NovelToon NovelToon
Mystic Guard : Hari Kebangkitan Ibu Iblis Jahanam

Mystic Guard : Hari Kebangkitan Ibu Iblis Jahanam

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Fantasi / Misteri / Horror Thriller-Horror / Roh Supernatural
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.

Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.

Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Evakuasi

Suara bambu bergesekan dengan angin. Di luar rumah Uwa Dargo, kabut turun pelan seperti luka lama yang belum sembuh. Sasmita duduk di lantai kayu ruang tengah, meletakkan senapan laras ganda ke samping—besi beratnya menghitam karena darah siluman sebelumnya.

Ia membuka trench coat merah maroon bermotif batik, melipatnya rapi lalu menyandarkannya ke dinding dekat jendela. Kini ia hanya mengenakan tanktop gelap, lengan dan pundaknya terlihat penuh luka bekas cakaran dan sayatan. Tapi sorot matanya tetap tenang, hampir tak terganggu sama sekali.

Ningsih duduk berseberangan, berselimut kain tipis yang dipinjam dari Uwa. Di pipinya masih ada bekas darah Rokif. Matanya bengkak, tapi ada semacam keberanian baru di sana, seperti akar muda yang mulai tumbuh di tanah luka.

“Kamu siapa, teh?” suara Ningsih parau, tapi jujur.

Sasmita mengangkat kepalanya, menatap Ningsih dengan tenang. “Aku datang karena bau darah dan tanah retak mengarah ke tempat ini.”

“Bau… apa?”

“Bau bangkitnya sesuatu yang seharusnya tidak hidup lagi.”

Hening sebentar.

Sasmita menghela napas pelan, lalu menjawab dengan nada sedikit lebih lembut. “Namaku Sasmita Wibisana. Tapi orang-orang yang mengerti dunia gaib memanggilku satu nama saja.”

Ia berdiri perlahan, lalu dengan tangan kanan menelusuri ukiran mantra di senjata miliknya.

“Aku... Rengganis Larang. Pemburu siluman. Penjaga batas antara dunia ini... dan yang seharusnya tetap mati.”

Nama itu seperti menggema di dalam ruang rumah yang tua itu. Kayu-kayu dinding seolah ikut menahan napas, dan api di tungku dapur bergoyang sedikit.

Ningsih menatapnya, antara kagum dan takut. “Rengganis Larang... yang ngebunuh raja leak di Garut?”

Sasmita hanya mengangguk sekali.

Ningsih menelan ludah. “Tapi kenapa ke sini? Kenapa bantu aku?”

“Aku tidak datang untukmu,” jawab Sasmita cepat. “Aku datang untuk dia. Nyai Rante Mayit. Aku mencium jejaknya dari Gunung Gede. Siluman terakhir yang kubunuh mengucapkan satu kalimat sebelum meledak: Ibu sudah bangkit.”

Ningsih menggigil. Kata itu menghantamnya seperti palu. Tulisan di dinding, darah di kamar, suara-suara dari dalam tanah...

“Berarti benar...” bisiknya. “Dia… dia itu... nenek moyangku. Aku keturunan dari Nyai Rante Mayit.”

Sasmita tak terkejut. Ia hanya diam, seolah sudah menduga.

“Kamu tahu?” tanya Ningsih pelan.

“Aku menduganya sejak lihat wajahmu.”

“Kita punya wajah yang mirip?”

“Bukan. Sorot mata. Kegelapan dalam darahmu nggak sembunyi rapat-rapat. Tapi kamu juga nggak lari. Itu... jarang.”

Ningsih mengepalkan jemari di atas lutut. “Aku gak pengen jadi bagian dari dia. Aku cuma mau hidup biasa, kerja, pacaran…”

Sasmita menyeringai tipis. “Kita semua pernah berharap begitu.”

Mereka terdiam beberapa saat. Di luar, suara lolongan jauh terdengar dari arah hutan. Uwa Dargo masuk membawa dua cangkir teh pahit, meletakkannya tanpa berkata-kata. Lalu ia pergi lagi, seperti tahu percakapan mereka bukan untuk telinga siapa pun.

Ningsih akhirnya membuka suara lagi. “Jadi... kalau kamu pemburu siluman… kamu bakal bunuh aku juga?”

Sasmita menatapnya tajam, tapi tidak mengangkat senjata. “Kalau kamu jadi wadahnya, mungkin. Tapi kalau kamu berani lawan takdirmu sendiri, kita bisa berdiri di sisi yang sama.”

“Lawan takdir…” Ningsih menunduk. “Itu lebih gampang dibilang.”

“Gak ada yang gampang di hidup ini,” Sasmita merespon dingin. “Tapi darah bukan satu-satunya yang membentuk kita. Pilihan juga.”

Angin dari celah dinding berhembus lagi. Ningsih menatap api di dapur. “Rokif udah gak ada…”

Sasmita menoleh, suara jadi lembut. “Aku tahu.”

“Kalau kamu yang lihat itu semua… kamu bakal percaya aku masih bisa dilindungi?”

Sasmita berdiri, mengambil peluru khusus dari sabuknya dan mulai mengukir mantra di satu butir baru.

“Kalau kamu nyerah... ya nggak akan bisa,” katanya. “Tapi kalau kamu siap berdiri, bahkan waktu tanah di bawah kakimu udah retak... ya, kamu masih bisa diselamatkan.”

Ningsih menatapnya lama.

Malam itu, dua perempuan duduk bersama di rumah kayu tua, satu membawa darah kutukan, satu membawa senjata penuh mantra. Di luar sana, para Pawang Tanah Merah mulai bergerak dari bayang-bayang bumi. Tapi di rumah itu, cahaya belum padam.

Suara deru mesin mendarat menggetarkan atap-atap seng di barak darurat itu. Di tengah malam kota Semarang yang diguyur gerimis, kompleks gedung tua milik pemerintah daerah kini disulap jadi markas darurat—tempat menampung ibu-ibu hamil dari berbagai wilayah yang baru dievakuasi.

Agen Rinaldi, salah satu operator lapangan The Vault, sibuk mencatat nama, usia kandungan, dan lokasi asal mereka. Wajahnya tegang. Bukan karena cuaca atau kelelahan, tapi karena data-data aneh yang masuk bersamaan dengan gelombang kedatangan itu.

“Pak, yang ini... katanya hamil 3 bulan, tapi detak janinnya kayak usia 7 bulan,” kata seorang tenaga medis relawan sambil menunjuk tablet monitor.

Rinaldi menegang. “Yang keberapa?”

“Kesebelas.”

Sebelum ia sempat merespons, suara radio taktis di bahunya menyala.

> “Objek 7-B dan 9-C menunjukkan gelombang elektromagnetik abnormal di sekitar rahim. Seolah... janinnya sedang makan sesuatu dari dalam tubuh ibunya.”

Rinaldi menatap layar drone thermal di tangannya. Siluet janin-janin itu... terlalu padat. Terlalu aktif.

Gerimis makin deras.

Lalu, langit di atas gedung bergetar—seperti sobekan kain dalam ruang angkasa. Sebuah pesawat stealth berwarna hitam-emas muncul tanpa suara dari balik awan. Simbol pena bersayap di sisinya menyala redup.

“Suprime Closer mendarat,” ucap agen di menara kontrol. “Ulangi, Closer telah tiba.”

Pesawat menurunkan ramp-nya, dan dari dalam kabut, seorang figur bertopeng hitam penuh dengan jubah berkerah panjang melangkah turun. Suprime Closer—Taki Dirgantara—datang seperti bayangan dari dimensi lain.

Para agen The Vault memberi hormat. Tapi Taki hanya mengangguk singkat dan terus berjalan, kakinya tak mengeluarkan suara meski menginjak genangan air.

“Ada delapan titik abnormal yang sudah masuk tahap merah,” lapor Rinaldi cepat. “Beberapa janin memancarkan interferensi... yang tak bisa dijelaskan sains.”

Taki berhenti di depan layar. Matanya di balik topeng menyala sebentar. Ia menyentuh udara, dan simbol seperti tulisan kuno muncul melayang.

“Ada jejak realitas yang dipelintir. Ini bukan hanya akibat entitas supranatural… ini sudah masuk tahap penulisan ulang nasib.”

Rinaldi menelan ludah. “Maksudnya...?”

“Janin-janin ini... bukan hanya dikandung. Mereka diprogram. Seseorang... atau sesuatu, sedang menanamkan kehendaknya ke dalam mereka.”

Dari jauh, salah satu ibu hamil berteriak tiba-tiba. Tubuhnya kejang, lalu menangis sambil meremas perut sendiri. Tim medis buru-buru datang.

Taki tetap tenang. Ia mengangkat pena ke udara—pena keabadiannya. Dengan satu goresan gerakan jari, ia menulis di udara: Tenanglah, wahai jiwa yang diganggu.

Aura cahaya keemasan menyelimuti tubuh ibu itu, dan kejangnya mereda. Tapi Taki tahu, itu hanya sementara.

Ia berbalik ke arah Rinaldi.

“Siapkan barikade. Ini bukan sekadar evakuasi. Ini ladang eksperimen iblis. Dan aku... akan tulis ulang akhir ceritanya.”

Dan malam di Semarang pun kembali tegang, saat malaikat pena turun menghadapi kutukan dalam rahim.

1
EsTehPanas SENJA
ayo ningsih! kamu ga sendirian ✊🏻
EsTehPanas SENJA
ayo ningsih! bangkit! mas mu udah jadi korban kayanya ...😳 jangan sia siakan dia ning! ✊🏻
EsTehPanas SENJA
kenapa namanya berbau bau J. ada taki ada yama 😳🤭
EsTehPanas SENJA
the vault ini macam x files fbi gitu? atau Men in Black 🤭😁
Saepudin Nurahim: The Vaul itu Organisasi Rahasia yang di bawah pemerintah, kalau mau lebih tau tentang the vault, kakak bisa baca di novel The Closer, sama Agent Liana. masih satu Universe. nyambung
total 1 replies
EsTehPanas SENJA
wwwih setan AKAP ehh lintas Pulau malah ini 😱😳
Saepudin Nurahim: makasih sudah mampir kak 🙏
total 1 replies
awesome moment
awal baca yg horor n
Saepudin Nurahim: terimakasih support nya kak
total 1 replies
Ahmat Zabur
campuran mitologi dan super hero di kemas rapi,, serasa masuk kedalam alur cerita nya,, salam merinding buat penulis
Ahmat Zabur
ngeri yaaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!