‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32 : Seperti Upik Abu
“Amran, kita dimana sekarang?” ada getar takut pada manik basahnya. Matanya menatap ke bawah pada atap gedung terdapat kipas bulat berputar (turbin ventilator), serta lapangan luas bercahaya lampu putih terang benderang.
Helikopter bersiap untuk mendarat di halaman belakang pabrik mengelola hasil perkebunan kelapa sawit milik PT Tabariq – yang diolah menjadi produk CPO (minyak kelapa sawit mentah) sehingga memiliki beragam kegunaan mulai dari bahan baku minyak goreng, margarin, sampai bahan bakar nabati (biodiesel), dan lain sebagainya.
Kala kendaraan canggih itu sudah mendarat sempurna, dan penguncian pintu dengan mekanisme gaya sumbat otomatis terbuka. Amran dengan mudah menarik kedalam lalu mengayunkan keluar pintu penumpang.
‘Dia bisa?’ sepintas Dahayu terpesona oleh lengan yang seperti sangat kokoh itu.
Amran membuka sabuk pengaman kursi yang diduduki Dahayu, lalu dia keluar lebih dulu. Mengulurkan tangan agar diraih sang istri dan membantunya turun.
Netra Dahayu silau oleh cahaya terang benderang, dan kepalanya sedikit pusing dikarenakan untuk pertama kalinya dia naik alat transportasi udara.
Bila tadi Dahayu digandeng, kali ini dirangkul. Amran melingkarkan erat tangannya pada pinggang sang wanita, mengajaknya melangkah menuju mobil yang sudah ada dua orang menunggu.
“Selamat malam, Tuan, Nyonya.” Lila namanya, bekerja sebagai sekretaris Amran, dia menunduk hormat.
“Malam, Tuan Amran, Nyonya Dahayu.” Bahu Yudi sedikit membungkuk. Dia asisten khusus pabrik, dan urusan di kota.
Amran mengangguk singkat, kembali meminta sang istri untuk masuk kedalam mobil. Sementara Dahayu bingung harus bereaksi seperti apa, dirinya cuma membalas dengan anggukan.
Yudi menyetir dengan kecepatan sedang, keluar dari Kawasan Industri Medan (KIM), lalu melaju memasuki jalan Tol Belmera menuju kota Medan.
Di sampingnya duduk tenang Lila, yang memang minim ekspresi tapi pintar menempatkan diri dan kinerjanya tidak perlu diragukan lagi, meskipun umurnya masih terbilang muda bagi wanita karir, 33 tahun.
“Minumlah!” Dia menyodorkan air mineral yang tutupnya sudah dibuka dan isinya masih penuh.
Dahayu meraihnya, meminum cuma seteguk lalu mengembalikan kepada Amran – yang langsung ditenggak hingga hampir kandas.
“Lila, apa permintaan saya tadi, dapat kau laksanakan sesuai keinginan saya?” tanyanya dengan nada formal.
Wajah Lila menoleh ke samping, tapi tidak menatap atasannya, dia menjawab lugas. “Sudah, Tuan.”
“Terima kasih,” ucap Amran, yang ditanggapi anggukan.
‘Sebenarnya ini dimana? Apa kota Medan?’ Dahayu memperhatikan jalanan yang dilalui kendaraan berkecepatan lumayan tinggi, dirinya dilanda kebingungan. Sementara pertanyaannya tak mendapatkan jawaban, berakhir dirinya tertidur dengan kepala bersandar pada jendela mobil.
Menit pun berlalu, hingga roda mobil berhenti tepat di halaman lobby gedung tinggi. Amran melarang Lila melalui kode mata agar tidak membuka pintu penumpang di mana ada Dahayu tertidur.
Sangat lembut dirinya mengelus lengan dingin, saat wanita berwajah sembab, kusam mulai membuka kelopak matanya. “Kita sudah sampai.”
Lagi dan lagi Dahayu dibuat terheran-heran, matanya meneliti sekitar. Dia seperti orang udik baru masuk ke tempat mewah, dan memang kenyataannya memang seperti itu.
Namun Dahayu pintar menjaga sikap, memilih diam dan membiarkan pinggangnya dirangkul erat.
Sewaktu masuk ke dalam lift, putrinya bu Warni merasa seperti ada gempa, dan perutnya sedikit bergejolak.
Sang suami maklum, paham kalau istrinya baru kali ini ke tempat mewah, dan naik lift. Tangan Amran naik ke atas merangkul bahu.
Yudi sigap menahan tombol lift, mempersilahkan bos nya keluar lebih dulu.
Lila menempelkan kartu akses masuk kedalam kamar hotel kelas VIP. Kemudian dia melangkah ke ruang tamu terpisah dari kamar tidur, meletakkan empat buah paper bag.
Yudi dan Lila berpamitan, besok pagi mereka sudah standby di lobby.
Sepeninggalan orang kepercayaan Amran, hanya ada kesunyian yang terasa canggung. Dahayu berdiri di samping sofa berbusa empuk, dia menunduk menatap kakinya yang hanya mengenakan sandal jepit berbusa, celana jeans kusam, dan kaos pudar di balik jaket.
'Aku sungguh berbeda dari mereka, seperti Cinderella kala masih menjadi Upik abu.'
Ada rasa tak percaya diri, terlihat jelas kesenjangan sosial antara dirinya dan wanita serta pria tadi, apalagi suaminya.
“Mandilah, agar badan mu segar. Ini handuknya.” Handuk kimono di letakkan pada pundak Dahayu, ia tuntun wanita yang masih bingung itu masuk kedalam kamar mandi.
“Bisa 'kan?” tanya Amran sangsi, tapi langsung dipatahkan oleh anggukan yakin. Kemudian dirinya pun keluar dengan menutup pintu kamar mandi.
Dahayu melepaskan satu persatu pakaiannya, hingga dia polos. Melangkah mendekati shower, melewati bathtub, dan mulai kebingungan bagaimana caranya menyalakan.
Keran air pun didorong ke atas, wanita itu tidak paham fungsi tanda bulatan kecil terbagi dua warna yakni, merah dan biru.
Awalnya Dahayu menikmati gemericik air seperti hujan turun, terasa segar, selang beberapa detik kemudian airnya menjadi hangat lalu panas hingga dia memekik.
Akh!
Pintu kamar mandi dihempas hingga terbuka lebar, Amran melangkah cepat mengatur suhu air ke hangat, pakaiannya sedikit basah.
“Ada yang sakit?” tanyanya khawatir, belum sepenuhnya menyadari bahwa penampilan sang istri menggoda iman.
"Tolong keluar,” cicit Dayu, tangannya menyilang di pundak, dan hal tersebut membuat Amran salah sangka.
“Hei … bagian mana yang sakit? Katakanlah!” Ditariknya lengan menyilang, dia ingin melihat sendiri, baru kemudian tatapannya berubah kala melihat pucuk menantang berwarna merah muda kecoklatan.
Jakun Amran naik turun, matanya mulai berkabut, hingga tatapannya jatuh pada bibir basah bertekstur penuh.
Tangan yang semula di lengan, naik kebelakang kepala, menahan disana hingga Dahayu mendongak dan tatapan mereka bertemu.
“Izinkan saya mengulang penyatuan waktu itu, bolehkah?”
Dahayu tidak berkedip, tak pula menolak atau menyetujui – dirinya malah teringat kata-kata penghinaan Wisnu Syahputra, yang langsung membuat netranya berkaca-kaca.
Amran mengambil keputusan sepihak, bibirnya menyentuh benda kenyal padat terasa dingin. Mengecup lembut, lalu memagut dengan tempo lambat.
Pakaian pria berumur tiga puluh tahun itu basah kuyup. Tubuhnya maju, sehingga sang wanita mundur hingga punggungnya menabrak dinding.
Ciuman lembut berubah panas, terlebih Dahayu tidak tinggal diam, dia seperti menemukan pelampiasan akan perasaannya yang tengah terluka.
Ahh.
Lenguhan lolos dari bibir sedikit membengkak, dan hal tersebut berhasil menerjunkan akal sehat seorang Amran Tabariq. Dia yang biasanya tenang, segala hal terukur, dan kehidupan tertata rapi, mulai kehilangan kendali diri.
Dahayu menaikan kaos suaminya, meski amatiran bukan berarti dia buta soal mengimbangi, dibelainya dada berotot liat.
"Tolong bantu aku melupakan hal menyakitkan tadi! Tolong lakukan apapun itu, agar dia pergi dari sini!" Jemari Amran dia letakkan tepat diatas dada.
"Kau yang meminta, jadi jangan salahkan bila diriku tak cukup cuma pemanasan, Ayu." Pria dikuasai gairah itu menanggalkan seluruh pakaiannya.
Amran menggila, dia seperti pemuda mabuk bercinta. Tidak memikirkan apapun, seolah tuli sehingga tidak mendengar suara ponselnya meraung-raung.
"Amran, ponsel mu berbunyi," beritahu Dahayu, tapi tangannya menjambak kuat rambut tebal nan basah. Posisinya sama tinggi dikarenakan tubuhnya digendong dan kakinya melingkari pinggang suaminya.
.
.
Sedangkan ditempat lain, seorang wanita tengah mengamuk. Menginterogasi dua orang kepercayaan suaminya. "Kemana perginya Amran? Jawab jujur!"
'Kayak mana ini wee? Harus jujur apa bohong awak ini ...?'
.
.
Bersambung.
secengeng ini aku. ???
baru mendengar kata² papa bekti dan dahayu air mataku mengalir trus😭😭😭
puaskah kau Amran.....AQ bilang apa,d tinggal minggat dahayu kapok ...
Aku sedih bgttt 😢😢
dan kau irna goblok banget jadi orang, kamu itu diperalat oleh masira. sekarang rumah tangga amran dengan dahayu ada di ujung tanduk.