NovelToon NovelToon
ISTRI KE-101

ISTRI KE-101

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Balas Dendam / Romansa / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: GazBiya

Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tobias Mancini

Rose membuka perlahan halaman pertama buku usang itu. Tulisan tangan di sana masih rapi, indah, dengan tinta yang sudah agak memudar. Di bagian atas tertulis sebuah nama,

"Sherapina Elene."

Rose terdiam. Jantungnya berdebar ketika menyadari itu adalah nama ibu Lucas. Tangannya gemetar saat melanjutkan membaca baris demi baris.

"Aku, Sherapina Elene, lahir di Motessa. Kota kecil yang dari kejauhan tampak seperti lukisan surga, atap-atap rumah berbaris rapi, jalanan sempit dipenuhi aroma roti hangat dari dapur-dapur, dan danau biru yang memantulkan Cahaya Mentari setiap pagi. Semua orang luar selalu berkata, 'Betapa indahnya Motessa.' Mereka tidak tahu, keindahan itu hanya wajah depan dari sebuah jebakan."

Rose mengerutkan kening. Jemarinya menelusuri tulisan berikutnya.

"Menjadi perempuan di Motessa bukanlah anugerah, melainkan kutukan. Kami lahir hanya untuk ditukar, dijual, atau dijadikan alat tawar. Aku sering bertanya, mengapa langit diciptakan begitu indah di atas kota ini, jika di bawahnya, begitu banyak gadis merintih setiap malam? Tidak ada yang benar-benar merdeka."

Rose menelan ludah, hatinya tercekat. Ia bisa merasakan kepedihan Sherapina dari setiap goresan tinta.

"Aku pernah berdoa pada Tuhan, dan doaku begitu sederhana. Jika memang aku tidak pantas bahagia, maka biarlah gadis lain mendapatkannya. Aku merelakan. Aku izinkan perutku diisi oleh seorang anak lelaki, yang kelak akan menyelamatkan gadis-gadis Motessa dari nasib buruk kami. Tuhan, ijinkan aku menyerahkan harapan itu pada darah dagingku sendiri."

Air mata Rose jatuh tanpa bisa ditahan. Kini ia mengerti, mengapa Lucas begitu dingin, begitu keras, namun juga penuh rahasia. Lelaki itu ternyata lahir dari doa dan luka.

Rose menutup buku itu dengan kedua tangan bergetar. Suasana ruang kerja yang sunyi seolah ikut menekan dadanya. Bisikan lirih keluar dari bibirnya, hampir seperti doa:

"Sherapina… Ibu benar. Lucas memang dilahirkan untuk menjadi penyelamat. Tapi apakah dia sadar? Atau justru kutukan ini yang menelannya juga?" gumam Rose, menyeka air mata. Lalu segera meletakan buku itu ditempatnya lagi, tanpa ada yang berubah.

Entah kenapa, Rose mulai merasa ia telah menjadi bagian dari doa ibuk mertuanya. Dan ia merasa Bahagia dengan itu. Hatinya gundah, namun bibirnya terus tersenyum.

Jam dinding sudah menunjukan pukul sepuluh, namun bayangan Lucas belum juga muncul.

*

Disisi lain di Motessa.

Walikota datang atas undangan Lucas. Langkahnya berat ketika, memasuki ruang megah tempat biasa ia bertemu penguasa Pallazo ini. Di ujung ruangan, bayangan tinggi tegak berdiri, wajahnya tersembunyi di balik topeng hitam perak yang dingin. Suara mekanis dari alat pengubah nada terdengar ketika sosok itu menyambutnya.

“Selamat datang, Walikota,” suara berat bergetar, seperti datang dari kedalaman lorong gelap. “Motessa sedang berdarah. Dan darah itu menetes dari lima istriku, dua sopir dan empat pengawal. Menurutmu apa yang harus aku lakukan?” ucap Lucas, langsung pada Inti. Walikota kelas saja, mematung tak bergeming.

Di meja panjang, beberapa peti besi sudah disusun rapi. Hose perlahan membukanya, kilauan uang dolar dan perhiasan menyilaukan mata, seolah ingin menelan segala keraguan.

Hose kembali berdiri di samping, wajahnya dingin tanpa ekspresi, seolah tubuhnya adalah bagian dari bayangan Lucas sendiri.

Walikota menelan ludah. Tangannya gemetar, namun matanya tetap berusaha tenang. “Tuan Morreti… saya tahu kekuatan Anda di kota ini tak bisa dipandang remeh. Tapi masyarakat… mereka mulai resah, untuk saya disini. Kita akan mendiskusikan jalan keluarnya bukan…”

Lucas tidak langsung menjawab. Ia bergerak perlahan, langkah kakinya berat tapi berwibawa. Topeng peraknya berkilau diterpa Cahaya dari jendela.

“Kau benar,” suaranya menusuk, dingin bagai belati. “Tapi aku tida suka basa-basi. Kita langsung saja… Sebastian saat ini seperti api. Karena kemarahannya pada Rose. Dan Don Cassiel seperti angin. Tapi jangan lupa…” Lucas mendekat, menatap tajam dari balik topeng. “Aku seperti badai. Dan badai tak bisa dipadamkan dengan teriakan massa. Jika mereka menggunakan otak, harus ini menjadi sederhana. Aku bisa dengan membangunkan lagi, rumah yang lebih bagu untuknya…”

Sejenak Walikota terdiam. Keringatnya menetes. “Tapi ini bukan tentang rumah tuan Morreti..”

Pria tinggi besar dengan topeng itu segera menoleh. “Iya, kau benar. Ini bukan tentang rumah… ini tentang perlawanan gadis yang dianggap hina. Lalu ditunggangi Don Cassiel, yang merasa lahannya direbut, jangan bilang kau tidak paham!”

Walikota menelan ludah.

Lucas kemudian mengangkat tangan, memberi isyarat. Dua anak buahnya maju, meletakkan map berisi foto-foto para penghasut, data transaksi rahasia, dan jaringan orang-orang yang bermain di balik layar.

“Sebastian dan Cassiel hanya berani bicara karena mereka percaya kau akan menutup mata. Tapi lihatlah, aku bahkan tahu apa yang mereka makan kemarin malam.”

Nada suaranya semakin rendah, namun menggetarkan.

“Peti-peti uang itu… bukan sekadar suap. Itu adalah pilihan. Ambil, dan berdirilah di sisiku. Tolak, maka kau akan berdiri sendirian… melawan badai yang tidak mengenal belas kasihan.” Gertak Lucas.

"Tuan, saya datang bukan untuk itu," Walikota membuka suara, tangannya gemetar meski berusaha tegar. "Tapi…saya ingin menyampaikan. Mereka, warga kota… tidak akan lagi menjual putrinya padamu. Mereka takut kejadian Nyonya Rose kembali terulang. Selain itu…" ia menelan ludah sebelum melanjutkan, "…mereka meminta Nyonya Rose menjelaskan tindakan gegabahnya. Itu tuntutan mereka."

Ruangan hening. Hanya suara mesin pengubah nada yang berdesis ringan sebelum Lucas tertawa, rendah, menyeramkan, lalu meninggi menjadi ejekan dingin.

"Rose?" suara beratnya menekan, menembus dada siapa pun yang mendengar. "Kalian benar-benar berharap aku menyerahkan Rose pada kerumunan yang mudah dihasut itu?" Lucas berdiri, mantel hitamnya bergoyang oleh angin. "Lalu bagaimana dengan pembantaian yang kalian sebut kutukan itu? Siapa yang bertanggung jawab? Rose?"

Ia mendekat satu langkah, topengnya menyorot pantulan cahaya, membuat wajahnya terlihat lebih menyeramkan.

"Hahaha…" tawanya pecah, getir sekaligus menakutkan. "Apa aku harus ikut bodoh seperti mereka, menyalahkan seorang wanita? Membakar satu nama untuk menutupi busuknya hati, dan kebodohan kalian sendiri?"

Pengawal di belakang Walikota langsung merapat, khawatir Lucas akan mengamuk. Tapi Walikota hanya bisa menunduk, menahan ketakutan, karena ia tahu satu kalimat salah saja bisa membuat kepalanya bergulir malam itu.

Walikota akhirnya mendongak, suara lirihnya terdengar pecah, namun tegas. “Jika kau bertanya… tentu aku berpihak padamu, Tuan Lucas. Mana mungkin aku melawan arus darah yang telah kau alirkan di kota ini. Tapi…” ia berhenti, menghela napas panjang, lalu menyebut nama itu dengan berat, “…Tobias Mancini adalah legenda. Semua warga kampung sangat menghormatinya. Dan di pesta panen tahunan ini, dia akan hadir. Sepertinya merek akan kembalii menjual gadis, pada Tobas.”

Sekejap, atmosfer ruangan berubah.

Lucas yang tadi berdiri dengan penuh wibawa, tiba-tiba menegang. Kepalan tangannya terkunci, urat-urat di lehernya menonjol. Dari balik topeng, matanya membelalak, seolah mendengar suara dari neraka.

“Tobias… Mancini?” bisiknya, hampir tak terdengar. Namun getarannya membuat semua yang hadir merinding.

Tangannya refleks menekan dada, tepat di atas luka lamanya. Luka itu memang sudah menutup, tapi tak pernah benar-benar sembuh. Rasa nyeri merambat, bukan hanya fisik, melainkan mengiris jiwanya.

Ingatan menyergap tanpa ampun. Wajah ibunya di photo saat mengelus perut besar, tersenyum meski tubuhnya dipenuhi bekas luka. Bau kamar lembap dan suara jeritan dari balik pintu bordir. Bayangan pria paruh baya bermata ular, Tobias Mancini, menatap ibunya dengan tatapan jijik, lalu menendangnya ke rumah bordir, saat perutnya sudah besar mengandung dirinya.

Lucas memejamkan mata, tapi bayangan itu justru makin jelas. Nafasnya memburu. Nasihat ibuknya di buku seolah terdengar lirih berubah jadi tangis, lalu lenyap ditelan kegelapan.

“Dia… menjual ibuku…” teriak hati Lucas, suara berat mesin pengubah nada tak mampu menutupi gemetar aslinya. “Saat dia tengah mengandungku… Tobias Mancini menyeretnya ke neraka, dan meninggalkannya di sana.”

Giginya bergemeletuk, jemarinya meremas mantel sampai kusut. Tubuhnya berguncang antara amarah dan sakit yang kembali hidup.

Walikota melangkah mundur setapak. Ia baru sadar, ia bukan sekadar menyebut nama sembarangan. Ia baru saja membuka pintu neraka yang selama ini Lucas sembunyikan di balik topeng dinginnya. “Pertemukan aku dengannya!” ucap Lucas.

“HAH?” Walikota tersentak, otak nya dipenuhi kabut tebal. “Dua monster akan bertemu, apa yang akan terjadi di Motessa?” pikirnya. Tapi jelas saja, ia tak bisa menolak permintaan Lucas Morreti, tak pernah bisa.

Dengan cepat disertai gugup, pria gempal itu mengangguk. “Tentu tuan Lucas, aku akan mengatur waktunya.”

“Seperti tahun-tahun sebelumnya, istana luar akan menjadi tempat pesta taun ini…” ucap Luca, terdengar seperti perintah.

“Tapi tuan Morreti, warga ingin pesta digelar di alun-alun…” jawab Walikota.

Lagi-lagi tatap itu menusuknya dari balik topeng yang mengkilap.”Lepaskan jabatanmu! Jika kau setidak berdaya itu,”ketusnya.

Walikota langsung terdiam.

Lucas menunduk, bahunya masih berguncang, namun senyum tipis perlahan merekah di balik topeng. Senyum itu bukan kebahagiaan, melainkan kepuasan yang dingin, seperti racun yang akhirnya menemukan mangsanya.

**

Bersambung!

1
tutiana
baguss Thor,,,lanjut
tutiana
luar biasa
Harry
Aku sudah kehabisan kata-kata untuk memuji karya ini, sungguh luar biasa.
Tt & 1g : Author Gazbiya: Terimakasih 🥹🫶🏻 Sehat-sehat akak…
total 1 replies
AkiraMay_
Amanat lah thor buat cerita yang mendebarkan dan sangat menarik ini. Aku tunggu kelanjutannya ya!
Tt & 1g : Author Gazbiya: Asiappp akakk🔥
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!