Genre : Action, Adventure, Fantasi, Reinkarnasi
Status : Season 1 — Ongoing
Kekacauan besar melanda seluruh benua selatan hingga menyebabkan peperangan. Semua ras yang ada di dunia bersatu teguh demi melawan iblis yang ingin menguasai dunia ini. Oleh karena itu, terjadilah perang yang panjang.
Pertarungan antara Ratu Iblis dan Pahlawan pun terjadi dan tidak dapat dihindari. Pertarungan mereka bertahan selama tujuh jam hingga Pahlawan berhasil dikalahkan.
Meski berhasil dikalahkan, namun tetap pahlawan yang menggenggam kemenangan. Itu karena Ratu Iblis telah mengalami hal yang sangat buruk, yaitu pengkhianatan.
Ratu Iblis mati dibunuh oleh bawahannya sendiri, apalagi dia adalah salah satu dari 4 Order yang dia percayai. Dia mati dan meninggalkan penyesalan yang dalam. Namun, kematian itu ternyata bukanlah akhir dari perjalanannya.
Dia bereinkarnasi ke masa depan dan menjadi manusia!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Watashi Monarch, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 - Pertarungan Sia-Sia
Dengan wajah panik, Siria menggoyangkan tubuh Aurora.
"Nona Aurora... nona Aurora, bangun. Tolong bangunlah."
Aurora membuka matanya, dan cahaya matanya kembali saat mendengar suara yang familiar memanggilnya. Hal pertama kali yang ia lihat adalah Siria yang memeluknya.
Rasa sakit di tubuhnya bahkan tidak bisa ia rasakan lagi.
'Siria ...? Kenapa dia di sini?' batinnya dan melirik ke arah lain, tetapi Aurora tidak menemukan orang yang dia cari.
Dengan tenaga yang tersisa, Aurora membuka mulutnya.
"Alexia ..." katanya dengan lirih dan sangat menderita.
"Di mana... Alexia?"
Siria hampir meneteskan air mata ketika mendengarnya.
"N-nona Alexia... ia akan segera ke sini, jadi tolong—!?"
Aurora meraih baju Siria dan memotong perkataannya.
"Jangan—cough?!" Aurora batuk dan memohon dengan ekspresi yang menyedihkan. "J-jangan sampai dia tahu keadaanku. Aku tidak ingin dia melihat sisi lemahku ini."
"Tapi nona Aurora, kondisi anda sekarang ...!?"
"Kumohon, Siria." ucapnya dengan suara yang serak.
Siria tidak bisa menjamin, karena Chelsea dan Sena tadi sudah pergi untuk kembali ke rumah dan menyampaikan kabar pada Alexia. Tapi di sisi lain, Siria juga tidak ingin Alexia melihat kondisi Aurora yang sangat menyedihkan.
Entah ekspresi seperti apa yang akan Alexia buat nanti.
Siria tidak bisa membayangkannya.
'Apa yang harus kulakukan ...?' pikirnya, bingung.
Ketika memikirkan hal itu, Siria tiba-tiba saja merasakan sesuatu yang sangat panas dan buru-buru melompat ke belakang. Dan benar, di tempatnya duduk tadi, beberapa bulu api panas menancap di tanah dan membakar udara.
Siria menatap bulu itu dan mengalihkan pandangannya.
"Lepaskan gadis itu sekarang juga." ancam Silvia sambil menghunuskan pedangnya. "Kalau tidak, kau akan mati!"
Setelah mendengarnya, Siria terdiam sesaat dan berpikir,
'Kenapa dia mengincar nona Aurora? Apa alasannya?'
Dan di saat itulah, Siria baru ingat kalau keluarga Sphenix tidak punya hubungan baik dengan keluarga Swan. Siria yang kehilangan emosinya mulai merasakannya kembali, seolah dadanya terbakar api saat melihat kondisi Aurora.
"Jadi ini yang namanya perang politik ...? Kenapa sampai harus membunuh orang segala hanya demi kekuasaan?"
Dia bahkan tidak bisa mengendalikan ekspresi wajahnya.
"Maaf ...!" Siria menggendong dan menyandarkan Aurora di dinding dengan lembut. "Nona Aurora, tolong tunggu saya di sini. Saya berjanji akan membawa anda kembali!"
"Tidak, Siria tunggu... dia bukan ..."
Aurora ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya habis terlebih dahulu sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.
Apalagi, dia sudah tidak punya tenaga yang tersisa.
'Kenapa di saat seperti ini ...!' batin Aurora, tidak berdaya.
"Tidak apa-apa, nona Aurora." balas Siria, setelah melihat Aurora mengkhawatirkannya. "Saya juga bisa bertarung."
Siria pun merobek roknya yang panjang dan memegang belati di kedua tangannya. Tatapannya lebih tajam dari sebelumnya dan menunjukkan permusuhan yang besar.
"Tolong jangan remehkan saya, nona Aurora." lanjutnya.
"Apa kau benar-benar ingin bertarung denganku?"
Silvia tertawa tipis dan berkata, "Itu tidak mungkin. Kau hanya pelayan biasa, mana mungkin menang melawa—"
"Tutup mulutmu! Bahkan jika kau putri keluarga Sphenix, atau bahkan keluarga kerajaan sekalipun, aku tidak akan membiarkanmu membawanya pergi dari sini!" seru Siria.
Silvia terdiam dan juga menatapnya dengan tajam.
Tanpa basa-basi lagi, Siria menendang tanah dan melaju ke arah Silvia. Setiap tebasan belati penuh dengan emosi dan perasaan, membuat tebasannya menjadi lebih berat.
Ting!
Suara dentingan terus terdengar.
Bunga api juga ikut bertebaran di mana-mana.
Pertarungan mereka membuat seluruh ruang bergetar.
Sementara itu, sosok berjubah dan dua ilmuwan tua itu mengamati pertarungan mereka. Langkah demi langkah, mereka mulai berjalan menjauh dari medan pertarungan.
"Saat mereka sibuk bertarung, cepat pergi dari sini." kata sosok berjubah itu sambil menghunuskan pedang. "Aku akan menunggu di sini dan menyerang mereka saat ada celah. Cepat pergi sebelum mereka menyadari sesuatu!"
"Tapi bagaimana dengan gadis itu?!" tanya salah seorang ilmuwan sambil menunjuk ke arah Aurora yang sedang bersandar di dinding dengan kondisi yang sangat kritis.
Sosok itu mengikuti arah yang ditunjuk dan berkata,
"Tinggalkan saja dia di sini, apalagi dia juga hampir mati."
Dia menatap dingin Aurora dan memalingkan wajahnya.
"Yang lebih penting, kita sudah mendapatkan hasil yang memuaskan. Cepat kembali dan laporkan ini!" lanjutnya.
Dua ilmuwan itu saling memandang sebelum berlari.
"Baiklah, kalau begitu kami akan pergi terlebih dahulu."
Sosok berjubah mengamati punggung mereka sebelum mengalihkan pandangan matanya pada Silvia dan Siria.
'Sepertinya mereka salah paham satu sama lain. Aku tak bisa membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja! Jika kesalahpahaman mereka berakhir, mereka pasti akan jadi penghalang terbesar bagi organisasi dan rencana kami!'
Dia bersatu dengan kegelapan dan mendekati mereka.
"Aku harus membunuh mereka, atau salah satunya!"
****
Siria melempar belatinya, tapi Silvia berhasil menangkis dan bahkan melakukan serangan balik. Dia menangkap belati yang ditangkis dan melemparnya kembali ke Siria.
Dengan gerakan yang lincah, Siria melompat ke sana dan kemari hingga berhasil menghindari semua serangan. Ia mengambil nafas sesaat dan memikirkan cara lain untuk melukainya, tapi hal itu sepertinya sulit untuk dilakukan.
Apalagi dengan keterampilan menyerang dan bertahan yang tidak sesuai dengan umurnya yang baru 15 tahun.
Siria memeriksa stok belatinya dan berpikir,
'Sepertinya pertarungan ini akan jadi sulit. Aku memang bisa mengimbangi kecepatan dan kelincahannya, tetapi tidak dengan kekuatannya. Selain itu, jumlah belatiku ...!'
"Ada apa? Apa kau kehabisan senjata?"
Silvia mengulurkan belati di tangannya dan berkata, "Mau pinjam yang aku pegang ini? Tapi sayang, aku tidak mau."
Belati di tangannya semakin memerah dan meleleh jadi cairan panas. Siria yang melihatnya hanya bisa terdiam.
'Dia sangat menjengkelkan!' pikirnya, kesal melihat Silvia.
Belati yang tadinya sepuluh, sekarang tersisa dua buah.
Enam patah dan dua lainnya melebur karena tidak bisa menahan panas api yang terus dipancarkan oleh Silvia.
Siria dari awal tidak tahu bahwa akan terjadi pertarungan, jadi dia tidak mempersiapkan banyak. Jika Siria tahu ini akan terjadi, dia mungkin akan membawa lebih banyak.
"Apa aku paksa saja dia untuk bertarung jarak deka—t!?"
Jleb!
Ketika sedang beristirahat, sebuah kilatan putih muncul dan menusuk lengan kirinya. Siria benar-benar tidak bisa bereaksi karena fokus memperhatikan pergerakan Silvia.
Di lengannya, menancap sebuah jarum kecil yang tajam.
"Ugh!" Siria merintih kesakitan.
Melihat ujungnya yang berwarna hitam, Siria buru-buru mencabutnya. Dan benar saja apa yang dia pikirkan tadi.
'J-jarum beracun ...?' batinnya, mulai panik.
Tanpa pikir panjang, Siria langsung merobek roknya lagi dan membalut lengannya. Untung darahnya yang keluar perlahan berhenti, tapi kesehatannya sangat terganggu.
Racun masuk dan membuatnya semakin lemas.
Dari mana jarum itu datang?
Silvia dan Siria memikirkan pertanyaan yang sama.
"Kenapa kalian tidak mengajakku bermain juga?"
Dalam kegelapan, sosok berjubah hitam berjalan keluar dengan langkah yang tidak bersuara. Silvia menatapnya tidak senang dan merasakan sesuatu yang aneh darinya.
"Kalian tidak melupakanku di sini, 'kan?" lanjutnya.
Siria yang keracunan berlutut dan nafasnya mulai tidak stabil. Keringat bercucuran dan matanya terasa berat.
"Apa yang terjadi di sini? Apa mereka bukan rekan?" kata Silvia sambil menatap timah api panas di bawah kakinya.
Silvia juga dilempar jarum oleh sosok berjubah, tapi dia berhasil melebur jarum itu sebelum menyentuhnya. Di sisi lain, Silvia mengerutkan alisnya ketika melihat Siria.
'Jika dia bukan kelompok orang-orang ini, lalu siapa dia?'
Itulah yang dipikirkan oleh Silvia dalam benaknya.