NovelToon NovelToon
Batas Yang Kita Sepakati

Batas Yang Kita Sepakati

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Princess Saraah

Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?

Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.

Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."

Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Azzam Kembali

Tubuhku gemetar. Semua mata tertuju pada kami. Pada dua pria yang berdiri saling menatap tajam di tengah keriuhan pantai sore itu.

Laki-laki itu akhirnya mengangkat kepalanya. Cahaya senja menyinari wajahnya perlahan, menyingkap siapa dia sebenarnya.

Azzam.

Nama itu langsung melesak ke dadaku, memicu detak jantung yang tak karuan.

Bagaimana Azzam tahu aku disini? Sudah hampir 6 bulan rasanya aku tidak melihat dan mengetahui kabarnya, namun tiba-tiba dia datang membelaku. Kebetulan atau takdir?

Nizan menggertakkan gigi, lalu kembali menyerang. Kali ini bukan dorongan. Tinju mengarah ke wajah Azzam.

Azzam menangkis cepat, tangannya mencengkeram lengan Nizan dan memelintirnya ke belakang. Nizan berontak, berusaha melepaskan diri. Mereka bergulat di pasir, saling menahan, mendorong, sesekali saling bentur dengan keras.

"Stop, Nizan!" aku menjerit, mencoba memisahkan mereka.

Tapi tak ada yang berhenti. Keduanya terjebak dalam ego dan emosi.

Raka akhirnya ikut turun tangan, menarik tubuh Nizan dengan keras dari belakang. Khalif memeluk Azzam, menahannya mundur.

"Zan! Udah, Zan!" bentak Raka.

Nizan terengah. Azzam diam, tapi matanya masih membara.

Aku berdiri di antara mereka.

"Azzam, udah, ayo pergi," bisikku, tanganku menarik ujung lengan jaketnya.

Dia menoleh ke arahku. Untuk pertama kalinya, sorot matanya melembut. Masih diam, dia menarik tanganku dan membawaku pergi.

Kami melangkah menjauh. Meninggalkan semua kekacauan itu di belakang. Azzam mengulurkan helmnya tanpa bicara. Aku memakainya pelan.

Mesin motor menyala, dan dia mengendarainya cepat, menembus jalanan yang mulai gelap.

Selama perjalanan, aku diam. Air mataku tak bisa dibendung. Rasanya seperti semua yang kusimpan pecah bersamaan.

Angin sore itu terasa begitu menusuk. Tapi tiba-tiba, Azzam menarik pergelangan tanganku ke depan, menaruh tanganku di pinggangnya. Seolah memaksaku memeluknya dari belakang.

"Lo okey?" katanya pelan. "Gak usah nahan diri. Nangis aja."

Aku menggigit bibir. Semakin tak bisa menahan tangis.

Motor berhenti tak lama kemudian. Aku mengenali tempat itu.

Toko es krim favoritku.

Dia turun lebih dulu, melepas helm, lalu mengulurkan tangan untukku.

"Turun. Gue traktir rasa favorit lo."

Aku menatapnya dengan mata sembab, masih belum yakin.

Tapi dia hanya tersenyum tipis. "Ayo, kalau abis nangis lo biasanya makan es krim kan biar tenang."

Di dalam toko es krim, kami duduk berhadapan di bangku kayu kecil, masing-masing memegang cup es krim. Aku masih terisak pelan. Nafasku berat.

Azzam menyeruput es krimnya pelan. Lalu menatapku.

"Udah puas nangisnya? Apa masih mau nangis?"

Aku hanya menggeleng, sambil mengelap air mata. "Gue capek banget, Zam. Gue cuma pengen temenan. Tapi semua anggepnya gue murahan, perebut pacar orang."

Dia meletakkan es krimnya, lalu menatapku dalam.

"Karena lo terlalu baik dan sempurna, Sya. Mereka gak bisa jadi kaya lo, makanya mereka berasumsi macam-macam soal lo."

"Pasti lo mikir yang sama juga kan sama mereka? Apalagi lo dekat sama Mira," tuduhku padanya.

"Ngga ya. Gue gak pernah sekalipun mikir lo murah atau apalah itu," sangkalnya. "Lo harus tau, Sya. Semua orang mungkin mutusin buat ninggalin lo. Tapi mulai hari ini gue gak akan ninggalin lo lagi."

Aku tertawa miris. "Lucu. Lo dulu suka sama Mira sampai ninggalin gue. Sekarang bilang mau ada buat gue."

Dia mengangguk, tak menyangkal. "Iya. Gue pernah suka. Salah gue waktu itu milih menjauh dari lo. Maafin gue ya."

Mataku menatapnya penuh luka. "Kalau Mira balik lagi ke lo, gimana? Pada akhirnya gue juga harus sendirian lagi."

"Gak, gue gak akan balik lagi ke Mira. Gue ga akan biarin lo sendirian."

Aku menggeleng perlahan. "Gue gak percaya sama omongan lo. Sekarang lo bilang gini, besok siapa tau lo balik lagi ke Mira."

Dia menatapku semakin dalam, lalu berkata pelan, "Gue gak mau janji sama lo, tapi gue bakal buktiin."

Aku tak menjawab. Air mataku kembali jatuh, bukan karena sedih, tapi karena hatiku retak dan tak tahu harus percaya siapa.

Azzam tetap diam. Dia seperti ingin memelukku, namun mungkin batas yang kami sepakati —persahabatan—menahannya melakukan itu.

Setelah tangis mereda dan dua cup es krim cokelat lumer di antara keheningan kami, hari pun beranjak senja. Matahari bergeser perlahan ke balik pepohonan, langit berubah jingga, dan angin sore berembus pelan.

Azzam melihat jam tangannya sekilas. "Ayo, gue antar pulang."

Aku hanya mengangguk.

Kami keluar dari toko es krim tanpa kata. Saat helm sudah di tangan dan Azzam hendak menyalakan motor, ponselku berdering. Di layar tertulis nama Nizan.

Aku menatap layar itu cukup lama. Jemariku menggantung di atas tombol hijau. Ragu.

"Lo mau angkat?" suara Azzam terdengar dingin.

Aku diam.

Azzam menyandarkan tubuh ke motor, lalu berkata, "Tolak aja. Atau lo mau gue yang jawab?"

Aku masih menatap layar ponselku, lalu mematikan dering. Tapi detik berikutnya, ponsel itu kembali bergetar, Nizan menelepon lagi.

Sebelum aku sempat bereaksi, Azzam merampas ponsel dari tanganku dan langsung menekan tombol hijau.

"Halo?" ucap Azzam tajam. "Nggak usah telepon Tisya lagi. Dia aman sama gue."

Tak ada suara dari seberang. Hanya keheningan.

Aku menyadari keheningan itu, dan saat menoleh, mataku langsung menangkap sosok Nizan dari seberang jalan. Tapi aku sama sekali tidak terkejut. Nizan memang selalu tahu letak keberadaanku tanpa aku memberitahunya.

Tak ada gerakan saling sapa antara kami. Tak ada anggukan. Hanya sorot mata yang dalam, menyimpan ribuan pertanyaan tak terjawab. Lalu ponsel Nizan dimatikan. Ia naik ke motornya dan pergi tanpa menoleh lagi.

Azzam mengembalikan ponsel ke tanganku.

"Dia masih sering nguntit lo, Sya?"

Aku menghela napas, meletakkan helm ke kepala. "Iya."

Azzam menaikkan satu alis. "Kok lo bisa suka sama cowok posesif kayak gitu sih?"

Aku tidak menjawab langsung. Hanya memeluk tubuhnya sendiri di balik jaket, lalu bergumam pelan, "Kadang rasa suka itu nggak pake logika, Zam."

Azzam mengangguk pelan, lalu menyalakan motor.

Sesampainya di depan rumah, langit sudah gelap. Lampu-lampu jalan menyala redup, dan suara serangga mulai mengisi malam. Aku turun dari motor, melepas helm perlahan.

"Zam!"

"Hm?"

"Thanks ya hari ini."

Azzam tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap mataku sebentar, lalu mengangguk.

"Yoi, sama-sama, Tisya cengeng," dia tertawa meledekku. Lalu menyambung ucapannya. "Sya, mulai hari ini lo bisa telfon gue kalau ada apa-apa. Sekarang sahabat lo yang ganteng ini udah balik, jadi lo bisa langsung call aja. Gue stand by."

Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap Azzam lama, lalu memalingkan wajahku ke pintu pagar untuk menyembunyikan senyumku.

1
Asseret Miralrio
Aku setia menunggu, please jangan membuatku menunggu terlalu lama.
Daina :)
Author, kita fans thor loh, jangan bikin kita kecewa, update sekarang 😤
Saraah: Terimakasih dukungannya Daina/Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!