Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.
Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.
Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Mata yang Menyimpan Rahasia
Hujan gerimis turun pelan di atas atap rumah Seraphyne. Dedaunan basah dan jalanan Narathor sedikit becek, tapi suasana di dalam rumah tetap hangat oleh aroma herbal yang menguar dari dapur.
Mareen, dengan rambutnya diikat longgar ke belakang, sedang mengatur botol-botol kecil berisi ramuan baru saat matanya menangkap sesuatu di pojok rak bawah. Sebuah kotak kecil, hitam pekat dengan simbol kuno yang asing bagi orang biasa, tergeletak terbuka separuh.
Bukan miliknya.
Dan bukan pula milik Rae.
Dengan hati-hati, Mareen meraih kotak itu dan membukanya. Di dalamnya, sebuah potongan kristal merah menyala, tak terlalu besar, tapi berdenyut seperti jantung yang bernyawa. Batu api.
Mareen membeku.
Seketika itu juga suara langkah terdengar dari pintu belakang. Seraphyne masuk, payung lipat di tangannya masih basah. Rambutnya kusut, mata lelahnya menyapu ruangan—lalu terhenti pada Mareen.
Mereka saling pandang.
Mareen tidak meletakkan batu itu kembali ke kotaknya. Ia hanya menatapnya lalu menatap Seraphyne lagi. Tak ada teriakan, tak ada ketakutan. Hanya keheningan yang padat oleh banyak makna.
“Aku tahu kau bukan orang biasa sejak awal,” kata Mareen lembut.
Seraphyne menelan ludah. “Aku bisa menjelaskan.”
“Kau tak perlu,” potong Mareen cepat, senyumnya lembut. “Aku hanya ingin tahu… apakah ini menyakitimu?”
Seraphyne terdiam. Pertanyaan itu menghujam lebih dalam dari tuduhan apa pun.
“Ya,” jawabnya akhirnya. Suaranya serak, nyaris seperti bisikan. “Setiap kali aku mengabulkan keinginan, aku kehilangan bagian dari diriku. Tapi aku tidak bisa berhenti, Mareen. Aku tidak bisa membiarkan dunia runtuh karena keegoisan seseorang. Batu itu… menolak diam.”
Mareen menutup kotak itu dengan hati-hati lalu menggenggam tangan Seraphyne.
“Kau bukan dewi, Ephyra. Kau juga bukan malaikat. Kau... hanya manusia yang dibebani kekuatan terlalu besar. Aku kasihan padamu.”
Seraphyne menunduk, dadanya sesak oleh rasa yang tak bisa ia ungkapkan. Tidak ada kemarahan. Tidak ada penghakiman. Hanya penerimaan yang begitu hangat, hampir menyakitkan.
“Aku bukan siapa-siapa... tapi aku akan tetap di sini, membantu seperti biasa,” lanjut Mareen pelan. “Kalau kau kelelahan, aku yang akan memijat bahumu. Kalau kau lapar, aku yang akan menyiapkan makanan.”
Seraphyne menahan air matanya. Takdir telah membuatnya terasing selama ratusan tahun, tapi hari ini… seseorang melihat dirinya, bukan hanya kekuatannya.
“Terima kasih,” bisiknya lirih.
"Apa pria itu panglima Alvaren? Reinkarnasi raja 200 tahun yang lalu?" tanya Mareen yang membuat Seraphyne sedikit terkejut.
"Ah, maaf. Sebenarnya aku sering mendengar percakapan kalian diam-diam. Panglima Alvaren selalu mengatakan mimpi-mimpinya dan kau selalu saja menyangkal tapi aku tahu itu bukan sekedar sangkalan."
Seraphyne menghela napas sambil duduk di kursi dekat meja yang berisi botol-botol ramuan. "Ya, dia orangnya."
"Apa panglima tahu?" Seraphyne hanya menggelengkan kepala.
"Mareen, aku tidak ingin menyeretnya kembali dalam takdir menyakitkan ini. Tapi takdir selalu membawa kami kembali ke masa itu. Aku tidak bisa menyangkal lagi.."
Mareen mendekati Seraphyne, ia mengusap bahu Seraphyne dengan lembut. "Aku tahu perasaanmu..."
...****************...
Desa Narathor masih diselimuti kabut pagi ketika seekor elang emas hinggap di atap rumah Ephyra. Rae yang sedang menggantung tanaman obat melihatnya lebih dulu, lalu tergesa memanggil ke dalam.
"Ephyra! Ada surat dari istana!"
Seraphyne melangkah dengan cepat menuju tempat Rae berada. Surat itu bersimbol cap lilin kerajaan—cap resmi dari Sang Raja sendiri.
Dengan jantung berdegup tak karuan, ia membuka surat itu. Isinya singkat, namun membawa beban besar:
Kepada Ephyra, penyembuh dari Narathor,
Demi perintah langsung dari Raja Eldrin, Engkau diminta datang ke Istana Helvarra dan menjabat sebagai Tabib Utama Kerajaan.
Kehadiranmu dibutuhkan secepatnya.
Tertanda,
Thalean, Penasihat Tinggi Istana.
Seraphyne menatap nama di bawah surat itu. Thalean. Ia mencengkram surat itu erat-erat, kepalanya dipenuhi keraguan. Lelaki itu... Kenapa kini dia menginginkannya berada begitu dekat dengan jantung kekuasaan?
“Aku tak percaya ini,” gumamnya pelan.
Maaren melirik dengan wajah khawatir, “Kau tidak harus pergi, jika itu membuatmu takut.”
Seraphyne tersenyum tipis. “Aku tidak takut, Mareen. Aku hanya tidak yakin... apakah ini pintu masuk atau jurang lain.”
Beberapa hari kemudian, Seraphyne mengenakan jubah putih dengan mata tertutup kain putih—menyembunyikan mata merahnya yang menandakan dia sebagai pemilik batu api. Bersama pengawalan resmi, ia menuju ibu kota—membawa Mareen dan juga Rae sedangkan Ramord dia tugaskan untuk menjaga Desa Narathor. Istana Helvarra berdiri megah seperti yang terakhir ia lihat dua abad lalu—bedanya, kali ini bukan sebagai ratu, melainkan sebagai penyembuh rakyat.
Sesampainya di aula utama, Thalean menyambutnya dengan senyuman yang terlalu lebar untuk disebut tulus. Pria itu tak terlihat tua—tubuhnya tetap tegap, mata tajamnya memeriksa setiap gerakan Seraphyne.
“Ephyra,” ucapnya, pura-pura ramah, “Selamat datang kembali ke tempat yang dulu sangat kau cintai.”
Seraphyne membalas dengan senyum hambar. “Terima kasih atas kehormatannya, penasihat.”
“Kau tahu kenapa aku membawamu ke sini?” tanya Thalean.
“Kau ingin aku menyembuhkan lebih banyak orang... atau mengawasi lebih dekat?” balasnya tenang.
Thalean mendekat dan berbisik, “Karena aku tahu siapa kau sebenarnya, Seraphyne. Dan cepat atau lambat, semua orang juga akan tahu.” ia tersenyum licik. "Aku juga menyiapkan hadiah spesial untukmu," lanjutnya.
"Panglima Alvaren." ucap Rae yang membuat Seraphyne langsung menoleh ke belakang. Benar. Alvaren berjalan menuju tempat mereka berada, terdapat kilatan kemarahan dari matanya.
Alvaren menggenggam tangan Seraphyne lalu membawanya ke belakang tubuhnya yang tegap dan gagah. "Aku tidak tahu apa tujuanmu membawa Penyembuh ke istana sebagai tabib utama, Thalean. Tapi jika kau berani menyakiti Ephyra, aku tidak akan tinggal diam!"
Thalean terkekeh kecil, lalu melirik Seraphyne di belakang Alvaren. "Menarik sekali. Apa hubungan kalian sudah sejauh ini, Ephyra?"
Di belakang sana, Seraphyne mengenalkan kedua tangannya. Jika saja ini bukan istana, dia sudah pasti membakar Thalean hidup-hidup.
"Kau tidak tahu apa-apa, Panglima Alvaren. Wanita di belakangmu.." Thalean menggantung ucapannya ketika melihat tangan Seraphyne. "Aku bisa meminta raja untuk menyiapkan pesta pernikahan kalian. Panglima perang utama dan tabib utama istana, kalian akan memegang kekuasaan besar di istana."
"Thalean!" bentak Seraphyne yang membuat Alvaren langsung menatapnya.
"Kau sudah melewati batas. Bukankah kau harus menyambut kedatanganku?"
"Ah, benar sekali. Mari, ikut aku." Thalean berjalan terlebih dahulu tapi Seraphyne masih diam disana. Dia lalu menatap Mareen dan Rae.
"Kalian pergilah dahulu, aku akan menyusul."
Tanpa bertanya atau membantah mereka segera menuruti perkataan Seraphyne. Kini hanya tersisa Alvaren dan Seraphyne di aula utama.
"Apa hubunganmu dengan Thalean? Ah, tidak. Bagaimana kau bisa mengenal Thalean?" tanya Alvaren. Ya, Seraphyne tahu pria di depannya pasti terkejut saat dia meneriaki nama Thalean.
"Aku menunggu kau mengingat semuanya.." lirih Seraphyne yang membuat Alvaren mengembuskan napas kasar.
"Ephyra.."
"Aku hampir gila dengan mimpi-mimpi yang menghantuiku setiap malam, aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku selalu memikirkan dan menghubungkan mimpiku, berharap aku bisa mendapat jawaban. Tapi mimpi itu hanya beberapa potong saja, Ephyra. Lalu batu dalam peti itu! Dia selalu bersinar saat aku menyentuhnya tapi aku sama sekali tidak mengingat apa-apa!" ucap Alvaren frustasi.
Seraphyne melepaskan tangannya dari tangan Alvaren. "Jika itu menyakitkan untukmu, maka berhentilah."
Setelah mengatakan hal itu, Seraphyne segera pergi meninggalkan Alvaren sendirian yang masih bergelut dengan pikirannya.