NovelToon NovelToon
Revano

Revano

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Sari Rusida

"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"

Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18

"Van."

Revano menoleh ke arah Dimas yang kini tengah menatapnya. Menaikkan sebelah alis dengan ekspresi bertanya. Dimas mengajak Revano duduk di kursi teras. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada Revano.

"Kenapa kamu bisa jadi bodyguard Risya?" tanya Dimas dengan tatapan serius.

Revano terdiam. Sebenarnya tidak masalah jika harus menceritakannya pada Dimas. Ini Dimas, bukan Putra. Jika Putra adalah majikannya, Dimas adalah sahabatnya.

"Kamu ada masalah sama Om Tama? Cerita sama aku, Van. Kamu masih anggap aku sahabat kamu, 'kan?" tanya Dimas kembali, setelah tidak mendapat respon dari Revano.

"Aku terpaksa kabur." Revano membuang muka, menatap ke depan.

"Kabur? Tapi kenapa?" Dimas membolakan matanya, menatap Revano tidak percaya.

"Kamu tahu kan kalau Papa--"

"Mafia. Itu alasan kamu kabur, Van?" Dimas masih menatap Revano tidak percaya. Dia menyugar rambutnya kasar.

"Aku nggak pernah suka, Dim. Kamu tahu itu."

"Tapi kenapa harus kabur, Van? Kamu lihat? Sekarang kamu jadi bodyguard. Jadi orang yang dulu selalu kita kerjain saat kamu diikuti, dikawal," ucap Dimas.

Revano terdiam, teringat masa lalunya bersama Dimas. Dimas adalah sahabatnya sedari SMP. Enam tahun mereka sekolah di tempat yang sama, dan selalu bersama.

Dulu, saat Revano selalu dikawal oleh bodyguardnya Tama, Dimas akan selalu menjaili bodyguard tersebut. Itu menjadi mainan terbaik bagi Dimas, pun bagi Revano.

"Itu bukan alasan yang tepat untuk kabur, Van," Dimas kembali bersuara.

"Aku diminta menjalankan bisnis itu, Dim." Revano sama sekali tidak menoleh ke arah Dimas. Pandangannya tetap ke depan.

"M-menjalankan?" Dimas bertanya, terbata.

Revano mengangguk. "Kenyataan tentang Papa adalah mafia aja membuatku membencinya, Dim. Apalagi dia memintaku menjalani bisnis itu. Untuk apa pun, aku lebih bahagia hidup seperti ini. Sederhana."

Dimas terdiam, sesekali bergumam. Dia memang sudah menduga kalau Revano akan menjadi pewaris bisnis itu. Tapi, setelah dipikir-pikir, bukannya ada Reno? Bisa saja Reno yang menjadi penerusnya, bukan?

"Papa menunjukku, bukan Reno." Seperti tahu apa yang difikirkan Dimas, Revano menjelaskan.

"Kamu bisa minta Om Tama untuk menjadikan Reno atau Rifki menjadi penerusnya, Van. Nggak harus kabur-kaburan begini," ucap Dimas.

Revano terdiam.

"Papa menjodohkan aku, Dim." Revano kembali bersuara setelah tadi terdiam sebentar.

"D-dijodohkan?" Revano mengangguk.

Duk!

Risya berdiri di ambang pintu saat Revano mengatakan dijodohkan, begitu pun saat Dimas mengulang pernyataan tersebut.

Badannya Risya menabrak daun pintu yang tertutup setengahnya, menimbulkan bunyi yang membuat Revano dan Dimas menoleh ke arahnya, berdiri.

"M-maaf, aku nggak berniat ganggu. Aku masuk dulu." Risya langsung berlari ke dalam setelah meletakkan nampan berisi martabak di meja kecil yang membatasi tempat duduk Revano dan Dimas tadi.

Sebenarnya Risya keluar hanya ingin memberikan martabak pemberian Dimas --yang dikira dari Revano. Pikirnya, mungkin kalau Revano dan Dimas makan sambil bercakap, itu lebih seru.

Tapi apa yang dia dapat? Dia mendengar Revano mengatakan sudah dijodohkan oleh Papanya --yang Risya sendiri tidak kenal siapa. Lagi, Dimas bertanya dan kembali disahut anggukan oleh Revano.

Untunglah Revano memberikan jeda saat sebelum memberikan pernyataan pada Dimas. Jadi Risya tidak mendengar percakapan lain, selain perjodohan Revano dengan seseorang itu.

"Risya!"

Takut Risya mendengar lebih, Revano berniat mengejar Risya ke dalam. Tangan Dimas yang mencekalnya menghentikan kegiatan Revano untuk lari.

"Lepas, Dim!"

"Kamu mau apa? Ngejar Risya? Buat apa? Takut dia cemburu?" Wajah Dimas memerah. Dia kesal, dia marah, dia cemburu pada sahabatnya ini. Perubahan wajah Risya terlihat jelas di matanya.

"Kamu apa-apaan sih, Dim! Kalau Risya denger gimana? Aku udah nutup ini dari awal, tentang identitas aku. Tentang siapa aku sebenarnya! Kalau Risya tahu gimana?!" Revano ikut emosi dengan pertanyaan Dimas.

Untunglah Nadia tengah keluar siang ini. Jadi, di rumah ini hanya ada mereka bertiga --Risya, Revano, dan Dimas. Dita juga keluar.

"Dia nggak akan denger!" Dimas membantah.

"Dia denger, Dimas! Dia lari karena denger!" Revank berteriak, marah.

"Dia nggak akan denger, Revano!"

"Dia lari karena dia denger, Dimas. Dia tahu aku anak mafia! Setelah itu dia akan cerita ke Pak Putra, membeberkan semuanya! Setelah itu mereka semua tahu aku anak mafia!"

"Dia lari karena tahu kamu dijodohkan, Revano! Dia nggak denger apa-apa selain perjodohan kamu tadi! Dia cemburu karena tahu kamu udah dijodohkan!" Dimas mendorong bahu Revano kuat, sampai Revano kini terdesak antara dinding dan dirinya.

"Kamu tahu, Van! Aku nampak jelas raut wajahnya! Dia cemburu! Dia nggak suka kamu dijodohin! Kamu denger, hah?!"

Dimas menjauh dari sana setelah mencengkeram kerah baju Revano. Dia kesal, dia marah. Raut wajah itu, dia bisa mengartikan perubahan wajah Risya saat pertama ia datang dan setelah mendengar berita perjodohan itu.

Aslinya, Dimas cemburu pada Revano. Dari awal dia datang ke sana, bertemu pertama kali secara langsung pada Risya, sekaligus pada Revano. Dimas sudah cemburu, dia melihat kedekatan antara Risya dan Dimas.

Astaga. Revano menyadari sesuatu. Dia sudah membuat sahabatnya marah, kecewa. Dia memang tidak tahu betul arti wajah sendu Risya tadi. Yang baru dia sadari, sahabatnya kini tengah marah padanya.

***

Dua hari setelah kejadian di teras. Dimas tidak ada tanda-tanda akan kembali berkunjung ke rumah Bagas, untuk menemui Risya atau pun Revano.

Risya pun menunjukkan tanda-tanda menjauhi Revano, menjaga jarak. Memberikan batasan bahwa dia dan Revano berbeda. Revano hanya bodyguardnya, tidak lebih.

"Besok kalian pulang, bukan?" Putra bertanya, membuka percakapan di meja makan waktu sarapan.

"Iya, Om," Dita menjawab. Melirik Risya yang tidak merespon. Sahabatnya ini setelah ia perhatikan, dua hari terakhir sepertinya lebih banyak diam.

"Tugas kalian bukannya akan dikumpulkan besok? Mengambil penerbangan malam aja, biar besok udah ada di Surabaya," ucap Bagas memberi saran.

"Iya." Risya mengambil air minum, kemudian meneguknya. Setelah itu beranjak dari sana tanpa mengucapkan apa pun.

"Risya kenapa, Dit?" Nadia bertanya, membereskan piring bekas sarapan.

"Nggak tahu, Kak. Dua hari terakhir murung terus. Biar Dita samperin," ucap Dita sambil berdiri dari duduknya.

Setelah sampai di kamar, Risya terlihat berdiri di depan meja rias. Gadis itu sepertinya tengah memperhatikan dirinya di sana, sampai tak menyadari kehadiran Dita.

"Udah cantik, kenapa lihatinnya segitu banget, sih." Dita berjalan mendekati Risya, sedikit menggoda.

Seperti memang tidak menyadari kehadiran Dita, Risya sedikit terlonjak ketika mendengar suara Dita tadi. Sedikit salah tingkah kemudian berjalan menuju ranjangnya.

"Kamu kenapa, Ris? Ada masalah? Cerita sama aku," ucap Dita ikut duduk di sebelah Risya.

"Aku?" Risya menunjuk dirinya. "Aku baik-baik aja. Memangnya aku kenapa?"

"Ditanya malah balik nanyak. Kamu ini berubah banget dua hari terakhir," ucap Dita sambil memukul pelan paha Risya.

"Berubah gimana? Biasa aja, tuh." Risya berdiri dari duduknya kemudian berjalan menuju balkon kamarnya.

Kebetulan, kamar Risya dan Dita bersebelahan dengan kamar Revano. Ketika Risya keluar dari kamar dan menuju ke balkon, gadis itu mendapati Revano juga tengah berdiri di balkon kamarnya.

"Ya kamu berubah, Ris. Sering diem ..." Dita yang mengikuti langkah Risya jadi berhenti di pintu yang berada di antara balkon dan kamarnya. Dilihatnya Risya tengah termenung dengan tatapan ke arah Revano.

'Biasanya kalau ketemu Revano, Risya langsung heboh. Kenapa sekarang diem aja?' batin Dita bertanya.

"Revano!" Dita berteriak, membuat Revano menoleh ke arahnya, juga Risya yang menoleh pada Dita, "Risya mau bicara berdua!"

Risya membolakan matanya. Siapa yang bilang dia mau bicara pada Revano? Lihatlah. Revano yang tadinya menghadap lurus ke depan, kini berjalan menuju sisi balkon di kamar Risya, menunggu Risya yang ingin mengatakan sesuatu.

Risya menatap Dita, melolot. Aku nggak mau bicara sama dia. Begitulah arti tatapan Risya pada Dita.

Namun, Dita acuh. Feeling-nya sebagai sahabat Risya mengatakan kalau Risya memang lagi bermasalah dengan Revano. Masalah apa, Dita bisa mencari tahu nanti.

"Cepet ngomong. Aku mau keluar dulu, ada janji sama seseorang." Dita mengedipkan matanya, menggoda.

"Aku nggak mau ngomong apa-apa," ucap Risya juga ikut masuk kembali ke kamar, menutup pintu balkon.

"Kenapa ditutup?" tanya Dita sambil menatap Risya heran.

"Udah. Kamu pergi aja sana. Ganggu aku tahu nggak. Aku lagi pengen sendiri," ucap Risya sambil mendorong Dita keluar dari kamar.

"Tapi kamu ..." Dita belum menyelesaikan ucapannya, karena pintu kamar Revano --yang berada di sebelah kamar mereka-- terbuka.

Kedua gadis itu menoleh bersamaan. Melihat sosok Revano keluar dari kamarnya.

"Aku pergi dulu. Byee ..." Dita melambaikan tangannya pada Risya.

Risya berniat menutup pintunya kembali. Tapi belum sempat tubuh gadis itu sempurna masuk ke dalam, tangan kekar seseorang menarik pergelangan tangannya hingga Risya kembali mundur dan menghadap seseorang itu.

"Mau jalan-jalan?" tanya Revano dengan nada datar, seperti biasa.

"Nggak." Belum sempat Risya menyelesaikan ucapannya, Revano sudah kembali menarik tangan Risya.

Mau memberontak, tapi Nadia ada di rumah. Takutnya nanti Revano disangka ngapa-ngapain Risya.

***

Revano membawa Risya ke dufan. Setelah keluar dari rumah, sebenarnya Risya sudah memberontak untuk ikut. Pun setelah berada di dalam mobil. Namun itulah Revano, diam terus setiap ditanya, apalagi sama Risya.

"Anda mau naik apa?" Revano bertanya saat sudah berada di dalam area dufan.

Risya bergeming, tidak berniat menjawab.

"Kamu mau naik apa?" Kali ini Revano bertanya dengan nada lembut, menggunakan kata kamu.

Risya menoleh, dan mendapati Revano yang menatapnya dengan tatapan yang biasanya datar, kini sedikit melunak.

"Mau naik halilintar kereta luncur?" tanya Revano sambil menunjuk wahana yang terlihat tidak jauh dari sana.

Seperti terhipnotis, Risya mengangguk. Satu hal yang dia lupakan. Risya sebenarnya takut menaiki wahana ekstrim bernama halilintar tersebut.

Setelah menaiki wahana tersebut --sudah memakai sabuk pengaman, Risya baru sadar ia sedang berada di dalam wahana yang tidak pernah ia bayangkan akan menaikinya saat ini.

Melihat perubahan wajah Risya, Revano ragu-ragu menggenggam tangan Risya, berucap lirih, "Jangan takut, ini seru."

Demi melihat senyum Revano yang jarang sekali ia lihat, Risya mengangguk, membalas genggaman tangan Revano.

***

Risya tertawa bebas kala menikmati wahana ketujuh yang mereka naiki hari ini. Revano mengajak Risya untuk membeli minuman di salah satu pedagang yang ada di sana.

"Ini, Pan." Risya menyodorkan minuman itu pada Revano.

Revano meletakkan handphone-nya di saku, menerima uluran tangan Risya. "Terimakasih."

Risya mengangguk, tersenyum. Lihatlah. Gadis itu kini tersenyum. Senyum yang manis, yang baru Revano ketahui. Senyum yang ternyata Revano rindukan dua hari terakhir.

"Jangan berubah ya, Pan. Apa pun yang terjadi, kamu tetep harus jadi Epan," Risya berucap lirih, sangat lirih.

Demi memastikan ucapan Risya, Revano terdiam sebentar. Kurang mengerti dengan ucapan Risya.

"Maksud aku, jangan dingin lagi sama aku. Ngomongnya nggak boleh terlalu formal, pakek aku kamu aja. Kata kamu kan, kamu temenku." Risya tersenyum memukul pelan lengan Revano.

Revano ikut tersenyum, tipis.

"Janji?" Risya menyodorkan jari kelingkingnya.

Revano mengangkat sebelah alis, bingung.

"Janji kalau ngomong sama aku nggak pakek bahasa yang formal?" ucap Risya masih menyodorkan jari telunjuknya.

"Kalau berdua nggak pa-pa. Tapi kalau ada orang lain, Papa kamu misalnya, kita seperti biasa," ucap Revano menautkan jari kelingkingnya dengan milik Risya.

"Janji lho, ya. Laki-laki yang gentle, yang dipegang janjinya," ucap Risya sambil tersenyum.

"Insya Allah," gumam Revano. Kembali ia berfikir, apa yang dikatakan Dimas dua hari lalu benar?

•••••

Bersambung

1
Roxanne MA
keren thor aku suka
Roxanne MA
lucu banget jadi cemburuan gini
Roxanne MA
bagus banget ceritanya ka
Nami/Namiko
Emosinya terasa begitu dalam dan nyata. 😢❤️
Gohan
Bikin baper, deh!
Pacar_piliks
iihh suka sama narasi yang diselipin humor kayak gini
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!