Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendekati Jelita
“Aku udah bilang belum,” ucap Rian pelan, nyaris berbisik, “kalau kamu mau… jadi istri aku?”
Jelita tak langsung menjawab.
Denyut jantungnya terasa terlalu keras terdengar di telinganya sendiri. Dunia di sekeliling seakan menyempit, menyisakan rak-rak buku, aroma kertas tua, dan genggaman tangan pria di depannya.
“Mas Rian…” suaranya nyaris tak keluar.
“Aku nggak lagi main-main,” sambung Rian, nadanya tetap lembut. “Aku datang jauh-jauh bukan cuma buat ngejar rasa takutku sendiri. Aku datang karena aku yakin.”
Ia sedikit mengeratkan genggaman, seolah ingin menenangkan gadis itu, bukan untuk menekannya.
Jelita sendiri tahu jika pria ini memang memiliki perasaan dengannya. Ditambah dengan kekonyolan yang ia lakukan kemarin di acara pertunangan adik sepupunya. Tapi tetap saja… Jelita merasa belum siap menerima semuanya.
“Aku tahu kamu kaget, Jelita. Tapi kalau kamu izinkan… aku mau jadi orang yang jalan bareng kamu. Aku mau jadi rumah untuk kamu. Pelan-pelan juga nggak apa-apa.”
Jelita menelan ludah. Matanya mulai berkaca-kaca, dan Rian bisa melihat keraguan disana.
Jelita menarik tangannya perlahan. Bukan menepis, hanya memberi jarak yang ia butuhkan untuk bernapas. Rian membiarkan, tidak memaksa, tidak juga mengejar. Ia hanya menunggu.
“Aku…” Jelita menggigit bibir bawahnya, matanya menunduk. “Aku nggak bisa langsung jawab.”
Rian mengangguk pelan. “Aku ngerti.”
Jelita bukannya tidak ada rasa. Justru karena ada terlalu banyak yang harus dipikirkannya.
Bayangan Nadya muncul di kepala Jelita tanpa diundang. Wajah perempuan itu, tatapan matanya yang tajam, kemunculannya yang tiba-tiba di ruang praktik, semuanya kembali berputar. Jelita tahu, memilih Rian bukan hanya tentang dua hati. Ada masa lalu yang belum sepenuhnya reda.
“Aku takut,” ucap Jelita akhirnya, jujur.
“Bukan sama kamu. Tapi sama akibatnya.”
Rian menatapnya penuh perhatian.
“Kalau Nadya tahu… kalau dia nggak terima…” suara Jelita melemah. “Aku nggak mau jadi alasan orang lain terluka. Aku juga nggak mau namaku jadi bahan omongan lagi.”
Ia menghembuskan napas panjang. “Kamu tahu sendiri kan gimana kampung. Sedikit aja salah paham, ceritanya bisa berubah seratus versi. Aku capek, Mas Rian.”
Rian terdiam sejenak. Ia menatap rak buku di hadapannya, menarik nafas panjang, lalu kembali menatap Jelita.
“Aku nggak bisa janji dunia bakal langsung tenang,” katanya jujur. “Aku juga nggak bisa nutup mulut semua orang.”
Jelita tersenyum pahit. “Itu dia.”
“Tapi aku bisa janji satu hal,” lanjut Rian, suaranya tegas namun tetap hangat. “Aku nggak akan biarin kamu hadapi itu sendirian. Kalau ada omongan, itu urusanku. Kalau ada yang nyalahin kamu, aku yang berdiri paling depan.”
Jelita menatap Rian, kali ini lebih lama. Ia bisa lihat ada ketulusan di sana, dan juga tanggung jawab, dan itu justru yang membuat hatinya semakin bergetar.
“Mas Rian…” ia menggeleng pelan. “Aku nggak mau hubungan yang bikin hidup orang lain berantakan.”
Rian mendekat sedikit, menjaga jarak yang sopan. “Aku juga nggak mau. Makanya aku datang baik-baik. Ke keluargamu. Ke hidupmu. Bukan sembunyi-sembunyi.”
Hening kembali menyelimuti mereka.
Di sudut ruangan, Zaidan masih sibuk dengan ponselnya, tak menyadari bahwa di lantai atas, di antara rak buku itu, kakaknya sedang bergulat dengan pilihan besar dalam hidupnya.
“Aku butuh waktu,” ujar Jelita akhirnya.
Rian tersenyum kecil. Bukan senyum kecewa, melainkan lega.
“Aku tunggu,” katanya singkat. “Selama yang kamu butuhkan.”
Jelita mengangguk pelan.
Dan di antara halaman-halaman buku yang sunyi, keraguan Jelita bertemu dengan kesabaran Rian, memang belum menjadi jawaban, tapi menurut pria itu, ini sudah menjadi awal.
“Jadi… jangan halangi aku untuk mendekatimu.”
*
*
*
Usai dari perpustakaan, mereka kembali masuk ke dalam mobil. Rian menyalakan mesin, lalu melirik ke arah kaca spion, memastikan Jelita sudah duduk dengan nyaman di jok belakang.
“Sekarang… makan siang,” ucap Rian sambil menarik tuas perseneling. “Mau ke mana?”
Rian sengaja memberikan kebebasan. Ia tidak ingin terlihat mengatur, apalagi hari ini terasa istimewa. Memang bukan kencan resmi, tapi juga bukan sekadar jalan biasa.
“Aku ikut aja,” jawab Jelita ringan, seperti biasa. Nada suaranya tenang, nyaris tanpa tuntutan.
Belum sempat Rian berpikir lebih jauh, Zaidan langsung menyambar.
“Kalau gitu, aku yang pilih,” katanya mantap.
Rian tersenyum kecil. “Boleh. Mau makan apa kamu?”
Zaidan mengangkat dagunya sedikit, lalu berkata dengan wajah serius yang dibuat-buat, “Karena aku lagi masa pertumbuhan, dan protein hewani sangat dibutuhkan oleh tubuh remaja ini, sepertinya makan perdagingan sangat dianjurkan.”
Hening satu detik.
Lalu Rian tertawa, cukup keras hingga bahunya ikut berguncang. “Kamu habis nonton video siapa sih, Dan?”
Jelita menghela napas panjang.
“Astaga… dari mana lagi kosa kata kamu itu?”
“Fakta ilmiah, Kak,” jawab Zaidan santai tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. “Google aja.”
Rian masih tersenyum. “Oke, Tuan Remaja Masa Pertumbuhan. Jadi maunya apa? Steak? Grill? Atau jangan-jangan all you can eat?”
Mata Zaidan langsung berbinar. Ia menurunkan ponselnya dan menatap Rian penuh harap. “Kalau all you can eat, itu namanya investasi jangka panjang.”
“Investasi apaan?” tanya Jelita curiga.
“Investasi tinggi badan dan kebahagiaan batin,” jawab Zaidan cepat.
Rian kembali tertawa. “Kamu ini cocoknya jadi politisi, Dan. Omongannya muter tapi meyakinkan.”
“Lah, Mas kan lurah. Masa kalah sama aku?” balas Zaidan tanpa dosa.
Jelita menutup wajahnya sebentar. “Ya Allah… beruntung Aqilla nggak ikut.”
Rian mengangguk setuju. “Kalau Aqilla ikut, mobil ini sudah jadi arena debat nasional.”
“Bukan debat,” koreksi Zaidan. “Perang dunia kecil.”
Akhirnya Rian membelokkan mobil ke arah sebuah restoran grill yang cukup ramai, tapi tidak terlalu bising.
Tempatnya nyaman, dengan nuansa hangat dan aroma daging panggang yang langsung menyambut ketika mereka turun dari mobil.
“Ini oke?” tanya Rian sambil melirik Jelita.
Jelita mengangguk. “Kelihatannya nyaman.”
“Dan bau proteinnya kuat,” tambah Zaidan penuh kepuasan.
Mereka berjalan masuk bersama. Rian melirik Jelita sekilas. Gadis itu tetap terlihat tenang seperti biasa. Tapi bagi Rian, inilah yang menjadi daya tarik wanita itu, hingga hatinya memilih.
“Pulang nanti, langsung bilang Ibu siap-siap buat hajatan.”
*****
Eh Pak Lurah, dijawab aja belum lamarannya, udah main hajat hajatan aja. Sabar pak luraaaah...
Jelita begitu disayangi oleh keluarga Bunga.
Gak sabar menunggu hari pernikahan Jelita dan Rian
Bahagia banget pak lurah😄
dramatisasi si fadi dan mama bunga cuma bisa tepok jidat....🤣🤣🤣🤣