Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Cathesa berdiri di depan cermin kecil di kamar.
Tangannya gemetar saat memulas lipstik tipis di bibir. Ia mengenakan blouse putih bersih yang baru disetrika semalam dan rok pensil biru gelap. Sepatu hak tinggi pinjaman Rey sudah rapi di kaki.
“Oke. Nafas… pelan. Santai. Bukan kencan. Cuma… makan siang dengan atasan super dingin.”
Tapi jantungnya tak setuju.
Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul 11:50. Cathesa pun berjalan menuju restoran lantai 21 Alejandro Corp, dengan tangan sedikit berkeringat dan kepala penuh kemungkinan.
⸻
Sementara itu, Nagendra duduk sendiri di pojok restoran. Tatapannya tajam seperti biasa, tapi kali ini lebih… gelisah.
“Kenapa dia belum datang?”
Ia menoleh ke arah lift.
Beberapa menit kemudian, Cathesa masuk.
Langkahnya ragu, tapi senyum gugup di bibirnya tak bisa disembunyikan. Saat mata mereka bertemu, sesuatu terasa… hangat. Meskipun ekspresi Nagendra tetap datar.
“Maaf saya telat,” ujar Cathesa pelan.
“Dua menit. Masih bisa dimaafkan,” jawab Nagendra sambil mempersilakan duduk.
Suasana sempat canggung. Tapi pelayan datang membawa menu, menyelamatkan keduanya.
“Silakan pilih.”
“Saya ikut pilihan Pak Nagendra saja.”
“Kalau di luar ruangan, panggil aku Nagendra,” katanya sambil menatapnya lurus.
“Aku nggak suka formalitas waktu istirahat.”
Cathesa mengangguk gugup.
“Oke… Nagendra.”
⸻
Mereka mulai berbicara—tentang makanan, kerjaan, bahkan kopi favorit. Nagendra tidak banyak bicara, tapi hari itu, dia mendengar lebih banyak dari biasanya.
Cathesa menceritakan betapa ia dulu ingin jadi penulis, tapi hidup membawanya ke jalur realistis.
“Tapi nggak apa-apa sih. Sekarang aku malah bisa ngelihat dunia nyata, yang lebih absurd dari fiksi,” katanya sambil tertawa kecil.
Untuk pertama kalinya, Nagendra tertawa. Bukan senyum simpul, tapi benar-benar tertawa.
Pelayan yang lewat bahkan sempat melirik. Apa tadi… Tuan Alejandro tertawa?
⸻
Namun, dari seberang restoran, seseorang memperhatikan.
Adeline.
Ia berdiri di balik dinding kaca, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pria yang katanya cuek, dingin, tak tersentuh… sekarang sedang tersenyum pada seorang sekretaris.
Tangannya mengepal.
“Ini nggak bisa dibiarkan. Kamu harus tetap jadi milikku, Nagendra.”
Ia mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik sesuatu.
📩 “Tante, Cathesa sekarang sedang makan siang berdua dengan Nagendra. Di lantai 21.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, makan siang terus berlanjut.
Cathesa sempat tertawa karena sup-nya tumpah sedikit ke serbet. Dan anehnya, Nagendra tidak terganggu—malah seperti menikmati kekacauan kecil itu.
Tapi di balik senyumnya yang mulai tumbuh… ada badai yang pelan-pelan bergerak ke arah mereka.
Dan Cathesa belum tahu… namanya sedang dibicarakan di ruang makan keluarga Alejandro.
…….
Cathesa menyeruput lemon tea-nya pelan, berusaha menyembunyikan gugup yang nyaris membuat pipinya panas sendiri.
Di hadapannya, Nagendra masih dengan ekspresi datarnya. Tapi matanya… berbeda. Ada sesuatu yang seperti… memperhatikan.
“Kalau kamu bukan sekretaris, kamu pengin kerja apa?”
Suara Nagendra memecah kesunyian halus restoran.
Cathesa menatapnya heran, lalu tersenyum kecil.
“Barista. Atau penjual donat. Yang penting bisa lihat orang senyum tiap pagi.”
Nagendra mengerjapkan mata. Ia tidak menyangka jawaban itu.
“Kamu nggak bercanda?”
“Nggak. Aku suka bikin orang senang. Meski cuma karena kopi.”
Nagendra terdiam. Entah kenapa… kalimat itu seperti pukulan ringan ke dadanya.
“Saya kira kamu akan jawab penulis, atau jurnalis, atau semacamnya.”
“Kebanyakan orang berharap aku jadi itu. Tapi kenyataannya… aku lebih suka hal-hal sederhana. Nggak semua orang ditakdirkan buat jadi luar biasa, ‘kan?”
Nagendra menatapnya lebih dalam.
Biasanya dia alergi dengan wanita yang berusaha tampak “berbeda” demi menarik perhatian. Tapi Cathesa… tidak mencoba jadi siapa pun. Dan itu justru membuatnya… menonjol.
⸻
Tak jauh dari sana, Adeline masih berdiri di balik sekat kaca. Ia nyaris menghancurkan ponselnya sendiri.
“Senyum. Mereka saling senyum. Astaga.”
Lalu ia tersenyum miring.
“Tante pasti nggak akan suka ini. Sekali aku lempar api… Cathesa bakal terbakar.”
⸻
Kembali ke restoran.
Nagendra mengusap telinganya sendiri. Satu kebiasaan kecilnya saat gugup—yang bahkan tak disadari. Tapi Cathesa melihat itu.
“Ng… kamu lagi gak nyaman, ya?”
Cathesa tiba-tiba bertanya.
Nagendra sedikit kaget.
“Kok kamu tahu?”
“Kamu ngusap kuping terus. Biasanya orang cuma begitu kalau grogi atau gak sreg.”
Nagendra terdiam. Kali ini lebih lama.
“Kamu memperhatikan.”
“Hmm… iya. Tapi bukan karena aku pengin cari muka atau gimana, ya,” ujar Cathesa cepat.
“Kamu itu… menarik. Maksudku, sebagai manusia. Dingin, tapi sebenarnya kayaknya banyak mikir.”
Lagi-lagi, untuk pertama kalinya, Nagendra tersenyum tipis. Tak lebar. Tapi cukup untuk membuat Cathesa melongo.
“Aku nggak suka basa-basi,” katanya pelan.
“Tapi kamu bukan tipe yang bikin aku pengin menghindar.”
Deg.
Cathesa langsung memegang gelas lemon tea-nya erat-erat.
“Eh… itu berarti… kamu nyaman?”
Nagendra memutar gelas kopinya sambil menatap keluar jendela.
“Mungkin.”
Itu saja. Tapi untuk seorang Nagendra Ramiel Alejandro, satu kata itu sudah seperti pengakuan luar biasa.
⸻
Waktu makan siang selesai. Mereka bangkit dari meja.
“Terima kasih sudah mau makan siang dengan aku,” ujar Cathesa sambil menunduk sedikit.
“Meski kamu kayaknya cuma makan dua sendok.”
Nagendra meliriknya.
“Kalau yang duduk di depanku menyenangkan, dua sendok cukup.”
Cathesa terkesiap. Nagendra berjalan duluan, meninggalkannya dalam keadaan beku, pipi merah, dan mata membelalak.
“APA BARUSAN DIA FLIRT?”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Cathesa baru saja keluar dari lift, langkahnya ringan walau pipinya masih merah karena ucapan “Kalau yang duduk di depanku menyenangkan, dua sendok cukup.”
“Astaga… itu flirting, kan? Itu flirting, ‘kan, Thes?”
Dia hampir senyum-senyum sendiri di lobi, sebelum langkahnya mendadak berhenti.
Seseorang berdiri di dekat meja resepsionis. Menoleh. Lalu mendelik.
“Cathesa?”
Suara tajam itu tidak salah lagi.
Diva.
Putri kesayangan Bibi Mira. Si lulusan cepat, si hampir-analis, si bahan perbandingan abadi.
“Diva?” Cathesa memaksakan senyum. “Lho, ngapain kamu di sini?”
“Aku ada meeting sama klien. Alejandro Corp salah satu mitra bank tempat aku kerja.”
Mata Diva menelisik penampilan Cathesa dari ujung rambut sampai sepatu.
“Hmm… kamu kerja di sini, ya? Masih… staf administrasi?”
Cathesa menghela napas dalam hati. Tapi tetap tersenyum.
“Sekarang udah sekretaris CEO-nya.”
Alis Diva terangkat. “Serius?”
“Iya. Barusan makan siang bareng dia.”
Kata-kata itu keluar spontan. Mungkin karena tadi suasananya menyenangkan, mungkin juga karena Diva terlalu lama membuatnya merasa kecil.
Diva menahan senyum miring.
“Wah, naik jabatan ya? Hebat… hebat… dari tukang ketik jadi tukang atur jadwal CEO.”
Cathesa menatapnya. Kali ini ia tidak mundur.
“Dan kamu masih suka bangga karena jabatan, ya, Div?”
Diva sedikit tersentak.
“Aku kerja sesuai passion. Dan kamu…?”
Tatapannya mengejek. “Ngedeketin bos, biar naik, ya?”
Cathesa menatapnya datar. “Kalau kamu mau tahu, aku naik jabatan karena kinerjaku. Dan aku nggak pernah deketin siapa pun. Aku cukup sibuk kerja buat buktiin diriku, bukan buat ngejilat.”
Diva mendengus. “Ya udah. Sukses, deh. Semoga nggak didepak kalau ada cewek cantik lain ngelamar.”
Lalu ia pergi begitu saja.
Tinggal Cathesa yang berdiri dengan napas cepat, tangan sedikit gemetar.
Tapi kali ini… dia tidak merasa kalah.
“Aku cukup. Aku tahu aku cukup. Mau mereka terima atau nggak.”
Ponselnya bergetar.
📩 “Tadi menyenangkan. Terima kasih. – N”
Cathesa tersenyum kecil.
“Ya. Aku cukup.”