NovelToon NovelToon
TAKDIR CINTA

TAKDIR CINTA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengganti / CEO / Persahabatan / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ra za

Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.

Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.

Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.

Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.

Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 Lebih Tenang

“El, kamu kemana saja? Kenapa baru sampai? Apa terjadi sesuatu? Aku khawatir sekali, tadi aku hubungi berkali-kali kamu tidak menjawab!” Nadia langsung menembakkan serentetan pertanyaan begitu Eliana masuk ke butik.

Eliana mendesah panjang sambil menaruh tasnya. “Nad, bisa nggak nanyanya satu-satu? Kepalaku lagi penuh banget.” Ia lalu menjatuhkan diri ke sofa empuk di sudut butik.

Melihat wajah sahabatnya pucat, Nadia buru-buru mengambil kan minum, dan duduk di samping Eliana. “Maaf ya, El. Aku kan khawatir. Sekarang ceritain, apa sebenarnya yang terjadi?”

Eliana menatap sahabatnya dalam-dalam, lalu berkata lirih, “Nad, menurutmu… apa yang harus aku lakukan?”

“Melakukan apa?” Nadia mengerutkan kening, makin bingung.

Dengan suara pelan, Eliana pun menceritakan semuanya, mulai dari kecelakaan kecil menabrak Revan, hingga permintaan mengejutkan pria itu yang ingin menjadikannya tunangan.

Nadia terdiam cukup lama, mencerna setiap kata sahabatnya. Baru setelahnya ia menghela napas panjang.

“Aku harus bagaimana, Nad?” Eliana menunduk, matanya berkaca-kaca. “Dari caranya bicara, sepertinya dia benar-benar serius. Tapi… aku juga takut.”

Nadia meraih tangan Eliana, menggenggamnya erat. “El, aku juga bingung harus kasih saran apa. Tapi satu hal yang aku tahu, semua yang terjadi di hidup kita sudah diatur sama Allah. Mungkin ini memang cara-Nya menjawab do'amu.”

Eliana mengangkat wajah, menatap sahabatnya dengan heran. “Do'a?”

“Iya, do'a. Kamu kan pernah bilang, kalau waktunya tiba, kamu nggak mau pacaran. Kamu ingin langsung menikah. Nah, bisa jadi ini jalannya. Bukankah Allah bisa menunjukkan dengan cara apa saja?” Nadia menepuk lembut bahu Eliana.

Eliana mengembuskan napas berat. “Tapi kan nggak gini juga caranya, Nad…”

Nadia tersenyum simpul. “El, kadang caranya memang aneh, tapi hasilnya bisa jadi yang terbaik. Apalagi, dari ceritamu, pria itu bicara jujur. Kalau dia mau main-main, gampang saja dia bohongin kamu, tapi nyatanya dia cerita apa adanya. Itu tandanya dia serius.”

Eliana terdiam, sedikit lebih tenang.

“Semua keputusan ada di tanganmu, El. Tapi kalau aku boleh kasih saran…” Nadia menatap mata sahabatnya dengan serius. “Kalau dia sungguh-sungguh, suruh dia datang menemui orang tuamu. Kalau dia berani mengatakan hal yang sama di depan keluargamu, itu tandanya dia benar-benar serius. Dan satu lagi yang paling penting minta petunjuk-Nya”

Senyum kecil akhirnya muncul di wajah Eliana. “Terima kasih, Nad. Kamu memang selalu bisa diandalkan.”

“Tentu saja. Kita sahabat, kan? Sahabat itu saling menyemangati.” Nadia memeluk Eliana erat, memberikan kekuatan yang sangat dibutuhkan gadis itu.

---

Sementara itu, di perusahaan Revan, pintu ruangan CEO tiba-tiba terbuka. Riki, masuk dengan wajah penuh protes.

“Re, loe ke mana aja sih tadi? Katanya ngajak gue makan siang, tapi habis itu hilang tanpa kabar. Gue telpon juga jawabannya ngawur. Jangan bilang loe kabur demi meeting sama kucing jalanan?” cercanya.

Revan hanya tersenyum simpul sambil meneguk kopi di mejanya. “Sorry, Ki. Bukan maksud gue ingkar janji. Tadi gue harus selesaikan sesuatu yang… penting.”

Riki mendengus. “Penting apaan? Kalau nggak jelas, jangan harap gue maafin.”

Revan menatap sahabatnya dengan mata berbinar, nada suaranya penuh semangat. “Gue ketemu calon tunangan gue, Ki.”

“Ha?!” Riki hampir tersedak ludahnya sendiri. “Lo serius, Re? Jangan bercanda sama gue!”

“Serius.” Revan tersenyum lebar.

“Celin lagi?” Riki menatapnya dengan tatapan curiga.

Revan langsung menggeleng cepat. “Bukan Celin. Siapa juga yang mau bertunangan sama dia. Jujur aja, gue malah bersyukur dia pergi. Itu artinya gue nggak perlu lagi mikirin alasan gimana cara mutusin dia. Loe tau kan gimana sifat mama gue? Kalau bukan Celin yang ninggalin duluan, mungkin sampai sekarang gue masih terjebak.”

Riki mengangguk pelan. “Ya, itu sih benar. Tapi… siapa perempuan yang lo maksud ini? Apa dia setuju?”

Revan menegakkan badan, sorot matanya penuh keyakinan. “Mudah-mudahan dia setuju. Tapi kalau dia nolak…” Senyumnya melebar, nyaris seperti senyum licik tapi tetap karismatik. “…akan gue buat dia setuju.”

Riki menatap Revan dengan mulut menganga. “Gila… lo beneran serius, Re?”

“Lebih serius dari sebelumnya.” Revan menepuk bahu sahabatnya. “Kali ini, Ki, gue yakin banget… doa gue udah dijawab.”

Malam ini, di dua tempat berbeda, dua hati yang sama-sama gelisah bersujud kepada Sang Pencipta.

Eliana bersimpuh di atas sajadah, bibirnya bergetar memanjatkan do'a. Ia meminta agar apa pun keputusan yang diambil esok hari adalah yang terbaik, agar pikirannya ditenangkan, hatinya diteguhkan, dan jalannya dimudahkan.

Sementara itu, Revan juga melakukan hal serupa. Dalam do'a malamnya, ia memohon jika benar Eliana adalah jodoh yang ditakdirkan untuknya, semoga Allah memudahkan jalan untuk mereka disatukan, ia diberi kekuatan untuk melindungi Eliana seumur hidupnya.

Malam pun berlalu dalam do'a dan harapan.

---

Pagi datang membawa cahaya baru, hati keduanya terasa lebih tenang dibanding hari sebelumnya.

“Bagaimana, El? Apa kamu sudah menemukan jawabannya?” tanya Nadia sambil menyiapkan sarapan sederhana di meja makan.

Eliana tersenyum tipis. “Alhamdulillah, InshaAllah sudah, Nad. Do'akan aku ya… semoga apa yang kupilih bukanlah sebuah kesalahan.”

Nadia menatap sahabatnya penuh kasih, lalu mengangguk mantap. “Pasti, El. Kamu pasti bisa melewati ini.”

Mereka pun duduk bersama, menikmati sarapan dengan suasana yang hangat.

---

Di kediaman Revan, pagi itu terlihat cerah. Secerah wajah pemuda itu.

“Re, wajahmu kelihatan bahagia sekali. Ada apa? Jangan bilang lagi jatuh cinta.” Surya, ayah Revan, menatap anaknya penuh selidik.

Revan cepat-cepat menggeleng. “Ah, Papa, aku biasa saja.”

“Biasa? Kelihatan banget itu dari raut wajahmu. Kamu nggak bisa bohong sama Papa, Re,” ucap Surya sambil tersenyum penuh arti.

Revan hanya mengedikkan bahu. Sejak sholat malam tadi, hatinya memang jauh lebih tenang. Ada bahagia yang sulit dijelaskan, meskipun di dalam hati kecilnya masih ada rasa khawatir tentang jawaban yang akan Eliana berikan nanti.

---

Siang harinya, Eliana sibuk merapikan potongan kain yang sudah ia susun menjadi rancangan gaun. Tangannya cekatan, matanya fokus. Sementara Nadia asyik menggambar model baju sesuai permintaan pelanggan.

“Nad, aku mau keluar sebentar ya,” ucap Eliana setelah selesai merapikan kain hasil kerjanya.

“Iya, El. Semangat ya! Kamu pasti bisa,” kata Nadia menyemangati.

Eliana terkekeh. “Kamu ini ngomongnya kayak aku mau ujian kelulusan saja.”

Mereka pun tertawa bersama, meski di hati Eliana, masih tersimpan kegelisahan.

Sebelum menghubungi Revan, Eliana sempat mampir ke supermarket. Saat sedang memilih belanjaan, ia melihat seorang wanita tua  namun masih terlihat cantik, kesulitan meraih barang di rak paling atas.

Eliana segera menghampiri. “Permisi, Nyonya. Boleh saya bantu? Nyonya ingin ambil yang mana?” tanyanya sopan.

Wanita itu tersenyum lega. “Oh, terima kasih, Nak. Tolong ambilkan yang itu.” Ia menunjuk ke arah sebuah botol di rak atas.

Dengan sigap Eliana mengambilkan barang tersebut lalu menyerahkannya. “Silakan, Nyonya.”

“Terima kasih banyak, Nak,” ucap wanita itu hangat sebelum berlalu.

Eliana tak menyadari, pertemuan singkat itu kelak akan memiliki arti tersendiri dalam hidupnya.

Selesai berbelanja, Eliana akhirnya memberanikan diri mengirim pesan pada Revan.

“Kita bertemu di restoran xx, sekarang juga.”

Membaca pesan itu, Revan langsung tahu siapa pengirimnya. Tanpa pikir panjang, ia segera meninggalkan kantor dan meminta Dion untuk sementara menangani pekerjaannya.

Tak butuh waktu lama, Revan tiba di restoran yang dimaksud. Ia langsung mencari keberadaan Eliana, dan menemukannya di sudut ruangan.

“Maaf, aku baru sampai,” ucap Revan sambil menarik kursi.

Eliana tersenyum tipis. “Untung kamu cepat datang. Kalau lima menit lagi, aku pasti sudah pulang.”

Revan menahan senyum. “Kalau sampai itu terjadi, aku pasti akan menyusulmu.”

Mereka tertawa kecil, lalu Revan bertanya, “Kamu sudah pesan?”

“Belum,” jawab Eliana singkat.

Revan memanggil pelayan. “Kamu mau makan apa?” tanyanya sambil menatap menu.

“Terserah kamu saja.”

Revan meliriknya sekilas, lalu berkomentar, “Wanita memang nggak jauh dari kata terserah, ya.”

Eliana menoleh cepat. “Apa tadi?”

“Ah, nggak. Nggak ada,” elak Revan buru-buru sambil menyebutkan pesanan pada pelayan.

Saat menunggu hidangan datang, Revan menatap Eliana penuh harap. “Aku ingin tahu jawabanmu, El.”

Eliana menarik napas panjang, lalu menatapnya serius. “Kamu minta aku jadi tunanganmu. Sebelum aku menjawab… kamu harus menemui orang tuaku lebih dulu. Itu pun… kalau kamu memang serius.”

“Temui orang tuamu?” Revan mengangguk mantap. “Tentu saja. Kalau perlu, sekarang juga kita berangkat.”

Eliana tersenyum kecil. “Baiklah. Setelah makan, kita pergi.”

Mereka makan dengan tenang, seolah tanpa beban dan pikiran.

---

Perjalanan menuju rumah orang tua Eliana memakan waktu hampir tiga jam. Mobil melaju di jalanan yang perlahan sepi, meninggalkan keramaian kota.

“Apa kita perlu membeli sesuatu dulu untuk orang tuamu?” tanya Revan sambil tetap fokus menyetir.

“Tidak usah, aku sudah menyiapkannya,” jawab Eliana.

Sepanjang perjalanan, mereka lebih banyak diam. Revan berkonsentrasi pada jalan, sementara Eliana tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Akhirnya, mobil mereka memasuki halaman rumah Eliana. Sebuah rumah besar dengan halaman luas, jauh dari hiruk pikuk kota. Suasananya sejuk dan menenangkan.

“Assalamu’alaikum,” sapa Eliana begitu berdiri di depan pintu.

“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah, kamu sudah sampai nak. sahut suara lembut dari dalam.

Sebelumnya Eliana memang sudah mengabarkan bahwa ia akan pulang, tapi ia sengaja tidak mengatakan tujuan sebenarnya.

Baru saja ia hendak melangkah masuk, terdengar suara berat dari dalam.

“Siapa pria itu, El?”

1
erviana erastus
ckckck revan2 beres kan dulu si celine baru happy2 sama elina .... 😏😏😏😏
erviana erastus
dasar j*******g giliran ninggalin revan nggak ngotak skrng mau balikkan 🤣 nggak laku ya say makax cari mantan
erviana erastus
ada rahasia apa dinnk lampir
erviana erastus
emak satu ini minta ditampar biar sadar
erviana erastus
ribet ... knp nggak langsung nikah aza .... satu lagi jalang dia yg pergi tp merasa tersakiti ... hei Miranda kamu tuh ya buka tuh mata lebar2 jadi tau kelakuannya si celine
erviana erastus
jadi orang nggak usah terlalu baik el, tuh calon pelakor didepanmu .....
erviana erastus
miranda ini batu banget, tipe emak2 sok kuasa 😏
erviana erastus
calon plakor mulai tampil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!