Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya angka seratus satu
Rose sedang asik membaca buku peninggalan ibuk Lucas, matanya larut dalam huruf-huruf yang mengoyak batinnya. Saat pintu berderit pelan, ia buru-buru menutup buku, menyelipkannya di balik bantalan kursi. Tatapannya langsung tertuju pada sosok yang masuk.
Sora.
Rose tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan sorot penuh tanya. Tatapan itu cukup membuat Sora sedikit kikuk, meski cepat disamarkan dengan senyum tipis yang penuh ejekan.
“Aku hanya ingin mengambil notula rapat, persiapan launching barang baru lagi,” ucap Sora datar, suaranya berusaha terdengar ringan.
Rose tetap diam. Hanya sorot matanya yang menelanjangi Sora, dingin, tidak suka.
“Oh iya,” Sora menambahkan sambil mengangkat alis, “untuk apa aku repot-repot menjelaskan? Kau bahkan tidak akan mengerti.” Bibirnya melengkung ke atas, senyum tipis itu jelas sebuah ejekan.
Rose bangkit berdiri. Wajahnya datar, tapi dagunya terangkat dengan angkuh. Ia melangkah pelan, mendekat ke arah Sora. “Apa kau benar-benar tidak tahu siapa aku?” tanyanya dengan suara rendah namun tajam, seperti ujung pisau yang siap menusuk.
Sora menahan tawa kecil, lalu menatap balik dengan mata berkilat penuh sindiran. “Kau memang istrinya,” bisiknya, “tapi itu tidak membuatmu spesial. Jangan terlalu percaya diri, Rose. Aku tahu betul, bos punya lebih dari seratus istri dari kota kecil Motessa. Dan bukan karena cinta atau keserakahan… dia hanya menyelamatkan kalian dari keluarga kejam dan bodoh. Jadi berhentilah merasa Istimewa, nona Roselyne.”
Rose mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan emosi. Tapi sorot matanya, tajam dan berapi-api, justru membuat Sora menelan ludah, meski tetap mempertahankan senyum ejekannya.
“Apa Lucas Morreti yang mengatakan itu?” suara Rose menurun satu oktaf, berat, seolah ditahan dari amarah yang hampir pecah. Tangan halusnya menggenggam erat gaun, gatal ingin menampar wajah wanita di depannya. Tapi ia menahan diri sekuat tenaga. Hanya demi tetap terlihat anggun, tetap terlihat di atas.
Sora terdiam, sengaja mengabaikannya, seolah ia tidak penting. Tangan nya, berkilah mencari sesuatu di meja kerja Lucas, yang entah itu apa. “Maaf nona, aku sedang sibuk… aku tidak ingin meladenimu. Bukankah sudah saya katakan tadi, anda tidak sepenting itu.”
Rose mendekat, langkahnya anggun tapi setiap hentakan sepatu terdengar mencekam, seolah lorong itu menahan napas. Sorot matanya berkilat, dingin, menusuk, seperti bara api yang siap meledak menjadi kobaran.
“Hhh! Begitukah…” Rose menundukkan wajah sedikit, menatap Sora dari atas hingga ke bawah. Senyum tipis terukir di bibirnya. “Berdo’a saja semoga kau cukup beruntung. Karena aku Roselyne Morreti, yang bahkan Namanya sudah tertaut di namaku. tidak butuh banyak alasan… cukup satu alasan, satu kesempatan… untuk membuatmu berlutut di kakiku.”
Sora tercekat sepersekian detik. Ia cepat-cepat memalingkan wajah, pura-pura tertawa enteng. Tapi detak jantungnya berdegup kacau. Untuk pertama kalinya, ia menyadari, Rose bukan sekadar istri di daftar panjang Morreti. Namun ia lebih seperti ancaman.
“Baiklah jika kau memaksa, aku tahu kau pasti kaget kenapa aku tahu semuanya? Itu karena bos sendiri yang memberitahuku. Tidak ada rahasia di antara kami,” Ia berhenti sejenak, sengaja menunggu setiap detik yang terasa seperti belati yang menembus dada Rose. “Kau tahu artinya apa? Nona Roselyne.”
Rose terdiam. Napasnya tercekat, jantungnya berdegup kencang, serasa diremas paksa. Kata-kata Sora menyelusup masuk, seperti racun yang menyebar cepat. Benarkah? Selama ini… mungkin hanya dia sendiri yang benar-benar jatuh hati.
Hanya dia yang bodoh, menganggap senyuman Lucas sebagai tanda kasih. Hanya dia yang naif, menafsirkan tatapan dingin itu sebagai perhatian tersembunyi. Mungkin memang benar, ia hanyalah satu wajah cantik dari ratusan istri, sementara Lucas… hanyalah lelaki dingin yang kebetulan tampan.
Matanya terasa panas, tapi Rose menegakkan tubuhnya. Bibirnya bergetar, namun ia paksa tersenyum, senyum yang lebih menyerupai luka yang dipoles agar tampak indah.
Sora berdiri tegak dengan raut puas dan senyum dingin, lalu melangkah pergi membawa barang yang ia cari tadi. Bahunya sengaja mendepak bahu Rose, lalu menghilang di daun pintu besar di hadapan.
Rose membeku dengan hati yang tersayat. Sesuatu menindih dad4nya begitu pedih.
“Pantas saja,” gumamnya.
Semua potongan puzzle kini menyatu dalam kepala Rose, menghantamnya bagai palu godam. Seratus hari. Itulah batas waktu yang ditawarkan pada setiap istrinya. Seratus hari, lalu mereka bebas, lepas, seolah pernikahan hanyalah kontrak seumur musim.
Dan yang lebih menyakitkan lagi… khusus dirinya, Lucas bahkan menawari perceraian lebih cepat. Seolah-olah kebersamaan dengannya hanyalah sebuah beban yang ingin segera dibuang.
Rose merasakan tubuhnya gemetar. Dadanya sesak. Air mata yang sejak tadi ia tahan, akhirnya tumpah deras. Ia jatuh terduduk di samping meja kerja Lucas, memeluk dirinya sendiri, seperti seorang anak kecil yang kehilangan rumah.
“Jadi… aku hanya ini baginya? Hanya angka seratus satu… yang bisa ia lepaskan kapan pun?” Bisiknya parau, suara patah, seakan remuk bersama hatinya.
Tangisnya pecah, bukan sekadar kesedihan biasa, tapi tangis seorang wanita yang sadar, ia telah mencintai orang yang tak pernah berniat mencintainya kembali.
*
Bersambung!
*
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini. Jangan lupa kasih bintang terbaik dan ulasan manis ya. Setiap komentarmu adalah seperti percikan api yang bikin semangatku menyala untuk terus menulis. Ayo, tulis pendapatmu, teorimu, atau bagian favoritmu_aku baca semuanya, lho!