Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11 Xander Yang Modus
Suasana di ruang perawatan ibu Maria masih dipenuhi kekhawatiran, meskipun sang ibu sudah melewati masa kritis.
Naomi duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ibunya erat, seolah tak ingin melepaskannya barang sedetik pun.
Wajahnya pucat pasi, matanya sembab karena tangis yang tak henti sejak tadi. Snowy, dengan setianya, berada di sisi sang kakak, mencoba menyalurkan kekuatan.
“Kakak pulang saja, ya? Malam ini biar aku yang jaga Ibu,” ucap Snowy lembut, mengusap punggung tangan Naomi. Ia tahu kakaknya sudah sangat kelelahan, dan besok Naomi harus bekerja lagi.
“Besok Kakak harus kerja, bukan?”
Naomi menggelengkan kepala lemah. Ia tidak ingin jauh-jauh dari ibunya. Rasa takut kehilangan masih begitu kuat mencengkeram hatinya.
“Nggak, Snow. Kakak nggak bisa ninggalin Ibu sendirian. Gimana kalau terjadi sesuatu?” Suaranya terdengar parau, dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.
Snowy menghela napas. Ia tahu betapa keras kepalanya kakaknya ini, terutama jika sudah menyangkut orang yang disayanginya.
“Ibu sudah stabil, Kak. Ada suster yang akan memantau terus kok. Kakak butuh istirahat. Kalau Kakak sakit, siapa nanti yang akan menjaga Ibu?” Snowy mencoba membujuk dengan logika. Ia juga melihat gurat kelelahan yang nyata di wajah Naomi.
Lingkar hitam di bawah matanya sangat kentara.
Mendengar bujukan Snowy, Naomi akhirnya menghela nafas panjang. Ada benarnya juga. Jika ia jatuh sakit, justru akan menambah beban adiknya dan juga ibunya.
Selain itu, tubuhnya memang sudah sangat lelah, rasanya tulang-tulangnya remuk redam. Naomi mempercayakan semuanya pada sang adik.
“Baiklah, tapi janji kalau ada apa-apa langsung telepon Kakak, ya?”
“Siap, Kakakku sayang!” Snowy tersenyum lebar, membuat Naomi sedikit merasa lega.
Naomi berdiri, mengecup kening ibunya pelan, lalu berpamitan pada Snowy. “Jaga Ibu baik-baik ya, Snow.”
“Siap, Kapten!” Snowy memberi hormat main-main, lalu ia menyeringai. “Jangan cuci mata dulu, ya, Kak. Langsung pulang aja, istirahat!” goda Snowy, matanya berkedip nakal.
Naomi mendengus geli, rasa lelahnya sedikit teralihkan. Ia mencubit hidung Snowy dengan gemas.
“Dasar adik menyebalkan! Kamu itu ya, kalau soal pria tampan langsung semangat.”
Snowy hanya tertawa renyah. “Hehe, kan biar melek, Kak!”
Naomi dan Snowy memang tidak terlahir dari rahim yang sama. Mereka bertemu di panti asuhan bertahun-tahun lalu dan sejak saat itu, mereka tak terpisahkan.
Naomi sudah menganggap Snowy seperti adik kandungnya sendiri, bahkan lebih dari sekadar keluarga.
Mereka saling menguatkan, saling menjaga, dan selalu ada untuk satu sama lain dalam suka dan duka. Ikatan mereka lebih dari sekadar persaudaraan.
****
Naomi berjalan malas menuju halte bus. Pikirannya kalut. Ia tidak punya uang sepeser pun karena semua gajinya, yang seharusnya ia pegang hari ini, sudah lenyap entah kemana.
Uang terakhirnya Naomi berikan pada Xander saat di bus tadi pagi. Dan yang sialnya, Xander itu adalah bosnya sekarang. Kehidupan ini benar-benar mempermainkannya.
Naomi menendang kerikil di depannya, melampiaskan kekesalan.
“Apa dia harus jalan kaki sampai rumah?” batinnya miris.
Jarak dari rumah sakit ke rumah lumayan jauh, apalagi ini sudah malam. Apes sekali nasibnya hari ini.
Tin! Tin!
Suara klakson mobil yang nyaring membuyarkan lamunannya. Naomi menoleh.
Sebuah mobil sport hitam, model terbaru, berhenti di depannya. Jantung Naomi berdetak kencang, ia punya firasat buruk.
Kaca mobil itu turun secara perlahan, menampakkan wajah dingin dan arogan yang sangat familiar.
“Tuan Xander,” gumam Naomi, suaranya nyaris tak terdengar. Ia langsung mengalihkan pandangannya, pura-pura acuh, seolah ia tak melihat Xander sama sekali.
Naomi tidak ingin terlibat masalah lagi dengan pria ini.
“Masuk!” ujar Xander, suaranya tegas, tidak menerima penolakan. Ia tahu Naomi tidak punya pilihan lain.
Naomi pura-pura sibuk menatap jalanan di depannya, berharap Xander akan menyerah dan pergi. Ia tidak ingin naik mobil bersama pria mesum ini. Selain canggung, ia juga tahu pasti Xander akan membuatnya kesal.
Namun, Xander tidak bergeming. Mesin mobil masih menyala, dan ia menunggu. Keheningan yang tercipta di antara mereka semakin menekan.
“Kamu dengar tidak? Cepat masuk!”
“Maaf, saya sedang menunggu bus!” katanya akhirnya, tetap menatap ke depan.
“Bus terakhir sudah lewat sepuluh menit lalu.”
Naomi tersentak. “Anda serius?”
“Kalau kamu mau jalan kaki ke rumah, silakan. Tapi... aku rasa kamu akan tumbang sebelum sampai setengah jalan.”
Naomi menoleh dengan tatapan tak percaya. “Tuan Xander, kenapa anda–”
“Karena kamu asistenku, dan aku tidak mau kamu pingsan besok pagi saat menghadapi klien penting!” ketus pria itu.
Naomi menggertakkan gigi. Kenapa ucapan Xander harus terdengar... benar?