Evelyn, penulis webtoon yang tertutup dan kesepian, tiba-tiba terjebak dalam dunia ciptaannya sendiri yang berjudul Kesatria Cinta. Tapi alih-alih menjadi tokoh utama yang memesona, ia justru bangun sebagai Olivia, karakter pendukung yang dilupakan: gadis gemuk berbobot 90kg, berkacamata bulat, dan wajah penuh bintik.
Saat membuka mata, Olivia berdiri di atas atap sekolah dengan wajah berantakan, baju basah oleh susu, dan tatapan penuh ejekan dari siswa di bawah. Evelyn kini harus bertahan dalam naskahnya sendiri, menghindari tragedi yang ia tulis, dan mungkin… menemukan cinta yang bahkan tak pernah ia harapkan.
Apakah ia bisa mengubah akhir cerita sebagai Olivia? Atau justru terjebak dalam kisah yang ia ciptakan sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31.Tawaran.
Mereka berdua masih dalam posisi dimana Owen yang berdiri di sudut kan oleh Oliv, yang tepat di depan nya.
Oliv menatap Owen tajam, napasnya masih sedikit memburu karena emosi yang belum reda. “Aku cuma mau nanya,” katanya pelan tapi penuh tekanan. “Kamu suka sama aku, ya?”
Senyum Owen sedikit menurun, tapi bukan karena kaget,lebih karena ia tidak menyangka Oliv akan menanyakan itu secara langsung. “Kenapa tiba-tiba nanya begitu?” jawabnya, mencoba terdengar santai.
Oliv mengetukkan jarinya di dinding dekat kepala Owen, membuat suara kecil yang menegaskan bahwa ia tidak main-main. “Jawab aja,” desaknya. “Tadi kamu ngomong macam-macam di lorong. Kamu ngejar-ngejar aku. Bahkan sekarang kamu senyum-senyum sendiri kayak orang senang dapat jackpot. Jadi, kamu suka sama aku atau nggak?”
Owen menghela napas, matanya menatap balik ke arah Oliv dengan tenang. “Enggak,” katanya akhirnya."aku suka dengan cewek kayak kamu, berarti aku gila. Lihat dirimu dada rata dan galak. Mana mungkin aku suka cewek seperti mu. "
Oliv lalu melepaskan Owen, "kalau gak suka ya udah!, tidak usah bilang dadaku rata memangnya kamu tahu ukuran dadaku. Dasar pria mesum! . " Ucapnya yang marah.
“Aku nggak suka sama kamu,” ulang Owen, kali ini lebih tegas. Tapi senyum tipisnya kembali muncul. “Jadi hilangkan pikiran itu dari kepalamu!.”
Oliv menyipitkan mata, berusaha membaca apakah dia bohong atau tidak. "Baik, jangan ambil pusing pertanyaan ku tadi. Dan ingat buat garis yang jelas antara kita, kau anak bosku yang harus aku jaga dan kamu tidak boleh menyukai ku sedikitpun dari ujung kepala sampai ujung rambut. Lalu hubungan kita ini hanya teman tidak lebih!. "
Mendengar batasan yang dibuat Oliv Owen merasakan kesal yang tidak bisa di jelas kan, setelah mengucapkan itu Oliv langsung pergi meninggalkan Owen.
Sedangkan Owen menjadi kesal sendiri, ia hanya bisa melihat Oliv dari kejauhan. Dan ingin menarik kata-katanya tadi, Oliv puas mendengar jawaban Owen, ia pergi dengan perasaan tenang.
Sore itu, Oliv memutuskan untuk membantu di restoran milik temannya, Mira. Restoran kecil itu terkenal dengan makanan rumahan yang lezat dan suasana hangatnya, tapi sore ini sedang ramai karena ada acara promosi. Oliv mengenakan celemek sederhana berwarna krem, rambutnya diikat setengah ke belakang agar tidak mengganggu saat bekerja.
“Aku ambil meja luar aja, ya,” kata Oliv sambil membawa nampan berisi minuman.
Mira mengangguk cepat dari balik kasir. “Boleh! Tapi jangan lupa senyum dikit, biar pelanggan balik lagi.”
Oliv mendengus kecil. “Aku di sini buat bantu, bukan jadi maskot.” Meski begitu, ia tetap melangkah keluar dengan sikap profesional.
Di meja luar, suasana terasa lebih tenang. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma makanan dari dapur. Oliv meletakkan minuman di meja sekelompok pelanggan dengan gerakan cekatan. Saat ia berbalik, matanya bertemu dengan seseorang yang sejak tadi memperhatikannya dari sudut ruangan,seorang pria berjas rapi, dengan tablet di tangannya.
Pria itu berdiri ketika Oliv lewat di dekatnya. “Permisi,” panggilnya sopan.
Oliv berhenti, sedikit bingung. “Iya? Ada yang bisa saya bantu?”
Pria itu tersenyum tipis, nada suaranya terdengar percaya diri tapi tidak mengintimidasi. “Saya kebetulan seorang agen dari sebuah perusahaan entertainment. Nama saya Rendra.” Ia menunjukkan kartu namanya sekilas. “Tadi saya memperhatikan Anda melayani pelanggan, dan jujur… wajah Anda sangat fotogenik. Pernah kepikiran untuk jadi bintang iklan?”
Oliv berkedip sekali, mencoba mencerna kata-kata itu. “Hah?”
Rendra terkekeh pelan, terbiasa dengan reaksi seperti ini. “Saya serius. Kami sedang mencari wajah baru untuk kampanye iklan produk minuman, dan menurut saya Anda punya pesona yang pas natural, tapi mencolok. Kalau Anda tertarik, saya bisa atur pertemuan profesional untuk membicarakannya lebih lanjut.”
Mira yang kebetulan mendengar dari dalam restoran langsung keluar, matanya berbinar. “Oliv! Kamu serius ditawarin jadi bintang iklan?!”
Oliv langsung mengangkat tangan, menghentikan Mira yang hampir meloncat kegirangan. “Tunggu dulu. Saya bahkan nggak tahu siapa dia,” katanya dingin, meski matanya sedikit menilai kartu nama yang dipegang Rendra.
Rendra tetap tenang. “Wajar kalau Anda ragu. Saya bisa beri waktu untuk mempertimbangkan. Kalau Anda mau, kita bisa atur pertemuan di kantor kami, bukan di tempat pribadi. Profesional sepenuhnya.”
Oliv menatapnya beberapa detik lebih lama, lalu menghela napas. “Oke… kasih aja kartunya. Tapi saya nggak janji apa-apa.”
Rendra tersenyum puas sambil menyerahkan kartu nama itu. “Itu sudah cukup. Saya tunggu kabar Anda.”
Setelah pria itu pergi, Mira langsung menarik lengan Oliv. “Kamu harus coba! Siapa tahu itu jalan kamu buat terkenal!”
Oliv memutar bola matanya. “Aku di sini buat bantu kamu, bukan buat ngejar spotlight.”
Namun, saat ia kembali melayani pelanggan berikutnya, pikirannya sedikit terusik. Tawaran itu memang tiba-tiba, tapi entah kenapa ia merasa ada sesuatu di balik kata-kata Rendra tadi,seolah dunia di luar masalahnya dengan Owen dan sekolah bisa saja berubah hanya dengan satu keputusan.
Di rumah besar itu, suasana sore terasa janggal. Biasanya Owen akan bersantai dengan musik keras atau main game di kamarnya, tapi kali ini ia justru terduduk di ruang tamu, menatap kosong ke selembar uang ratusan ribu di tangannya. Meja di depannya berantakan dengan bungkus makanan cepat saji, struk belanja, dan beberapa barang yang jelas-jelas tidak penting tapi sudah ia beli tiga hari terakhir.
“Gimana bisa uang sebulan habis cuma dalam tiga hari…” gumamnya, frustasi. “Ini rekor baru, Owen.”
Ia mendengus kesal, merebahkan tubuh ke sandaran sofa. Kesal sama diri sendiri, kesal sama Oliv, kesal sama semua hal yang entah kenapa akhir-akhir ini terasa bikin kepalanya penuh.
Pintu depan terbuka, suara langkah kaki Oliv terdengar. Gadis itu baru saja pulang dari restoran Mira, masih mengenakan kaos polos dan celana jeans yang berbau sedikit minyak goreng. Ia melepas sepatunya dengan malas, lalu melihat Owen yang duduk di ruang tamu seperti orang kehilangan arah.
“Ada masalah apa lagi?” tanyanya datar, berjalan melewati Owen menuju dapur.
“Uangku tinggal segini.” Owen mengangkat lembaran uang itu ke udara, seolah memperlihatkan barang bukti dari sebuah kejahatan. “Seharusnya cukup buat sebulan, tapi entah kenapa hilang dalam tiga hari. Tiga. Hari.”
Oliv membuka kulkas, mengambil sebotol air, lalu meneguknya tanpa menoleh. “Mungkin karena kamu nggak bisa nahan diri buat nggak belanja hal-hal bodoh?”
Owen melotot. “Aku nggak belanja hal bodoh. Aku cuma… ya, aku beli beberapa barang yang penting.”
“Contohnya?”
Owen terdiam sebentar, lalu bergumam, “…sepatu limited edition, tiga hoodie, dan…” ia berhenti, wajahnya sedikit memerah, “…figurin karakter game.”
Oliv menutup botol airnya dengan suara klik yang tegas. “Pintar banget. Kalau kamu bangkrut besok, jangan minta aku yang nutupin.”
“Ya makanya aku pusing sekarang!” Owen mengacak rambutnya. “Gimana gue mau bertahan tiga minggu ke depan dengan uang segini?”
Oliv melemparkan pandangan datar, lalu tiba-tiba mengingat sesuatu. Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu nama dan meletakkannya di meja depan Owen. “Ngomong-ngomong, aku tadi dapat tawaran kerja.”
Owen mengangkat alis, menatap kartu itu dengan malas. “Kerja apa?”
“Katanya, jadi bintang iklan,” jawab Oliv santai, duduk di kursi sebelahnya.
Owen yang tadinya terlihat lesu langsung menegakkan tubuhnya. “Hah? Bintang iklan? Maksudnya… kamu?”
Oliv menatapnya dengan ekspresi ya, jelas aku. “Iya. Ada agen datang pas aku bantu restoran Mira. Dia bilang aku fotogenik, cocok buat kampanye minuman. Ini kartunya, namanya Rendra.”
Owen mengambil kartu itu, membacanya cepat. Wajahnya berubah bukan kaget, tapi seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Jadi… orang asing tiba-tiba nawarin kamu jadi model, dan kamu terima begitu aja?”
“Aku nggak terima,” koreksi Oliv cepat. “Aku cuma ambil kartunya. Pertimbangin dulu. Lagian dia jelas-jelas profesional, bukan tipe orang aneh.”
Owen menyandarkan punggungnya, tapi matanya masih menatap kartu itu lama-lama. Ada rasa tidak nyaman yang ia sendiri susah jelaskan. “Aku nggak suka ide ini.”
Oliv menoleh cepat. “Kenapa?”
“Karena…” Owen terdiam sebentar, mencari alasan yang terdengar masuk akal. “…karena banyak penipu di luar sana. Bisa aja itu cuma modus. Atau…” ia menatap Oliv serius, “…kalau beneran kamu jadi terkenal, bakal banyak orang ganggu kamu. Kamu aja di sekolah ribut sama Melisa tiap hari, gimana kalau satu kota tahu muka kamu?”
Oliv mendengus. “Aku bisa jaga diri.”
Owen menekankan suaranya. “Ini beda, Oliv.”
Ada jeda. Keduanya saling menatap, seakan-akan mencoba membaca pikiran masing-masing. Oliv akhirnya mengangkat bahu. “Ya sudah, aku belum mutusin apa-apa. Tapi kalau aku jadi ambil, itu urusan aku.”
Owen meremas kartu nama itu pelan tanpa sadar, lalu meletakkannya kembali di meja dengan gerakan agak keras. “Kalau kamu ambil, aku ikut.”
Oliv menaikkan satu alis. “Ikut?”
“Iya,” jawab Owen cepat. “Aku mau lihat langsung siapa orang-orang yang bakal kerja sama sama kamu. Kalau mereka macam-macam…” ia memberi jeda seolah sengaja membuat kalimatnya menggantung, “…aku nggak bakal diem.”
Oliv memutar bola matanya, tapi diam-diam merasa aneh karena tidak menolak ide itu. “Terserah. Asal jangan ganggu.”
Owen tersenyum tipis, meski di balik senyuman itu ada perasaan campur aduk kesal karena Rendra yang pertama kali melihat sisi menarik Oliv, tapi juga takut kalau benar-benar kehilangan kendali atas apa yang dia rasakan.