⚠️Mature Content (Harap bijak memilih bacaan)
“Dia hanya bosku… sampai aku terbangun di pelukannya."
Aku mencintainya apapun yang mereka katakan, seburuk apapun masa lalunya. Bahkan saat dia mengatakan tidak menginginkan ku lagi, aku masih percaya bahwa dia mencintaiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Priska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lembur
Kantor Amstel Core Group – Pagi Hari
Udara Amsterdam masih diselimuti kabut tipis ketika Anna tiba di kantor. Matanya sedikit sayu, meski ia sudah berusaha menutupi dengan riasan tipis. Kejadian semalam—saat Jonathan mengantarnya pulang tanpa sepatah kata—masih melekat di benaknya.
Pagi itu, Jonathan datang lebih awal dari biasanya. Wajahnya tampak tenang, seolah tidak ada yang terjadi kemarin. Ia langsung menuju ruangannya.
“Agenda hari ini?” tanyanya singkat ketika Anna masuk dengan map di tangan.
“Sudah saya siapkan, Mr. Jonathan. Ada rapat dengan investor pukul sembilan, lalu perjalanan ke Rotterdam untuk inspeksi proyek di sana. Seharusnya saya ikut, tapi—”
Jonathan memotong dengan nada datar, “Tidak. Kau tetap di sini. Selesaikan laporan untuk proyek Green District. Deadline-nya hari ini juga.”
Anna mengangguk. “Baik.”
Hanya itu percakapan mereka pagi itu. Tanpa penjelasan lain, Jonathan berangkat dengan mobil dinasnya. Dari jendela lantai atas, Anna sempat melihat iring-iringan mobil Jonathan meninggalkan halaman kantor. Hatinya terasa kosong.
Siang Hari – Ruang Kerja Anna
Seiring berlalunya jam, kantor mulai lengang. Sebagian staf pulang lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan mereka. Namun Anna tetap menatap layar laptop, jemarinya mengetik tanpa henti. Tumpukan berkas di sampingnya masih tinggi.
Proyek Green District adalah salah satu proyek besar, dan Jonathan menekankan bahwa laporan harus selesai hari ini. Anna tahu, jika ia ikut ke Rotterdam, laporan itu akan terbengkalai. Ia menelan ludah, merasa tertinggal di belakang, sementara Jonathan ada di luar kota bersama tim eksekutif lainnya.
Matahari mulai tenggelam, cahaya jingga menembus jendela kaca besar. Lampu kantor otomatis menyala, memberi cahaya putih yang dingin. Anna masih duduk di kursinya, menahan rasa lapar. Ia bahkan tidak sempat turun ke kantin.
Malam Tiba
Jam hampir menunjukkan pukul sembilan ketika suara pintu diketuk. Anna menoleh, agak terkejut.
“Masih bekerja?” suara yang familiar terdengar.
Daniel berdiri di ambang pintu, membawa kantong kertas. Aroma sup panas dan roti hangat menyeruak keluar dari dalamnya.
“Daniel?” Anna sedikit lega sekaligus bingung. “Kenapa kau ada di sini?”
“Aku dengar kau lembur. Jadi kupikir… seseorang harus memastikan kau tidak kelaparan,” jawab Daniel sambil tersenyum.
Anna menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Kau tidak perlu repot-repot.”
“Tidak repot. Duduklah sebentar, makanlah.” Daniel menarik kursi, meletakkan kantong itu di meja Anna.
Perut Anna yang kosong membuatnya tak bisa menolak. Mereka duduk berdampingan, membuka kotak makanan. Percakapan ringan mengisi ruang hening—tentang pekerjaan, tentang film baru, tentang hujan yang mungkin turun malam ini.
Untuk pertama kalinya sejak siang, Anna bisa menghela napas panjang. Ada rasa nyaman, meski hanya sesaat.
Namun ketenangan itu runtuh seketika ketika pintu ruangan terbuka lagi.
Jonathan berdiri di sana. Masih dengan jas hitam yang rapi, wajahnya terlihat lelah setelah perjalanan panjang. Di tangannya, ada kantong kertas lain—juga berisi makanan.
Ruangan mendadak hening. Anna terpaku, Daniel menoleh dengan tatapan kikuk.
Jonathan melangkah masuk tanpa ekspresi. Ia menaruh kantong kertas itu di meja, tepat di samping makanan yang sedang mereka santap. “Untukmu,” ucapnya singkat.
Anna terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Terima kasih, Mr. Jonathan.” Suaranya pelan, nyaris tenggelam.
Tatapan Jonathan beralih pada Daniel, hanya sejenak, namun cukup untuk memberi tekanan. Lalu ia kembali menatap Anna. “Kalian makanlah. Aku hanya mampir sebentar.”
Tanpa menunggu balasan, Jonathan berbalik. Suara sepatunya menggema di lantai marmer, lalu pintu tertutup kembali.
Anna menatap pintu itu lama, seakan berharap Jonathan kembali dan menjelaskan sesuatu. Tapi tidak. Yang tersisa hanyalah keheningan.
Daniel batuk kecil, berusaha memecah suasana. “Bosmu… perhatian juga rupanya.”
Anna menunduk, jemarinya menggenggam sendok erat-erat. “Dia hanya memastikan pekerjaannya tidak terganggu.”
Daniel tersenyum samar, tapi tidak membalas lagi. Mereka kembali makan dalam diam. Namun bagi Anna, rasanya berbeda. Makanan yang tadi terasa hangat kini seolah hambar.
POV Jonathan – Dalam Mobil
Mobil Jonathan melaju pelan di jalanan kota Amsterdam yang basah oleh embun malam. Tangannya menggenggam kemudi erat-erat. Ia tidak mengerti kenapa harus mampir, kenapa membawa makanan, padahal ia bisa saja langsung pulang.
Dan yang lebih membuatnya gelisah adalah pemandangan di kantor tadi: Anna duduk bersama pria lain, tertawa kecil, terlihat lebih rileks dibanding saat bersamanya.
Kenapa aku peduli? pikirnya.
Tapi hatinya tetap mengeras. Malam itu, Jonathan tidak kembali ke rumah. Ia menyetir tanpa tujuan jelas, mencoba melupakan bayangan Anna dan pria itu di ruang kerjanya.
Kembali ke Amstel Core Group
Anna menatap makanan yang tersisa di meja. Ia menyentuh kantong kertas yang ditinggalkan Jonathan, membuka isinya—sandwich hangat favoritnya, lengkap dengan teh hitam dalam botol kaca.
Hatinya bergetar. Ia tahu, perhatian itu nyata, meski dibungkus dalam sikap dingin. Namun ia hanya bisa menutup mata, menarik napas panjang, dan berbisik pada dirinya sendiri, Kenapa semua harus serumit ini?
...****************...