Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.
Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Di sudut ruang tamu mewah yang dihiasi perabotan antik dan vas bunga segar, Claudia duduk tegak dengan tangan terkepal di atas pangkuannya. Tatapan matanya tajam menatap ke arah jendela, namun pikirannya tidak sedang menikmati keindahan taman mawar di luar sana. Seorang pelayan baru saja menyampaikan kabar dari salah satu informannya—tentang seorang pemuda bernama Nara yang disebut-sebut sebagai anak Arman dari wanita lain.
Claudia menegang. Rahangnya mengeras. Ia segera menyuruh pelayan itu keluar dan mengunci pintu ruang tamu. Seketika, ia berdiri dan berjalan mondar-mandir, seolah menahan ledakan emosi yang tak bisa ia bendung.
“Bagaimana bisa? Kenzo... punya adik?” desisnya lirih tapi penuh kemarahan.
Ia lalu duduk kembali, . “Laras... itu nama wanita itu, bukan? Jadi wanita rendahan itu melahirkan anak dari Arman tanpa sepengetahuan siapapun?”
Claudia menggertakkan giginya. Tiba-tiba semua rencana yang selama ini ia susun dengan rapi terasa seperti akan runtuh. Ia telah mengatur Kenzo, memanipulasi pandangan keluarga, dan mendorong Liana untuk hamil agar posisi suaminya makin kokoh di mata Kakek Wiryo. Namun kini, kemunculan Nara mengancam semua itu.
“Kalau Kakek Wiryo mengakui Nara… kalau saham diberikan atas namanya... kalau dia diberi tempat sebagai anggota keluarga... itu berarti ancaman.”
Matanya menyipit penuh perhitungan. Claudia tahu betul karakter Wiryo. Sekali lelaki tua itu mengakui seseorang sebagai keluarga, maka tak ada yang bisa mencegahnya memberikan kekuasaan, kekayaan, bahkan pewarisan.
“Tidak. Ini tidak boleh dibiarkan,” gumam Claudia sambil menggenggam erat ponselnya.
Ia lalu menghubungi seseorang.
“ Dika ? Ini aku, Claudia. Aku butuh bantuannya lagi. Ada seseorang yang perlu kamu ‘selidiki ’ lebih dekat… namanya Nara. Cari semua tentang dia. Sekarang dia tinggal dengan pamannya, Rinto. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya, latar belakangnya, siapa saja yang dekat dengannya, dan... apa kelemahannya.”
Claudia menyandarkan punggung ke sofa, nafasnya berat. “Kalau dia memang anak Arman, kita harus temukan cara untuk membuatnya tak layak dianggap pewaris. Kalau perlu... kita buat dia mundur sendiri.”
Setelah menutup telepon, Claudia menatap bayangannya di cermin besar yang tergantung di dinding. Tatapannya dingin. Senyum tipis mulai terbentuk di bibirnya.
“Maaf, Nara… kamu datang di waktu yang salah. Keluarga ini sudah penuh. Dan aku tidak akan biarkan siapapun, bahkan darah daging Arman sendiri, menggeser suamiku.”
*
*
*
Langit sore tampak mulai meredup ketika mobil hitam berhenti di depan gerbang megah rumah besar keluarga Wirtama. Rumah itu berdiri kokoh dan penuh wibawa, mencerminkan nama besar yang telah bertahan lintas generasi. Pilar-pilar tinggi menjulang dengan detail klasik, dan taman luas membentang indah dengan rerumputan hijau yang terawat sempurna. Kamera CCTV menyorot setiap sudut dengan diam-diam, menciptakan aura pengawasan yang ketat namun tersembunyi.
Pintu gerbang otomatis terbuka perlahan, memperlihatkan halaman depan yang lapang. Nara turun dari mobil dengan raut wajah tenang namun penuh kewaspadaan. Di sampingnya, Rinto—pamannya—ikut turun dan menyuruh sopir menunggu di luar.
"Nara, ingat baik-baik. Kau tidak perlu gugup. Ini bukan tentang siapa yang lebih layak. Kau datang ke sini karena memang berhak," ucap Rinto pelan.
Nara hanya mengangguk. Wajahnya tampak dewasa untuk usianya. Tatapan matanya tajam namun dalam, memperlihatkan bekas luka kehidupan yang tidak semua orang bisa baca. Ia mengenakan kemeja putih bersih dan celana bahan gelap yang rapi. Penampilannya sederhana namun berwibawa—terlihat jelas darah Arman mengalir dalam dirinya.
Ketika mereka memasuki halaman rumah, beberapa pelayan menyambut dengan sopan. Salah satunya segera memberitahu bahwa Tuan Besar sudah menunggu mereka di ruang keluarga.
Langkah kaki Nara melambat sesaat saat melewati lorong utama rumah itu. Banyak lukisan keluarga terpajang di dinding—potret-potret dari masa lalu yang memperlihatkan kejayaan keluarga Wiratama. Salah satunya adalah potret besar Arman, ayah kandung Nara, yang tersenyum dalam balutan jas hitam. Nara menatapnya beberapa detik. Di dalam hatinya, ada gejolak yang tak bisa ia jelaskan. Rindu, marah, sekaligus penasaran.
Saat mereka tiba di ruang keluarga, Kakek Wiryo sudah duduk di kursi utama, mengenakan pakaian batik halus berwarna coklat tua.
Arman duduk di salah satu ujung sofa panjang, memegang erat tangan istrinya, Ratih, yang tampak gelisah. Wajah Ratih pucat. Sorot matanya tak bisa menyembunyikan campuran rasa penasaran, cemas, dan mungkin... luka lama. Tak jauh dari mereka, duduk Claudia, dengan sikap tenang namun penuh perhitungan. Kedua tangan Claudia bersedekap, bibirnya rapat, namun matanya tajam menilai tiap detik yang berlalu.
Rinto melangkah lebih dulu, sementara di belakangnya, seorang pemuda tinggi dengan sorot mata tajam dan wajah yang bersih, melangkah tegas namun tetap tampak gugup.
Nara.
Arman seketika berdiri. Nafasnya tercekat saat matanya menatap wajah pemuda itu. Ada garis-garis di wajah Nara yang seolah berbicara kepadanya—bayang-bayang masa lalu dengan Laras, kenangan yang selama ini dikubur dalam-dalam... kini hadir kembali dalam wujud pemuda di hadapannya.
Mata Arman berkaca-kaca. Ia tak bisa berkata apa-apa.
Seketika, tanpa berpikir panjang, Arman melangkah maju dan memeluk Nara erat. Pelukan yang awalnya kaku perlahan melembut, penuh getar emosi yang sulit dilukiskan.
"Nara... maafkan Papa..." bisik Arman lirih, nyaris tak terdengar, namun cukup menusuk hati siapa pun yang x tahu harus memanggilmu siapa... tapi aku datang... karena aku juga ingin tahu siapa aku sebenarnya,” suara Nara bergetar.
Ratih menunduk, air matanya menetes diam-diam. Entah perasaan apa yang membuncah di hatinya saat ini. Luka masa lalu, rasa dikhianati, atau mungkin iba pada anak muda yang tak pernah tahu betapa rumitnya dunia orang dewasa.
Claudia menatap tanpa ekspresi, namun tangannya mengepal di atas paha. Ini bukan berita baik bagi masa depan Kenzo. Ia tahu itu
"Nara?" tanyanya pendek, suaranya berat namun penuh wibawa.
"Ya, saya Nara," jawab Nara sopan, membungkukkan badan sedikit tanda hormat.
“Duduklah,” perintahnya singkat.
Nara duduk, bersebelahan dengan Rinto. Ruangan itu hening sesaat. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan.
"Apa yang kamu tahu tentang ayahmu?" tanya Kakek Wiryo, datar.
Nara menarik napas pelan. "Saya tahu sedikit, kek. Tapi yang saya tahu pasti... ibu saya, Laras, meninggal saat saya berumur sepuluh tahun. Saya dibesarkan oleh paman saya, Rinto. Dan saya tidak pernah tahu kalau saya punya darah keluarga dari pihak ayah... sampai baru-baru ini.”
Kakek Wiryo menatapnya tajam. "Dan kamu percaya begitu saja kamu anak Arman?"
"Saya tidak butuh pembenaran. Tapi jika memang perlu bukti, saya bersedia melakukan apapun yang Anda minta," jawab Nara tenang.
Kakek Wiryo menyipitkan mata, lalu bersandar ke kursinya.
"Wajahmu... terlalu mirip dengan ibumu. Tapi entah kenapa, tak ada sedikitpun mirip Arman."
Ia menoleh pada Rinto. "Kau bilang Laras menyembunyikan kehamilan dari Arman ,dan pergi jauh ?"
Rinto mengangguk. "Ya, pa. Karena tekanan dan rasa takut. Laras memilih diam dan pergi. Dia tidak pernah meminta apa-apa. Bahkan sampai meninggal, dia tetap menjaga nama keluarga ini."
Kakek Wiryo diam lama. Hatinya yang sudah tua mulai goyah. Wajah Laras masih membekas jelas dalam ingatannya. Wanita muda penuh keberanian yang memilih pergi karena harga diri. Dan kini, anaknya berdiri di depan mata, membawa warisan darah Arman yang tak pernah ia akui.
Setelah menghela napas berat, Kakek Wiryo akhirnya berkata dengan suara parau namun mantap:
"Jika benar kamu anak Arman, maka aku akan memberimu tempat. Bukan sebagai pewaris utama, tapi sebagai bagian dari keluarga ini. Akan kuberikan beberapa saham atas namamu. Sebagai penghormatan... kepada ibumu. Sekarang kalian boleh pergi."
Nara dan Rinto berdiri, membungkukkan badan sopan.
"Terima kasih, kek," ucap Nara pelan.
Ratih, dengan sorot mata yang mulai memanas, menggenggam tangan Arman kuat-kuat lalu berkata dengan nada tajam namun masih berusaha sopan,
“Maaf, pa… tapi… bagaimana mungkin kita bisa menerima anak ini begitu saja? Tanpa kepastian, tanpa bukti. Bagaimana kalau semua ini hanya rekayasa?”
Claudia, yang sejak tadi duduk tenang sambil menilai situasi, ikut menyambung, dengan suara lebih tenang namun penuh tekanan,
“Kita bicara tentang keluarga Wiratama, Kek. Tentang warisan, nama besar, dan tanggung jawab yang besar. Mana bisa seseorang tiba-tiba datang, mengaku anak papa Arman, lalu langsung dianggap keluarga? Bahkan… langsung di kasih harta ?”
Tatapan Claudia menusuk ke arah Nara, dan Nara membalas dengan tatapan tajam namun tak berkata apa pun. Ia memilih diam dan menghormati forum ini, meski hatinya bergemuruh.
Arman hendak membela, namun saat ia membuka mulut, Kakek Wiryo mengangkat tangannya.
“Diam kalian!”
Bentakan Kakek Wiryo menggema, membuat semua langsung terdiam dan menunduk. Bahkan Ratih dan Claudia sama-sama membeku di tempat, tak menyangka pria sepuh itu bisa meninggikan suara sedemikian rupa.
Wajah kakek Wiryo merah menahan emosi.
“Ini urusan saya. Saya yang memutuskan siapa darah keluarga Wiratama! Bukan kalian! Dan saya tak buta… saya tahu apa yang kalian takutkan!” tatapannya mengarah tajam ke Claudia, lalu ke Ratih.
“Ratih, kau takut suamimu akan lebih memikirkan anak dari wanita lain. Claudia… kau takut Kenzo tak lagi menjadi satu-satunya pewaris. Tapi kalian lupa satu hal…”
Ia berdiri dengan tongkatnya, berjalan pelan mendekati Nara.
“Laras adalah bagian dari masa lalu Arman. Aku sendiri yang mengusirnya dulu. Tapi anak ini… bukan salah dia. Dan kalau dia memang darah daging Wiratama… maka dia punya hak. Sama seperti yang lainnya.”
Semua menunduk. Tak ada yang berani menatap sang kakek.
Nafas Claudia tercekat. Ratih hanya bisa menggenggam tangan Arman lebih erat, seolah mencari sandaran. Sementara Nara… masih duduk di tempatnya bersama Rinto, mencoba mencerna makna semua ini.
Rinto berbisik, “Kau sudah satu langkah masuk, Nak. Sekarang tetap kuat.”
Kakek Wiryo kembali duduk, menepuk lututnya pelan.
“Pertemuan ini selesai.”
Saat mereka meninggalkan ruangan, Kakek Wiryo menatap mereka hingga tak tampak lagi di ruangan itu. Tapi sebelum sunyi benar-benar menyelimuti ruangan itu, ia memanggil dengan tegas,
"Tio!"
Seorang pria berpakaian rapi segera muncul dari balik pintu. Asisten pribadi yang paling dipercaya.
“aku ingin tau hasil penyelidikan mu kemarin tentang nara.
“Tuan, ini laporan lengkap mengenai Nara dan almarhumah Laras, sesuai permintaan Anda.”
Kakek Wiryo mengambil map itu, membuka dengan perlahan. Matanya menyapu lembar demi lembar, membaca detail demi detail yang telah dikumpulkan.
Halaman berikutnya berisi dokumen legal, termasuk surat kematian Laras, akta kelahiran Nara, dan pernyataan dari tetangga sekitar tempat tinggal Rinto yang mengenali Nara sebagai “anak dari Laras”.
Kakek Wiryo mengernyit saat menemukan satu kalimat penting:
"Anak atas nama Nara lahir tanpa tercantum nama ayah pada akta."
Kakek Wiryo mendesah panjang. Tangannya gemetar saat membalik halaman terakhir. Tio pun menambahkan penjelasan langsung.
“Berdasarkan hasil penyelidikan tim, tidak ada kebohongan dari pihak Rinto. Semua yang disampaikan olehnya mengenai Laras, termasuk kondisi kehidupan mereka pasca kepergian Laras.”
Kakek Wiryo mendongak, menatap Tio dengan sorot mata tajam.
“Lalu… tentang Nara? Apakah dia benar-benar anak Arman?” tanyanya pelan namun dalam.
Tio menggeleng perlahan. “Untuk itu... kami tidak bisa memberikan kesimpulan penuh, Tuan. Satu-satunya cara untuk memastikan—adalah dengan tes DNA. Jika Anda mengizinkan, kami bisa segera memprosesnya. Kami hanya perlu sampel dari keluarga inti Arman… atau Nara sendiri.”
Kakek Wiryo kembali bersandar di kursinya. Matanya menerawang ke luar jendela. Ia tak bisa menyangkal—semakin ia membaca laporan ini, semakin kuat keyakinannya bahwa Nara adalah cucunya. Namun sebagai kepala keluarga, ia tidak bisa mengandalkan perasaan. Kepastian hukum dan darah adalah hal yang utama.
“Lakukan tes DNA secepatnya,” perintahnya akhirnya.
“Ambil sampel dari rambut Arman. Dan ambil Sampel bocah itu—Nara. Jangan buat dia curiga. lakukan dengan halus,aku ingin hanya kita yang tau.”
Tio mengangguk, mencatat cepat di tablet kecilnya.
“Dan satu lagi, Tio,” tambah Kakek Wiryo dengan suara lebih berat. “Jika terbukti Nara adalah anak Arman… maka kita harus segera membuat keputusan. Aku tahu, ini akan mengguncang keseimbangan keluarga ini. Terutama Claudia dan Kenzo.”
Tio menatap tuannya, sedikit ragu.
“Apakah Anda siap menghadapi itu, Tuan?”
Kakek Wiryo menatap lurus ke arah foto keluarga yang terpajang di dinding. Foto Arman, Claudia, dan Kenzo tersenyum di masa lalu.
“Lebih baik aku menghadapi badai hari ini... daripada cucuku di masa depan menuntut kebenaran yang kita tutupi,” jawabnya mantap.
Tio menunduk hormat, lalu keluar meninggalkan ruangan.
Di dalam ruang kerja, Kakek Wiryo menutup map laporan itu dan memejamkan mata sejenak. Hatinya masih bergejolak. Tapi satu hal pasti: darah Wirtama harus diakui—tak peduli datang dari jalur yang mana.