira mengangguk. "Terima kasih ya ... Mbok."

"Jangan sungkan ya, Non. Kalau begitu si Mbok permisi dulu."

Amira mengangguk. Ia kembali menatap pintu ketika wanita berwajah teduh itu menuruni anak tangga lalu pergi meninggalkan jejak. Disana, ia masih mematung. Tangannya gemetar saat menyentuh gagang pintu. Ada ragu yang mulai muncul. Haruskah ia masuk ke dalam kamar ini? Kamar yang mungkin akan terbagi juga untuknya. Pikirnya.

Amira mulai menekan ke bawah daun pintu dengan hati-hati. Pintu itu bergerak perlahan, mengeluarkan suara decitan tipis yang membuat Amira semakin menegang.

Ketika pintu terbuka setengah, Amira mengintip masuk. Cahaya dari jendela menembus tirai tipis, menerangi sebagian ruangan. Tercium aroma kamar yang terasa ringan, sedikit campuran parfum maskulin dan kayu, membuat ruangan itu terasa personal namun tak terlalu hangat—lebih seperti cerminan seseorang yang disiplin, dingin, tapi menyimpan sisi rapi dan teratur. Amira menelan ludah, napasnya tersendat, dan dengan hati-hati ia mendorong pintu lebih lebar, hingga akhirnya ia masuk ke dalam kamar.

Kamar Angga cukup luas, tapi terasa rapi dan teratur hingga memberi kesan dingin. Dindingnya dicat warna netral, dihiasi beberapa bingkai foto yang tertata rapi—beberapa pemandangan kota, beberapa momen yang tampak berharga baginya. Sebuah jendela besar di sisi kamar menembus cahaya sore yang lembut, menyoroti tirai tipis yang setengah terbuka, membuat bayangan-bayangan tipis menari di lantai kayu yang bersih.

Di satu sudut, sebuah meja kerja dengan kursi kulit gelap terlihat rapi, hanya ada beberapa buku dan pulpen tersusun rapi. Lemari pakaian besar menempel di dinding lain, pintunya tertutup rapat, memberi kesan misterius. Di tengah kamar, ranjang single dengan selimut berwarna gelap tampak rapi, tanpa satu pun bantal yang berantakan. Di sana, Angga duduk di tepi ranjang, wajahnya setengah tersembunyi dalam bayangan.

Setiap langkahnya terasa berat, seakan lantai di bawahnya menolak untuk diinjak. Namun, tekad perlahan muncul, menyalakan keberanian di tengah kecemasannya. Amira tahu ia harus menghadapi situasi ini—meski rasa ragu dan takut masih bercampur di dadanya—sementara ia semakin mendekat ke arah Angga, setiap langkah menegangkan hatinya, seolah menariknya masuk ke dalam ruang yang belum sepenuhnya ia pahami, apalagi diterima.

Menyadari kehadirannya, Angga beranjak dari tempat tidurnya lalu menangkap Amira dengan tatapannya yang tajam. Sementara, Amira menelan ludah, langkahnya terhenti sejenak. Hatinya berdegup kencang, dan setiap inci jarak antara mereka terasa seperti medan pertempuran yang sunyi.

Angga berdiri tegak, tubuhnya sedikit menunduk, matanya tak lepas menatap Amira—campuran dingin, penasaran, dan sesuatu yang sulit ia baca sepenuhnya. "Kamu sengaja kan melakukan ini?" Katanya memecah keheningan. "Sengaja mengumpulkan warga atau mempengaruhi Ayahku agar aku bisa menikahimu?!"

Amira terkejut. Ia mengangkat kepala, menatap balik ke arah mata Angga, berusaha mengumpulkan keberanian. "Ma-Maksud Mas Angga ..."

Angga berpaling sejenak, membiarkan tawa pahit keluar dari bibirnya. Suara itu terdengar singkat, namun menggantung di udara, membawa campuran kecewa dan kepahitan yang sulit dijelaskan. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya, sikapnya kaku, menandakan bahwa ia mencoba menahan emosi yang bergejolak di dalam diri. "Berpura-pura bodoh dan bersikap polos. Wanita rendah dan jalang sepertimu banyak sekali cara untuk mendapatkan lelaki manapun yang kamu mau!"

"Mas," Lirih suara itu. Amira tak menyangka kalimat itu begitu kasar dan meluncur dengan sangat jelas, menyayat telinga dan hatinya.

Angga. Sosok lelaki yang ia kira hanya dingin dan tak peduli, ternyata lebih kompleks dari bayangan yang selama ini ia buat dalam pikirannya. Tatapannya yang tajam, tawa pahit yang singkat, dan sikapnya yang menahan diri… semuanya membuat Amira sadar bahwa ada sisi lain dari Angga yang belum pernah ia mengerti.

"Camkan setiap kalimatku!" Lanjut Angga. "Aku ... tidak akan pernah bisa menerima kamu sebagai istriku! Pernikahan ini hanya sebuah kecelakaan, Amira! Jangan mengharapkan sesuatu yang lebih dari pernikahan ini!"

Tiba-tiba, Angga berbalik. Tangannya membawa sebuah bantal dengan cepat, dan sebelum Amira sempat bereaksi, bantal itu ia lempar tepat ke arahnya.

Amira menjerit kecil, terkejut, dan secara refleks menangkis bantal itu dengan kedua tangannya. Bantal itu mendarat di lantai dengan bunyi empuk, tapi jantung Amira berdegup kencang. Ia menatap Angga, mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, hanya ada keheningan yang menegangkan di antara mereka.

Angga berdiri tegap, napasnya masih teratur, namun ada kilatan rasa benci di matanya—sebuah tantangan terselubung yang membuat Amira merasa takut, marah, dan … entah mengapa.

"Kamu boleh satu kamar denganku, tapi tidak satu ranjang denganku!" Ungkap Angga.

"Mas,"

"Aku jijik tidur dengan wanita yang sudah meniduri banyak lelaki!"

Amira menahan amarahnya, matanya berkaca-kaca. “Aku bukan… aku bukan wanita yang kamu kira!” Jawabnya tegas, suaranya bergetar tapi penuh keberanian.

Angga menatap Amira sejenak, tatapannya tajam namun dingin, sebelum akhirnya ia berpaling tanpa sepatah kata lagi. Langkahnya mantap meninggalkan kamar, meninggalkan Amira berdiri terpaku di tengah kamarnya.

Amira menelan ludah, dadanya terasa sesak. Hatinya campur aduk antara sakit, marah, dan kecewa. Suara langkah Angga yang keluar dari kamar dan menjauh masih terdengar, seakan menegaskan adanya permulaan sebuah jarak yang kini memisahkan mereka—bukan hanya secara fisik, tapi juga perasaan yang tidak akan pernah bisa bersama.

Amira menunduk, menatap lantai sejenak, mencoba menenangkan diri. Namun, meski Angga sudah pergi, bayangan dan kata-kata tajamnya tetap menghantui pikirannya.

Perlahan, Amira menyadari bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sederhana. Tidak akan ada kebahagiaan yang mudah, tidak ada penerimaan yang tulus, setidaknya untuk saat ini.

Apalagi, bayangan Satria dan semua kenangan masa lalu yang masih menempel di hatinya seakan menambah beban yang harus ia pikul. Setiap langkah ke arah Angga terasa seperti berjalan di atas kaca—rapuh, menyakitkan, dan penuh risiko.

Amira menunduk, menahan napas panjang, mencoba menenangkan perasaannya yang kacau. Ia tahu, meski hatinya ingin dekat dengan Angga, kenyataan yang ada selalu menahan, memaksa dirinya untuk bersiap menghadapi rasa sakit yang mungkin datang kapan saja.

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!