Sepeninggal kedua orang tuanya, Dennis harus menggantungkan hidupnya pada seorang janda kaya bernama Vivianna. Sehari-harinya Dennis bekerja menjadi asisten pribadi Si Tante, termasuk mengurusi pekerjaan sampai ke keperluan kencan Tante Vivianna dengan berbagai pria.
Sampai akhirnya, Dennis mengetahui motif Si Tante yang sesungguhnya sampai rela mengurusi hidup Dennis termasuk ikut campur ke kehidupan cinta pemuda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Aku bisa tidur, tapi bangun pagi.
Aku membereskan gudang pukul 4 pagi. Karena butuh beberapa barang untuk kamarku.
Rumah ini tidak seluas rumahku, tetapi barangnya sangat mewah. Bahkan gudangnya banyak barang-barang berharga. Khas Old Money.
Aku menemukan buku silsilah, dan di generasi ke 6 ada nama Mohamed Hassan, memiliki istri sah 3 orang, dan istri yang tidak dinikahi beberapa orang. Ada 2 anak diluar nikah yang terdeteksi. Ditulis di sana Vivaldi Hassan dan Vivianna Hassan. Dari ibu seorang keturunan China yang namanya tidak tercantum.
Vivaldi ini mungkin nama kakaknya yang meninggal karena konflik itu.
Usia Tante Vivianna kalau dihitung dengan tahun sekarang sekitar 35. Lebih muda beberapa tahun dari ibu dan ayah.
Jadi seorang pria red flag yang punya banyak Harta dan Jabatan. Seorang Lurah ya kalau tak salah? Lurah di zaman dulu apakah memiliki harta yang cukup untuk menghidupi banyak istri dan anak? Kalau kehidupan Tante saat ini begitu mewah, ya jadi ini bukan Lurah biasa. Mungkin koneksinya banyak. Dilihat dari leluhurnya yang berkebangsaan Arab, mungkin imigran di Indonesia, bisa jadi dekat dengan para Raja-raja Nusantara.
Jelas saja Tante dan kakaknya dibenci saudara-saudara yang lain, karena mungkin Tante tetap kebagian harta. Seringkali seorang gundik lebih dicintai daripada istri sah. Miris memang.
Aku menemukan meja belajar dari kayu jati yang bisa kugunakan untuk belaj... ehm, main game. Juga kursi beroda yang tampaknya memang pasangannya.
Saat selesai mengangkut barang-barang ke kamarku, yang letaknya memang tidak jauh, masih di lantai dua juga, aku mendengar seseorang menyalakan kompor dilantai bawah.
Aku juga lapar, habis ngaduk-ngaduk gudang.
Jadi aku mencuci mukaku, sikat gigi, pakai drama pintu kamar mandi gedubrak karena belum kusatukan engselnya, dan turun ke bawah.
Yah, dia masih memakai kaos oblongku. Sedang menggoreng sesuatu di kompor membelakangiku.
Ia sempat menoleh sekilas untuk melihatku, lalu kembali fokus dengan pekerjaannya.
“Masak, sayang?” kembali kugoda dia sambil melintasi dapur dan duduk di meja makan untuk bikin kopi.
Aku disambut dengan helaan nafas. Kubalas dengan kekehan.
Bukannya dia nggak bisa masak ya? Ini kok terlihat terbiasa dengan sutil?
Kuperhatikan saja tingkahnya.
Ia meletakkan sepiring penuh chicken nugget di depanku dan mie goreng.
“Aku cuma bisa masak ini.” Desisnya. “Jadi nggak usah protes, yang penting nggak gosong.”
Dia bilang ‘aku’. Jadi rayuanku sudah diterimanya.
Aku semakin bingung dengan hubungan kami sekarang. Melejit dalam waktu hanya beberapa hari saja.
“Tante kan bisa bangunin aku kalau lapar.” Kataku.
“Ya paling kamu juga masak beginian, pagi-pagi buta begini nggak mungkin masak gurame asam-manis, kan?”
Aku terkekeh mendengarnya.
“Nggak masak nasi?” tanyaku.
“Astaga.” Gumamnya sambil menggelengkan kepala. Dia lupa. “Makan yang ada aja.” Desisnya.
Aku menyodorkan segelas teh hangat ke depannya.
Lalu menyeruput kopiku.
Kemarin saat di swalayan aku membeli kopi dan teh dari berbagai merek. Minuman manis saset juga kubeli beberapa bungkus. Karena dapur ini kosong. Dan kami tak mahir memasak, jadi lebih banyak makanan beku yang kami beli untuk persediaan kulkas.
Aku seakan pindah ke villa kosong yang pemilik sebelumnya meninggalkan barang-barang berantakan begitu saja.
“Kemarin kita lupa beli beras.” Kataku.
“Itu jadi urusan kamu ya.” Protesnya.
“Siap Tante.” Aku mengambil satu nugget dan memakannya sekali lahap. Masih juicy tapi tetap saja masakan olahan ya begitu-begitu saja rasanya. Ini sih bisa kuhabiskan satu piring sendiri.
“Jadi kita sahur nih? Aku nggak bisa cium kamu dong? Harus tunggu maghrib.” Tanyaku kembali menggodanya.
“Dennis...” keluhnya. Ia tampak menatapku dengan wajahnya yang lelah. “Hentikan. Kalau kamu bercanda, ini nggak lucu.”
“Kenapa? Aku terlalu frontal?”
“Ya!” ia menunjukku dengan tegas. “Bahkan pipi kamu masih memar! Udah lemes aja mulutmu! Sifat kamu yang seperti ini, siapa saja yang tahu?!”
“Tebak?” tantangku.
“Hanya aku dan pacar-pacar kamu, pasti.” nada suaranya seakan mengeluh.
“Pintar juga Tante. Pengalamannya banyak sih.”
“Aku pacaran untuk menikah, untuk cinta. Kalau kamu untuk mainan, pelampiasan.” Kukunya yang panjang mengetuk-ngetuk permukaan meja. “dan aku bukan mainan. Aku ini wali kamu. Awas kamu macam-macam denganku.”
Aku mengangkat tanganku, tanda menyerah.
Dia bilang begitu, tapi dia tak bisa tidur. Terlihat sekali dari wajahnya yang capek dan gerak tubuhnya kurang terkoordinir, yang seakan tak tahu harus melakukan apa
Entah kenapa, aku suka penampilannya yang ini. Terlihat lebih wanita, lebih bersahaja. Dibandingkan dengan sosok yang selalu mengangkat dagunya dan berusaha mengontrol semuanya, berlagak superior.
“Kematian kedua orang tuaku membuatku tidak ingin bermain-main lagi, Tante.” Aku menyeruput kopiku.
“Dennis, kita berdua sudah tak memiliki siapa-siapa.” Ia menggenggam tanganku, “Sementara hubungan cinta bisa saja memutus tali silaturahmi, pun sudah menikah. Aku tak ingin sendirian lagi, Dennis. Hubungan Tante dan Keponakan sudah yang paling tepat.”
Lucu.
Dia menolakku tapi tidak terang-terangan.
Dari kalimatnya aku bisa berasumsi, dia memiliki perasaan padaku namun terhalang sesuatu. Bisa jadi usia, kehormatan, atau pun rasa traumatis.
“Hehe.” Aku pun terkekeh karena puas, berhasil membuatnya tak bisa tidur karena godaanku. “Apa sebenarnya yang membuat kamu mengizinkanku tinggal di rumah ini? Hubungan normal Tante dan Keponakannya tidak seperti ini, Tante. Apalagi Tante perempuan, tinggal sendirian. Aku bisa jadi ancaman terhadap kehidupan tenang Tante. Walau pun Tante terbiasa dengan laki-laki.”
“Kamu amanah-“
“Bohong.” Aku menyudutkannya.
“Ya memang benar!” Dia protes.
“Tapi motif Tante bukan itu. Bukan hanya karena aku sekedar Amanah Ayah.”
Raut wajah Tante Vivianna semakin tegang.
“Tunggu...” Aku menunjuknya karena terbesit suatu dugaan konyol. “Aku bukan... anak Tante kan? Yang sering ada plot twist di novel-novel-“
“Ya bukan lah Denniiiiis!” semburnya. “Kamu mikirnya kejauhan!”
Aku ngakak. Sekaligus lega sih.
“Yah... yang manapun motif tante, kuharap tidak membahayakanku.” Kataku sambil mengambil garpu untuk mulai menyantap mie gorengku.
Yang namanya mie instan goreng ya rasanya begini-begini saja. Tapi yang membuatnya berbeda, yang ini terasa lebih legit karena pembuatnya hanya memakai kaos oblong putih tipis dengan bagian dada terceplak jelas, berusaha menggodaku dengan posturnya yang seksi itu.
Entah dia terlalu mempercayaiku sehingga merasa tidak perlu melindungi dirinya atau memang dia ingin membuatku terbujuk.
“Memangnya... motif apa yang kamu perkirakan?” ia bertanya padaku, seakan ingin memancingku duluan sebelum ia mengakui motifnya yang sebenarnya.
“Jangan tersinggung, tapi.” Kataku.
“Aku coba tidak tersinggung.” Ia mengangkat bahunya, “Paling banter ya tamparan maut di pipi kamu yang satu lagi.”
Aku menyeringai.
“Oke, pertama, aku ini tumbal pesugihan.” Aku menyebutkan dugaanku.
Dia gebrak meja, “Anak kurang ajar.” Gumamnya.
“Kedua, kamu suka ayahku, dan aku adalah penggantinya.” Dugaan keduaku.
“Wajah kamu lebih mirip Rahayu, nggak mungkin dong aku anggap kamu pengganti Doni. Melihat wajahmu saja hatiku terasa perih, Dennis!” ia kembali sewot menghadapiku.
“Ya udah nggak usah gebrak meja lagi, nanti jari kamu perih.” Aku mencegahnya dengan mencengkeram jemarinya.
Aku semakin suka menggenggam tangannya yang kurus ini, terasa lembut dan halus sekali.
“Tapi Doni memang menyerahkan kamu untuk jadi penjagaku, menggantikannya.” Ia mulai bicara. “Tadinya, malah, kamu akan dititipkan padaku sembari kuliah. Agar Doni dapat lebih fokus ke Rahayu, sementara kamu bisa menjagaku. Aku juga tahu, Dennis, kamu sering jadi sasaran kemarahan ibumu saat mereka bertengkar gara-gara Rahayu terlalu cemburuan. Semakin lama, Doni bilang kalau kamu semakin tidak bisa mengontrol emosi saat Rahayu memakimu, sehingga ia ingin memisahkan kamu dari rumah itu.”
Ah, ini dia. Ayahku itu selalu saja ingin melindungiku. Diam-diam dia memperhatikanku, bahkan jauh lebih dalam dibandingkan ibuku yang sehari-harinya di rumah. Bahkan di saat terakhirnya, ia melindungiku dari ibu.
“Aku sudah berusaha menyingkirkan ingatan saat ibuku marah-marah. Yang tersisa di otakku sekarang adalah sifat baiknya.” Kataku.
Setidaknya, aku berusaha.
Walau pun memang selalu saja ada kondisi yang membuatku terbayang saat ibuku menangis, atau lempar-lempar barang padaku dan ayah.
Hanya itu yang membuatnya merasa lega.
Jadi kami diam saja diperlakukan begitu.
Toh, kami tidak apa-apa, luka yang diakibatkan juga tidak fatal. Kalau itu bisa membuat Ibuku merasa lebih tenang, apa pun akan kami lakukan.
“Kamu dan Doni sama saja.” Ia membuang muka dariku, seakan ngambek dan merajuk. “Rahayu Rahayu dan Rahayu. Apa pun selalu mengenai Rahayu. Bahkan saat dia sudah tak ada, aku direpotkan olehnya. Dan duplikatnya yang sekarang duduk di depanku ini, berusaha memperkosaku tadi malam.”
Aku mendengus sinis.
Kini aku mengerti... kenapa dia menampungku di sini.
Iri hati.
Dia ingin seperti Rahayu. Ibuku.
Yang walau pun cenderung memiliki gangguan mental, tapi tetap diperhatikan orang sekitarnya, tetap dicintai, tetap disayangi. Sesuatu yang Tante Vivianna tidak pernah dapatkan.
Bahkan dari suaminya.
Bahkan dari kakaknya, Vivaldi.
Kedua orang itu yang ia harapkan bisa saling menyayangi, bisa saling melindungi, malah keduanya pergi duluan ke alam baka.
Lagi-lagi Tante Vivianna sendirian.
Di saat ia bergantung pada ayahku, ayahku tetap memprioritaskan ibuku.
Spekulasiku dia ini... menampungku karena ingin mengintimidasiku. Aku yang mirip ‘Rahayu’ ini, ingin dibuatnya bersimpuh di kakinya.
Ingin dibuatnya ketergantungan padanya.
Namun kini, hari ini, ia sadar kalau ia tidak akan bisa menyaingi Rahayu.
Karena... ‘Rahayu’ yang kini berada di depannya ini, yang sedang makan mie goreng ini, malah membalik keadaan dengan membuatnya-
“Aku suka kamu.” Desisnya. Pelan, tapi masih bisa kudengar.
“Sejak pertama aku melihatmu. Saat kamu di rumah sakit Polri, diam berdiri bersandar menghadap jendela. Aku ke sana untuk membantu identifikasi, kita saling bertatapan saat itu. Ingatkah kamu?” suara Tante Vivianna gemetar.
Aku pun menggeleng,
Aku tidak ingat sama sekali pernah bertemu dengannya.
Tapi posisiku saat di RS Polri itu memang benar, aku saat itu mencari tempat untuk bisa berpikir sendirian, karena sedang berusaha menelaah yang terjadi.
“Aku ingat jelas tatapanmu itu. Menyebalkan. Kamu menatapku seakan aku ini sampah. Kamu melihatku dari atas ke bawah, lalu mendengus dan langsung buang muka! Kamu ingat tidak?!” suara Tante Vivianna terdengar meninggi
“Tidak.” Jawabku seadanya.
“Bagaimana bisa kamu tidak mengingatku? Aku yang sangat mencolok ini? Orang bisa dua kali menatapku bolak-balik tapi bahkan kamu tidak ingat?!” ia berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke arahku, seakan sedang menekanku.
“Tidak ingat. Kalau pun ingat, apa gunanya?” tanyaku. Masih tetap mode santai karena perut ini sudah kenyang.
“Aku akan membalas kesombonganmu itu.” Ia menunjukku.
“Siapa menuduh siapa.” Desisku sambil terkekeh. “Tapi yah, tak apa.” Aku menyeruput kopiku lagi. Lalu berdiri dan...
Aku berniat menjahilinya lagi.
Aku suka kalau dia salah tingkah.
Si Ratu yang selalu ingin di Ratukan.
Tapi saat ku Ratukan ia malah malu-malu.
Aku berlutut di depannya, lalu kuraih tangannya dan kukecup punggung tangannya perlahan. “Aku yang sombong ini, akan bersimpuh di depanmu. Kamu Majikanku, aku hambamu. Apa pun yang kamu perintahkan, akan kuusahakan terkabul, semampu-ku tapi.”
Kalau aku tak malas. Kutambahkan dalam hati.
Kan... telinganya langsung merah.
Ia menarik tangannya dan buang muka.
“Bercanda terus...” gerutunya sambil kembali duduk menghadap meja makan.
“Apa paduka Ratu mau saya suapin makan?” tawarku sambil menunduk.
Ia mendorong wajahku menjauh, “Nggak usah! Kamu siapin keperluan saya, sana! Hari ini saya ada meeting sama 9 Naga untuk bla bla bla ,kamu siapkan baju bla bla bla dan sepatu cadangan kamu simpan di mobil, jangan lupa alat rias saya bla bla bla...!” dan dia pun nyerocos panjang lebar.
Yang jelas aku tak ingat detailnya satu per satu.
Tapi kayaknya dia juga tak bakal ingat kalau kuminta mengulang.
Ia hanya bicara untuk menyembunyikan rasa malunya karena kurayu.
memancing di danau keruh
dan boom dapat ikan 🤣😂
ngerti kebiasaAne othor yg maha segala