Sebelas tahun lalu, seorang gadis kecil bernama Anya menyelamatkan remaja laki-laki dari kejaran penculik. Sebelum berpisah, remaja itu memberinya kalung berbentuk bintang dan janji akan bertemu lagi.
Kini, Anya tumbuh menjadi gadis cantik, ceria, dan blak-blakan yang mengelola toko roti warisan orang tuanya. Rotinya laris, pelanggannya setia, dan hidupnya sederhana tapi penuh tawa.
Sementara itu, Adrian Aurelius, CEO dingin dan misterius, telah menghabiskan bertahun-tahun mencari gadis penolongnya. Ketika akhirnya menemukan petunjuk, ia memilih menyamar menjadi pegawai toko roti itu untuk mengetahui ketulusan Anya.
Namun, bekerja di bawah gadis yang cerewet, penuh kejutan, dan selalu membuatnya kewalahan, membuat misi Adrian jadi penuh keseruan… dan perlahan, kenangan masa lalu mulai kembali.
Apakah Anya akan menyadari bahwa “pegawai barunya” adalah remaja yang pernah ia selamatkan?
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Hari Libur Sweet Anya
Pagi itu, suasana berbeda. Tidak ada aroma roti dari oven, tidak ada denting lonceng pintu kafe. Sweet Anya libur, memberi waktu bagi para pegawainya untuk beristirahat.
Anya terbangun lebih siang dari biasanya. Rambutnya masih berantakan ketika ia turun ke dapur rumahnya, mengenakan sweater longgar dan celana santai. Ia menyalakan pemutar musik kecil, membiarkan alunan jazz mengisi ruangan, lalu mulai menyiapkan sarapan sederhana omelet, roti panggang, dan segelas jus jeruk.
Setelah sarapan, ia duduk di meja makan sambil membuka buku resep baru yang belum sempat ia coba. Sesekali ia tersenyum, membayangkan bagaimana roti berlapis krim keju itu akan terlihat di etalase Sweet Anya. Namun, tanpa ia sadari, pikirannya beberapa kali melayang ke sosok Raka atau Adrian, yang akhir-akhir ini makin sulit ia tebak.
“Kenapa ya, rasanya dia menyimpan sesuatu?” gumamnya sambil memutar sendok di dalam gelas jus.
---
Sementara itu, di apartemen Adrian
Adrian sudah bangun sejak subuh. Hari libur bukan berarti ia benar-benar istirahat. Ia duduk di ruang kerja minimalisnya, menatap layar laptop yang menampilkan beberapa laporan keuangan dan data intel yang dikirim Jordan.
Ia mengecek catatan pergerakan Sonia. Memang belum ada tanda-tanda perempuan itu mendekat, tapi Adrian tahu… keheningan kadang lebih berbahaya daripada serangan langsung.
Usai memeriksa dokumen, Adrian keluar ke balkon apartemen, membawa secangkir kopi hitam. Dari ketinggian, ia bisa melihat area kota yang mengarah ke jalan tempat Sweet Anya berada. Mata elangnya seperti membayangkan Anya yang sedang sibuk di dapur rumahnya, tanpa sadar sedang berada di tengah lingkaran permainan besar.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Andara.
“Kak, jangan terlalu serius. Hari ini libur, lho. Coba santai, siapa tahu bisa ketemu Anya ‘secara kebetulan’.”
Adrian hanya menghela napas, tapi bibirnya tersungging tipis. “Anak itu memang tahu cara menggoda kesabaran.”
---
Menjelang Sore
Anya duduk di ruang tamu, merajut syal biru muda—hobi lama yang jarang ia lakukan. Di sela-sela kegiatan itu, ia melirik ponsel, mempertimbangkan untuk mengirim pesan ke Raka.
Aneh… biasanya kalau libur, dia tetap update kabar. Jangan-jangan lagi sibuk di tempat lain? pikirnya.
Di sisi lain kota, Adrian menutup laptopnya dan mengambil jaket. Rencana awalnya hanya ingin beristirahat, tapi langkah kakinya justru mengarah keluar pintu. Ia tahu, bahkan di hari libur, ada alasan yang membuatnya ingin berada tidak terlalu jauh dari Anya.
Hujan rintik mulai turun, membuat udara sore terasa lebih dingin. Anya menutup pintu rumah, merapatkan syal biru muda yang tadi ia rajut. Ia memutuskan keluar sebentar untuk membeli bahan-bahan yang kebetulan habis—mentega dan gula.
Di minimarket dekat taman kota, ia mendorong troli sambil mengamati rak-rak. Musik lembut dari speaker toko mengiringinya, tapi pikirannya masih melayang ke seseorang yang tak kunjung memberi kabar.
Saat ia berbalik di lorong makanan impor, matanya bertemu dengan sosok yang sama sekali tak ia sangka ada di sana.
“Raka?” Anya tertegun.
Adrian atau Raka di mata Anya berdiri dengan payung lipat di tangan, mengenakan jaket gelap dan kaus sederhana. Senyumnya muncul cepat, seolah memang menantikan pertemuan ini.
“Anya? Wah… kebetulan sekali,” ucapnya santai, meski dalam hati ia sudah memprediksi kemungkinan bertemu seperti ini sejak memutuskan keluar rumah.
“Kamu jarang belanja di sini,” komentar Anya sambil mendorong troli.
Adrian mengangkat bahu. “Sekali-sekali ganti suasana. Lagipula, ada bahan yang cuma ada di sini.”
Mereka berjalan berdampingan di lorong, obrolan ringan mengalir. Adrian membantu mengambilkan tepung dari rak tinggi, lalu mendorong troli Anya sambil bercanda soal pilihan camilan yang ia ambil.
Namun, di sela tawa kecil itu, mata Anya sesekali menatapnya penuh tanya. Ada kesan bahwa pria ini selalu hadir di waktu yang tepat… atau mungkin terlalu tepat.
Sebelum berpisah di kasir, Adrian menatap barang belanjaannya. “Boleh aku antar kamu pulang? Hujannya mulai deras.”
Anya ragu sebentar, lalu mengangguk. “Baiklah, tapi cuma sampai depan rumah.”
Sesampainya di parkiran Anya menatap heran Adrian, "Wah karyawan ku ternyata lebih kaya dari bosnya. Aku saja tidak punya mobil"
"Hehe, ini mobil aku beli dengan tabunganku dan seken" ujar Adrian menutupi kecanggungan nya.
"Untung mobil biasa " ujar hati Adrian
---
Di Depan Rumah Anya
Mobil berhenti, hujan masih menetes di kaca. Adrian menoleh, menatap Anya dalam. “Istirahatlah hari ini. Besok kita mulai lagi.”
Anya mengangguk, lalu turun sambil membawa kantong belanja. Namun, saat ia masuk rumah, entah mengapa ia merasa pertemuan tadi terlalu… kebetulan.
Di balik kemudi, Adrian memandang sebentar ke arah pintu rumah Anya sebelum menyalakan mesin. Senyum tipis terukir ia berhasil memastikan Anya baik-baik saja, tanpa membuatnya sadar bahwa ia sedang diawasi.
...----------------...
Rumah besar keluarga Bramasta berdiri megah di ujung jalan perumahan elit, lampu eksteriornya menyala lembut membelah sisa hujan sore. Mobil Adrian masuk perlahan ke garasi, suara mesin mereda, digantikan aroma khas rumah yang selalu membuatnya teringat masa kecil campuran wangi kayu dan teh melati.
Begitu masuk, ia langsung disambut suara lembut sang Mommy dari ruang tamu.
“Adrian, sayang… akhirnya pulang juga,” ucapnya sambil bangkit dari sofa. Gaun rumah pastel yang ia kenakan membuatnya tampak jauh lebih muda dari usianya.
Adrian tersenyum tipis dan mencium punggung tangan ibunya. “Mommy belum istirahat?”
“Aku menunggu kalian. Daddy sudah di ruang kerja, seperti biasa.” Ia melirik putranya dengan tatapan tajam tapi penuh arti. “Kau tidak terlihat seperti orang yang menghabiskan hari libur untuk beristirahat.”
Adrian menahan senyum. “Hanya jalan sebentar.”
Sebelum Mommy sempat bertanya lebih jauh, langkah kaki cepat terdengar dari arah tangga.
“Andara!” Mommy bersuara senang.
Gadis remaja itu muncul sambil membawa segelas susu. “Kak Adrian pulang! Aku pikir kau akan menginap di apartemen.”
“Aku rindu rumah,” jawab Adrian, setengah bercanda. Ia menepuk bahu adiknya pelan. “Kau sudah buat masalah lagi di sekolah?”
Andara manyun. “Bukan aku yang buat masalah… mereka saja yang terlalu sensitif.”
Mommy menghela napas panjang. “Jangan membuat Daddy turun tangan, Andara. Kau tahu dia tidak suka ”
“Mom,” potong Adrian lembut, “biar aku yang urus adikku.”
Tatapan Mommy melembut, lalu ia mempersilakan anak-anaknya duduk di meja makan. Sementara para pembantu mulai menyiapkan makanan hangat, Adrian sempat melirik ke arah tangga menuju ruang kerja Daddy. Ia tahu, cepat atau lambat, sang ayah akan memanggilnya untuk membicarakan perkembangan “misi pribadinya” yang sejauh ini hanya diketahui keluarga inti.
Saat makan malam dimulai, Mommy bertanya, “Jadi, ada kemajuan?”
Adrian mengunyah pelan, menatap ibunya sebentar. “Ada. Tapi… masih butuh waktu. Aku ingin melihat sejauh mana ketulusannya tanpa pengaruh siapa pun.”
Andara yang duduk di seberang langsung menyahut dengan senyum usil, “Kakak ini memang aneh. Cinta aja dibuat kayak operasi rahasia.”
Adrian meliriknya dengan tatapan peringatan, tapi bibirnya terangkat sedikit. “Kalau kau sudah besar, kau akan mengerti.”
Mommy hanya menggeleng kecil, tapi senyum di wajahnya mengisyaratkan restu.
Di luar, hujan sudah reda, tapi di dalam rumah itu, ada percakapan yang belum selesai—yang akan berlanjut nanti malam di ruang kerja Daddy.
Bersambung
lgian,ngpn msti tkut sm tu nnek shir....
kcuali kl ada rhsia d antara klian....🤔🤔🤔