“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Tangan Risa cekatan melayani pelanggan. Ayam bakar satu, es buah dua, sambal dipisah.
Suara kompor mendesis, asap harum mengepul, dan suara riuh pasien serta keluarga yang mampir mengisi siang itu.
Hingga...
Suara berita dari TV kecil di pojok kedai memecah semua kesibukan.
“Breaking News. Telah terjadi kecelakaan pesawat rute London–Jakarta. Pesawat jatuh di area perairan dekat Laut Mediterania. Hingga saat ini, pihak maskapai belum merilis daftar nama awak dan penumpang secara resmi…”
Risa berhenti seketika. Piring yang ia pegang terlepas dari genggaman. Pecah berhamburan.
“Ma… mas Aditya…” gumamnya dengan suara hampir tak terdengar.
Tangannya gemetar, kakinya lunglai. Dunia seolah berhenti berputar.
"Ris! Risa!" suara Stefanus terdengar dari kejauhan saat ia baru turun dari motor dan melihat wajah Risa yang pucat seperti tak bernyawa.
Risa menoleh pelan. Pandangannya kabur. Jantungnya berdetak cepat. Napasnya tersengal.
"Mas Aditya… dia…"
Dan sebelum Stefanus sempat menangkap tubuhnya, Risa sudah jatuh ke lantai. Pingsan.
Tanpa berpikir panjang, Stefanus segera membopong tubuh Risa yang lunglai.
“Bu Ratmi !Tolong jaga kedainya dulu!” teriaknya panik sambil membawa Risa keluar dari kerumunan pelanggan yang mulai heboh mendengar berita kecelakaan pesawat.
Tubuh Risa dingin dan lemas di pelukannya, wajahnya pucat pasi.
Stefanus memacu langkahnya menuju rumah sakit hanya beberapa meter dari kedai.
Para perawat yang melihat langsung sigap menghampiri.
“Pingsan. Kemungkinan syok berat. Tolong segera periksa tekanan darah dan kondisinya!” perintah salah satu dokter jaga.
Stefanus berdiri gelisah di luar ruang periksa. Tangannya mengepal.
Matanya terus menatap layar ponsel, mencari kabar terbaru tentang pesawat yang jatuh. Tapi tidak ada satu pun yang menyebutkan nama Aditya.
“Tuhan, semoga bukan dia…” bisiknya pelan, penuh doa.
Beberapa menit kemudian, perawat keluar dari ruang periksa.
“Dia masih belum sadar. Tapi kondisinya stabil. Anda keluarga?”
Stefanus mengangguk cepat. “Sahabat. Tapi bisa saya jaga dia?”
“Boleh. Tapi tolong jangan beri tekanan saat dia sadar.”
Stefanus mengangguk lagi, lalu masuk ke ruangan. Ia duduk di samping ranjang, menatap wajah Risa yang masih terbaring lemah.
“Kamu harus kuat, Ris. Jangan dulu percaya berita itu...”
Cahaya remang dari lampu rumah sakit membuat suasana makin sunyi.
Risa perlahan membuka matanya. Nafasnya berat, dan pandangannya sedikit kabur.
“Ris... kamu sudah sadar?” suara Stefanus terdengar lembut, penuh kelegaan.
Risa menoleh perlahan. Matanya langsung basah.
“Mas Aditya…”
“Berita itu belum pasti. Belum ada nama-nama—”
“Aku harus ke bandara,” potong Risa dengan suara lemah, tapi pasti.
“Aku harus tahu langsung. Aku nggak bisa duduk diam menunggu…”
Stefanus ragu. “Tapi kamu baru saja pingsan.”
“Aku mohon, Stef....”
Melihat air mata dan keteguhan Risa, Stefanus tak kuasa menolak. Ia mengangguk pelan.
“Oke. Aku antar kamu.”
Tak butuh waktu lama, mereka sudah di dalam mobil. Hening menemani perjalanan.
Di dalam dadanya, Risa menahan tangis, menahan ketakutan terburuk dalam hidupnya.
“Mas Adit… tolong kamu selamat ya…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Stefanus menatap jalan, menambah kecepatan.
“Bertahanlah, Ris. Kita akan cari tahu segalanya…”
Bandara dipenuhi oleh tangis, suara bergetar, dan langkah-langkah gelisah.
Puluhan keluarga korban berkumpul di dekat meja informasi, wajah-wajah cemas dan mata sembab tak bisa disembunyikan.
Risa dan Stefanus tiba, dan segera terdorong dalam arus kecemasan massal.
Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel, berharap satu pesan dari Aditya… tapi tetap kosong.
“Kami minta kejelasan!” teriak seorang wanita di depan petugas maskapai.
“Tolong... berikan kami daftar penumpang!” sambung seorang pria paruh baya, suaranya pecah oleh tangis.
Petugas dari pihak maskapai mencoba menenangkan situasi.
“Kami mohon tenang. Kami masih menunggu kabar resmi dari tim SAR. Pihak kami sedang berkoordinasi dengan otoritas penerbangan dan kepolisian. Harap bersabar.”
Namun tak ada kata yang cukup untuk menenangkan hati para keluarga yang sedang menunggu kabar hidup atau mati.
Risa terduduk lemas di kursi tunggu. Stefanus berdiri di sampingnya, satu tangan menepuk pundaknya dengan lembut.
“Ris, kamu kuat. Apa pun yang terjadi, aku di sini.”
Risa memandang lurus ke arah gerbang kedatangan yang kosong. Hatinya seperti diremas.
“Aku cuma mau tahu dia hidup. Itu saja…” bisiknya lirih, dan air matanya pun tak bisa lagi tertahan.
Waktu terasa membeku. Risa duduk diam di kursi tunggu bandara, matanya kosong menatap lantai yang mengkilap, namun pikirannya dipenuhi bayangan Aditya.
Stefanus duduk di sampingnya, tak banyak bicara. Ia tahu, tak ada kata yang mampu menghapus kekhawatiran Risa malam itu.
“Air matamu belum berhenti sejak kita sampai tadi,” gumam Stefanus pelan, mencoba membuka percakapan.
Risa hanya menggeleng. “Aku nggak bisa berhenti, Stef. Setiap detik aku cuma mikir… gimana kalau Mas Adit…”
“Jangan pikir yang buruk dulu,” potong Stefanus cepat, “Belum ada kabar pasti. Kita tunggu, ya?”
Seseorang dari maskapai berdiri di depan para keluarga yang telah berkumpul. Risa dan Stefanus pun berdiri, berdesakan dengan orang-orang lain.
“Kami masih terus melakukan pencarian. Posisi pesawat sudah ditemukan, namun kami belum bisa merilis daftar nama penumpang yang selamat. Kami mohon doa dan kesabaran dari pihak keluarga.”
Suasana kembali gaduh. Tangis meledak. Beberapa jatuh terduduk, tak kuat menahan beban harapan.
Stefanus menarik napas panjang. “Ris, kamu harus kuat. Kalau Adit selamat, dia pasti juga lagi mikirin kamu sekarang.”
Risa menatap Stefanus. “Aku cuma mau dia pulang…”
Sudah 24 jam berlalu. Bandara kini lebih sepi, namun ketegangan masih terasa menusuk.
Wajah-wajah penuh harap kini berganti dengan lelah dan ketakutan yang memuncak.
Seorang petugas maskapai naik ke podium kecil di dekat ruang informasi, membawa selembar kertas panjang.
“Kami telah menerima konfirmasi dari tim SAR. Dengan sangat berat hati kami umumkan bahwa seluruh penumpang dalam penerbangan AR-709 dinyatakan meninggal dunia.”
Tangis langsung pecah serentak. Jeritan, pelukan, tubuh-tubuh yang limbung.
Dunia seperti runtuh dalam sekejap bagi keluarga yang menanti.
Risa menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya bergetar hebat.
“T-tidak... Tidak mungkin...” bisiknya.
Stefanus langsung menangkap tubuh Risa yang ambruk, tubuhnya tak lagi mampu menahan kenyataan itu.
“Risa, napas dulu... napas...” Stefanus panik, berusaha menenangkan sambil memeluknya erat.
“Dia janji mau pulang... dia janji... dia cium keningku... aku belum sempat bilang aku mulai menyayanginya...” isaknya keras.
Air mata Stefanus ikut jatuh. Bukan hanya karena duka atas Aditya, tetapi karena ia tahu luka Risa malam itu akan menetap lama di hati perempuan yang mulai mencintai suaminya dalam diam.
Tak ada peti mati. Tak ada jasad yang bisa dipulangkan. Hanya sehelai sertifikat kematian dan potongan kecil barang-barang pribadi yang berhasil ditemukan.
Bandara menjadi saksi duka yang tak berwujud, duka yang menggantung tanpa bentuk.
Saat itu, sebuah panggilan terdengar:
“Risa…”
Risa menoleh dengan mata sembab. Di hadapannya, berdiri Mama dan Papa Aditya yang baru saja tiba dari Kanada.
Wajah mereka dipenuhi gurat lelah dan kesedihan yang dalam.
Tanpa kata, Mama langsung memeluk Risa erat. Pelukan seorang ibu yang kehilangan anaknya, dan sekaligus memeluk menantunya yang kini sendirian.
“Kami ikut merasakan kehilanganmu, Nak…” ucap Papa Aditya, dengan suara yang hampir tak terdengar.
Risa tak menjawab. Ia hanya membiarkan tubuhnya lebur dalam pelukan itu.
Air matanya kembali mengalir, lebih deras, lebih berat. Bukan hanya karena kepergian Aditya, tetapi juga karena cinta yang baru saja tumbuh, kini telah direnggut tanpa ampun.
Dalam pelukan itu, hanya ada diam. Tapi diam itu lebih nyaring dari jeritan, lebih menyayat dari luka fisik mana pun.
Tubuh Risa kembali limbung, matanya terpejam, napasnya pendek-pendek.
Sekujur tubuhnya dingin seperti tak ada jiwa yang tertinggal.
Stefanus, yang selalu siaga di sisinya, segera mengangkat tubuh Risa dan membawanya ke mobil.
“Tolong buka jalan!” teriaknya, penuh panik. “Dia pingsan lagi!”
Dengan kecepatan tinggi, mobil melaju menuju rumah sakit terdekat. Di sepanjang perjalanan, Stefanus menggenggam tangan Risa erat.
“Ris… bertahan ya… tolong jangan menyerah…”
Setibanya di IGD, Risa langsung ditangani oleh tim medis.
Stefanus menunggu di luar ruangan dengan dada sesak, sementara Mama dan Papa Aditya tiba beberapa menit kemudian, wajah mereka pucat cemas.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Mama sambil menahan tangis.
“Masih belum sadar, Tante,” jawab Stefanus, lelah dan gelisah. “Dia syok berat… tubuhnya lemas, seperti tak ingin hidup lagi…”
Papa menepuk bahu Stefanus, berusaha menenangkan, meski dirinya sendiri nyaris roboh.
“Kami sudah kehilangan anak kami. Kami tak sanggup kehilangan dia juga…”
Jam-jam berlalu di ruang tunggu rumah sakit. Tak ada kabar.
Hanya detak jam dan doa-doa diam yang bergema di antara dinding putih dan lorong sepi.
Di ruang rawat yang hening, hanya suara alat monitor jantung yang terdengar pelan.
Risa terbaring dengan wajah pucat, napasnya pelan, namun gelisah. Di antara alam sadar dan tidak sadar, ia terjebak dalam mimpi.
Dalam mimpinya, Aditya berdiri di tengah hamparan rumput hijau, mengenakan seragam pilotnya. Wajahnya tenang, tatapannya lembut.
“Mas Adit…” suara Risa parau, penuh rindu.
Aditya tersenyum, lalu berjalan mendekatinya. Ia mengelus rambut Risa perlahan.
“Maaf, aku nggak bisa menepati janji untuk pulang… Tapi kamu harus tetap hidup, Ris. Jangan biarkan luka ini memadamkan cahaya di hatimu.”
“Aku nggak kuat, Mas… Aku ingin bersamamu…”
“Kamu harus kuat, Risa. Untukku… Untuk cinta kita. Jangan menangis lagi.”
Aditya mengecup kening Risa, seperti terakhir kali sebelum ia terbang. Lalu bayangannya memudar perlahan, hilang diterpa angin.
“Jangan pergi…” bisik Risa.
Dalam sekejap, mata Risa terbuka. Napasnya terengah, air mata membasahi pipinya. Mama, Papa, dan Stefanus yang berada di samping tempat tidur langsung tersentak.
“Ris! Risa sadar!” seru Stefanus.
“Sayang, kamu bangun…” Mama memeluknya erat.
Risa menatap mereka lemah, lalu tersenyum tipis.
“Aku bermimpi tentang Mas Adit… Dia bilang aku harus tetap hidup…”
Air mata mengalir dari mata semua orang di ruangan itu. Meski tubuhnya lemah, cahaya semangat mulai tampak kembali di mata Risa.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending