Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jiamu - Dilemma
Keduanya bertukar tatapan. Jendela ditutup, gorden dibuka. Rembulan masuk ke dalam dan membentuk sudut bayangan di antara mereka. Keduanya melihat satu sama lain. Satu dengan wajah tenang, dan satu dengan wajah menganalisis.
Lelaki yang sebelumnya sibuk bertelepon dan membicarakan bisnisnya baru saja berhenti. Ia berbicara beberapa patah kata pada bawahannya sebelum menutup panggilan.
Pratama terdiam sejenak, tatapannya lekat pada Caroline. Seolah ia sedang menyusun kepingan memori, merangkai setiap detail yang selama ini ia amati. Caroline menahan napas, menunggunya menggambarkan bagaimana ia di matanya sebelumnya.
"Selama lima tahun ini..." Pratama memulai, suaranya tenang, namun ada nada yang dalam dan penuh perhatian. Matanya sedikit tertarik ke Caroline dan dia berbicara di luar harapannya, sangat panjang lebar.
"Kesukaanmu membaca buku dan menulis cerita. Kamu yang dulu tidak akan berani mengangkat wajahmu saat berbicara dengan siapapun. Matamu tidak pernah mencapai kontak dengan lawan bicaramu dan selalu terarah ke lingkungan sekitar. Jika kamu bersemangat, kakimu akan mengetuk lantai lima hingga enam kali tanpa bersuara. Jika dalam perasaan buruk, kamu akan diam dan mundur. Terlalu sering meminta maaf untuk hal yang bahkan bukan salahmu."
"Rambutmu selalu disanggul kecil karena kulitmu mudah memerah bila terkena panas. Kamu tidak suka mengenakan cincin di jari manis karena mudah hilang. Kamu membenci bunga karena ia bersifat tidak kekal dan akan layu dengan mudah. Kamu akan bersin saat membelai bulu hewan dan jatuh sakit jika mengonsumsi makanan instan. Kamu menyukai drama film terutama dengan kisah yang sedih namun dengan akhir yang bahagia."
Caroline mendengarkan setiap kata Pratama, memproses informasi yang begitu detail dan personal. Ini adalah pertama kalinya ia mendengar deskripsi dirinya dari sudut pandang Pratama, dan rasanya... aneh.
Beberapa hal terasa asing, seperti tidak suka mengenakan cincin atau membenci bunga. Namun, ada beberapa detail yang sangat spesifik dan mengejutkan baginya.
Ia pecinta buku dan penulis cerita? Ia yang dulu juga sama dengannya. Tidak berani mengangkat wajah, menghindari kontak mata, mudah meminta maaf? Itu sangat berbeda dengan kepribadiannya. Namun, di sisi lain, ini cocok dengan karakter yang ia bayangkan dari tulisan di buku harian itu.
Data ini, yang disampaikan langsung oleh Pratama, terasa lebih nyata dan terpercaya daripada tulisan dingin di buku harian. Namun, itu juga menciptakan gambaran yang lebih kompleks, bahkan mungkin bertentangan.
"Jadi," Caroline memulai, suaranya pelan, mencoba menyatukan kepingan-kepingan informasi ini. "Aku adalah... orang yang banyak membaca, menulis, dan pemalu?"
"Lebih dari itu, Lin. Kau suka sekali menyimpan banyak hal sendiri. Sangat mandiri, terlalu mandiri. Kau tidak suka merepotkan orang lain, bahkan aku."
Ia menghela napas, pandangannya beralih ke jendela, seolah melihat bayangan masa lalu di sana. "Senyum tipismu itu, seringkali adalah topeng. Kau akan menangis sendirian, menghapus air matamu sebelum orang lain melihat. Aku baru tahu kalau kau menangis saat melihat tisu berserakan di nakas dan matamu sembab, tanpa keluhan, tanpa isakan."
Pratama menoleh kembali ke Caroline, matanya penuh kesedihan yang samar. "Menurutku, dulunya itu adalah caramu menghadapi masalah. Tetapi itu membuatmu lumayan sulit kupahami. Terkadang kau bisa tampil sederhana dan santai, tapi ada kalanya duri kecilmu muncul dan membuatku tidak bisa mendekatimu sama sekali."
Ia terdiam, seolah kata-kata itu sulit untuk diucapkan. "Pekerjaanmu, perasaanmu, apapun itu semuanya kau simpan sendiri. Aku sempat mendengar dari Tasya bahwa tadi pagi bersamanya kamu masuk ke ruang kerja kita. Berkas penelitian itu aku tidak bisa jelaskan karena dulu kau jarang membahasnya."
Caroline mendengarkan semua dalam diam. Terkejut bahwa pria di depannya mengenali perempuan ini begitu baik. Jika pemilik aslinya benar-benar mendengarkan ini, ia yakin bahkan cerita sudah mencapai akhir bahagia. Dimana perempuan dan lelaki berbicara jujur satu sama lain dan berkomitmen untuk hidup bersama dalam keadaan apapun.
Pertanyaan "mengapa" berputar-putar di kepalanya. Mengapa Caroline yang dulu begitu tertutup? Apa yang membuatnya membangun dinding setinggi itu?
Dia berdiri. Tingginya selisih 10 cm dari lelaki itu sehingga ia harus mendongak ke atas untuk berbicara. Mematahkan kepribadian yang disampaikan pria itu. “Apakah kau mengenal istrimu, yang berdiri di depanmu saat ini?” tanyanya.
Pratama memandangi wanitanya. Rambutnya tidak lagi disanggul, namun diikat satu. Matanya lebih tajam dan terfokus kepadanya. Dia berdiri tegap, tidak menunduk. Ia akan menyuarakan lebih jelas apa yang nyaman dan tidak sesuai baginya. Mungkin sikap konyolnya sesekali muncul jika gugup, seperti tadi saat ia menemukannya tersungkur di kamar.
Lelaki itu tahu jelas bahwa di hadapannya, ia berubah banyak. Tetapi ia tahu juga bahwa selama lima tahun ini, mereka bahkan tidak akan bersentuhan tangan lebih dari sepuluh detik. Semua hanya soal bisnis dan kontrak, tidak lebih dari itu. Bagaimana ia bisa mengenalinya dengan baik?
“Entahlah. Dulu dan sekarang, rasanya aku masih belum mengenalmu dengan baik. Aku hanya berbicara melalui pengamatanku.”
Caroline mendengarkan nada bergetar dan lemah yang diucapkan Pratama, ia berpikir sejenak dan maju selangkah. Ia ingin sekali mengungkapkan semuanya, namun ia tidak bisa dan tidak boleh. Hanya saja ia masih belum puas.
“Aku yang berdiri di hadapanmu ini, jauh dari gambaranmu sebelumnya. Aku tidak akan menghentakkan kaki, menoleh ke arah lain saat berbicara, bersikap kikuk saat bersama orang lain, aku tidak mampu mengarang cerita.”
“Aku tahu,” balas lelaki itu.
Wanita itu meninju kuat dada suaminya hingga ia mundur ke belakang dengan mata terbelalak. “Dulu, ia tidak akan berani memukulmu seperti ini, bukan?” Walaupun demikian, ia merasakan ulu hatinya yang tercubit di kala ia meninju dada lelaki itu. Jantungnya berdebar kencang.
Pratama menunduk dan telapaknya menyentuh dadanya yang terasa panas akibat pukulan tersebut. Lalu pandangannya tepat jatuh ke Caroline. “Ya.”
“Hanya.. ya?”
“Apa yang kamu harapkan, aku mengatai bahwa istriku berubah drastis dan aku tidak terbiasa dengannya?” tanya balik Pratama dengan retoris. Dia menghela nafasnya, “Apakah ada hal lain yang ingin kamu tanyakan?”
Caroline kembali bertanya, “Kita yang dulu, tidur di kamar yang sama dan tempat tidur yang sama?”
Pratama menjawab, “Ya dan tidak.”
Mereka berdua dalam ruangan yang sama, namun dia akan tertidur di atas kursi nakas atau sofa. Sedangkan istrinya di ranjang.
Pratama menggenang saat ia mencoba berpura-pura tidur dulunya. Kemudian mencuri pandang dan mengamatinya saat di alam bawah sadarnya. Hanya melihat telah memberikannya kepuasan tersendiri. Dua kali. Dua belas kali. Dua puluh kali. Dan ia tidak berhenti. Setelah kilasan itu menghilang, dia bertanya, “Udara semakin mendingin. Apakah masih ingin melanjutkan permainan detektifmu atau berguling dalam selimut?”
Caroline merenung. Ia awalnya sedikit ragu, tetapi sebelum Pratama tertidur di sofa, wanita itu menariknya agar bergeser dekat. Mengajak suaminya sendiri, tidur di ranjang yang sama dengannya.
Alhasil, kini mata pria itu membola. Parasnya yang rupawan menjadi lebih manis saat mulutnya mengangga dan matanya membelalak. Hampir membuat Caroline terkikik geli.
“Sudah lima tahun, aku sedikit terpukau karena sikapmu seperti kanebo kering. Benar-benar mematuhi kesopanan.”
Lagipula tubuh ini sudah ditempati olehnya, maka terserah padanya melakukan apapun.
“Namun ingat, hanya tidur biasa,” tutupnya dengan peringatan.
Caroline berbalik, naik ke ranjang, dan menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Pratama, setelah beberapa saat mematung, perlahan ikut naik ke ranjang. Dia memposisikan dirinya di sisi ranjang yang lain, memberikan jarak yang cukup nyaman bagi istrinya.
Keheningan melingkupi kamar, hanya suara napas mereka berdua yang terdengar. Caroline berbaring telentang, menatap langit-langit yang gelap. Pikiran-pikirannya berkecamuk. Potret Caroline yang lama, yang disampaikannya Pratama, terasa begitu nyata, namun kini ada ia, Caroline yang baru, yang berani memukul dada suaminya dan mengajaknya tidur seranjang.
Kontras ini membingungkan, namun juga menarik.
Dia merasakan kehangatan tubuh Pratama yang samar di sampingnya, meski ada jarak. Itu adalah kehangatan yang belum pernah ia rasakan dari suami di kehidupan lampaunya. Dulu, dia hanya harus berbaring lalu merasakan tubuhnya diraba secara kasar, menerima pelepasan, lalu bangun dengan sekujur tubuh yang habis mendapatkan cabikan hebat.
Tapi di kehidupan ini, suaminya sangat menghargainya. Caroline agak bertanya-tanya apakah selama lima tahun, Pram bahkan tidak pernah memeluk tubuh ini dalam tidurnya?
Setelah beberapa menit, Caroline, dengan sedikit ragu, bergerak lebih dekat. Tangannya terulur dengan canggung, melingkar perlahan di pinggang Pratama. Ini adalah pelukan pertama yang ia inisiasi, di kehidupannya.
Pratama tercengang. Tubuhnya menegang sesaat, tidak menyangka akan sentuhan itu. Ia menoleh perlahan ke arah Caroline, matanya membelalak dalam gelap. Kemudian, senyum lebar yang jarang terlihat mulai merekah di bibirnya. Sebuah tawa kecil, rendah, dan penuh makna keluar dari tenggorokannya.
"Wah, wah," goda Pratama, suaranya dipenuhi geli. "Sepertinya 'hanya tidur biasa' tidak berlaku lagi, ya?"
Ia menggeser tubuhnya, membalas pelukan Caroline dengan lebih erat, menarik wanita itu ke dalam dekapannya. Kehangatan tubuh Pratama kini terasa nyata dan menenangkan. Caroline hanya diam dalam pelukan itu, merasakan detak jantung Pratama yang stabil di dadanya.
“Pelukan masih diperbolehkan,” bantahnya. Sensasi geli menjalar saat telapak tangan lebar dan hangat menempel di pinggangnya. Beberapa saat kemudian dia memindahkan selimut untuk menghindari kontak berlebih.
Mata Caroline mulai memberat saat Pram membisikkan sesuatu yang kurang jelas. Ia tertidur nyenyak di dekapan suaminya.