Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Wajah Thalita makin berseri. Dia seakan kedapatan jackpot, tiba-tiba agresif hendak memeluk Artha. Selebay itu. Namun, buru-buru Artha menahan bahunya.
"Gue mau ke toilet!" kata Artha yang membuat wajah Thalita memerah menahan malu.
Artha bangkit dari duduk, pergi meninggalkan Thalita untuk keluar dari kelas. Saat berpapasan dengan bangku Naira, Artha sengaja memukul pelan bahu gadis itu untuk sekadar menyapa. Perlakukan Artha tersebut tak luput dari perhatian Thalita, membuat gadis berambut panjang itu semakin geram. Tatapan cemburu langsung dilayangkan pada Naira saat itu juga. Bisa-bisanya Artha mau menyentuh gadis miskin itu, sementara dengannya terlihat dingin dan bicara sekenanya.
Sebagai wakil ketua OSIS, Thalita termasuk dihormati di kelas. Selain cantik dan memiliki jiwa pemimpin, dia juga pandai dalam pelajaran. Dan kini, ketika semua murid sedang sibuk memilih anggota kelompok, dengan sikap arogan dan bossy, gadis berbulu mata lentik menawarkan diri untuk memilih anggota kelompok agar adil. Semua setuju begitu saja karena sudah sangat percaya dengan kemampuan Thalita karena mempermudah pekerjaan mereka dan membuat waktu menjadi lebih efisien.
Hanya butuh beberapa menit, daftar nama ditulis berdasarkan absensi. Jumlah siswa sebanyak 37 anak dibagi menjadi sembilan kelompok. Sinta yang merupakan teman sebangku Thalita maju ke depan untuk memulai membacakan satu per satu nama anggota kelompok yang sudah berada dalam daftar.
Naira duduk tenang mendengarkan, menunggu namanya disebut agar bisa mempersiapkan kelompoknya dengan teman lain. Namun, dari pertama kali Sinta menyebut satu per satu nama, tak ada sekali pun gadis itu menyebut nama Naira.
"Kok nama gue enggak ada?" Naira bangkit dari duduk, bertanya langsung setelah Sinta
menyelesaikan pengumumannya.
"Karena lo murid ke tiga puluh tujuh. Peraturannya harus empat orang. Lo sisanya," ujar Sinta menjelaskan.
"Lo harusnya masukin nama gue di salah satu kelompok yang ada. Lagian, kenapa nama gue jadi yang terakhir? Absensi gue ada di urutan tengah.
Seharusnya gue dapet bagian kelompok."
Jelas saja pembagian kelompok itu serasa tidak masuk akal. Naira berada di urutan tengah malah tiba-tiba menjadi urutan terakhir. Harusnya yang urutan terakhir adalah Artha, bukan? Dia anak baru. Yang itu artinya berada di urutan paling bawah dalam penomoran absensi kelas.
"Jadi lo nyalahin gue?" Sinta tak terima. Pada akhirnya menyerang dengan serentetan kalimat untuk membela diri.
"Lo pikir lo siapa? Kalau lo nggak ada temen kelompok, sebaiknya lo cari sana sendiri. Jangan bisanya nyalahin orang."
"Gue nggak nyalahin. Gue cuma minta lo masukin nama gue di salah satu kelompok itu. Gue nggak pilih-pilih kelompok. Lo bisa masukin di mana pun. Terserah!" Naira ikut kesal juga. Masalah nyari teman kelompok saja sudah membuat
kegaduhan seperti ini.
"Sebaiknya lo nanya ke ketua kelompok masing-masing. Memang mereka mau masukin lo pada kelompok mereka?" Thalita yang sejak tadi mendengar perdebatan akhirnya turut bicara. Dan
hal itu disambut tawa beberapa anak yang lain,
termasuk Sinta.
"Makanya jadi cewek harus punya nilai plus. Udah miskin, nggak ada otak," selorohnya lagi dengan menekankan kata "otak" yang membuat seisi
kelas semakin tergelak.
Melihat teman-temannya mentertawakan, Naira hanya bisa menatap mereka semua dengan pandangan suram. Tangannya mengepal, dia
memilih keluar kelas untuk menjernihkan pikiran.
Begitu kakinya melangkah keluar pintu, dia berpapasan dengan Artha.
"Nai, ada apa?"
Pandangan mereka sempat bertemu beberapa saat. Artha bisa melihat mata Naira memerah seakan-akan sedang menahan tangis. Hendak menjauh dari Artha, tangan Naira dicekal oleh lelaki itu.
"Gue nanya, ada apa?" tanya Artha sekali lagi
karena sepertinya Naira enggan menjelaskan.
"Nggak ada. Gue cuma kelilipan." Tangan Artha diempaskan begitu saja. Naira memilih pergi dan
menyendiri.
Di tempat duduk berbahan semen dengan bagian atas terdapat ubin yang dijadikan alas, Naira menyandarkan tubuhnya pada batang pohon
mangga yang menaungi tempat duduk tersebut.
Pandangannya menatap ke depan, tetapi hanya pandangan kosong karena pikirannya berkelana
menjauh.
Dia tidak menyangka jika kemiskinan dan otak yang pas-pasan membuat dirinya tidak diperhitungkan oleh teman-temannya. Bahkan, tak seorang pun di antara teman-temannya membela untuk menawarkan diri masuk ke kelompok
mereka.
Air mata yang sejak awal dibendung di depan teman-temannya saat itu juga menetes tanpa bisa dicegah. Buru-buru punggung tangan menyekanya kasar sembari merenungi nasib yang sedang
membelenggunya.
Hingga sebuah teh kemasan disodorkan di depan Naira, membuat perhatian gadis itu teralihkan bersamaan lamunannya yang buyar saat itu juga. Dia menoleh ke samping di mana sosok yang tangannya sedang terulur menyerahkan teh itu
berada.
"Thanks!" kata Naira setelah mengambil alih teh kemasan tersebut.
Tatapannya kembali ke depan, mengabaikan
pria yang kini ikut duduk bersamanya.
"Apa sudah lama seperti ini?"
"Apa?" Naira berkata setelah menyeruput teh
kemasan itu menggunakan sedotan plastik.
"Lo terkucilkan di kelas."
Naira menghela napas panjang. Kepala yang sebelumnya sempat menegak miring kembali disandarkan pada pohon mangga di sampingnya.
"Gue udah biasa. Hanya saja ... terkadang perlakuan mereka membuat gue baper." Dia tersenyum tipis.
"Mungkin hanya sesaat. Gue akan baik-baik saja
setelah menenangkan diri."
"Dan lo diam terus seperti ini?" tanya lelaki itu. Tatapannya tak beralih pada Naira yang sampai detik ini hanya mengarahkan pandangan ke arah
lapangan bola.
"Gue nggak pernah diem. Gue ngelawan, kok? Gue nggak takut sama siapa pun yang dengan sengaja nyari gara-gara sama gue. Tapi... ada kalanya gue capek ngeladenin anak-anak itu. Gue hanya punya Mama yang sedang berusaha keras ngidupin gue. Berjuang nyekolahin gue agar jadi anak yang bisa dibanggakan. Walaupun gue nggak bisa ngelakuin itu." Kini Naira menatap pria di sampingnya.
"Gue nggak mau nyari masalah dengan melakukan hal yang membuat nama Mama diseret dalam permasalahan gue. Kalau diam bisa menyelesaikan masalah, mengapa gue harus repotrepot membalas mereka?"
"Lagi pula apa yang mereka omongin juga bener. Gue miskin. Nggak punya otak. Nilai gue selalu
terendah di sekolah. Lantas, mengapa gue harus
marah? Karena semua yang mereka katakan
adalah kenyataan."
Hening. Semilir angin siang itu menerpa wajah Naira, melambaikan rambut panjangnya yang diikat kuat dan rapi. Naira memejamkan mata, bersandar nyaman pada pohon mangga berdaun rimbun yang sedang memayungi mereka dari terik matahari. Sesekali ada beberapa daun kering jatuh, meliuk-liuk tertiup angin yang pada akhirnya
mendarat di tanah.
"Nai, ikut gue!"
"Apa?" Naira sempat terperanjat ketika tangan
pria itu menariknya.
"Kita pulang."
"A-apa? Lo mau ngajak gue bolos?" Naira menarik tangannya sendiri.
"Jangan cari masalah, deh, Ta! Nilai gue emang jelek, tapi setidaknya attitude gue nggak minus. Gue anti bolos sekolah."
Dia terkekeh, melepaskan cekalan tangan pada lengan Naira.
"Siapa yang ngajak lo bolos? Memang udah waktunya pulang. Semua guru sedang sibuk
rapat. Jadi semua siswa dipulangkan."
"Apa? Lo nggak ngarang, kan? Kok gue nggak tahu?" tanya Naira dengan pandangan penuh
pertanyaan.
"Lo sibuk nangis. Gimana bisa tahu. Ayo, ambil
tas lo! Kita pulang. Gue tunggu di parkiran."
Naira mengangguk seraya menyunggingkan senyum.
"Gue ke toilet dulu!" pamitnya. Mereka berpisah setelah itu.
Kedekatan Naira dengan Artha tentu tak lepas dari pandangan cemburu Thalita. Melihat Naira ke toilet, Thalita mulai mencari cara untuk mengerjai
gadis itu.
Seperti sedang mendapatkan perintah dari atasan, teman-teman sekelas Naira dengan cekatan menjalankan tugas yang seperti diperintahkan oleh Thalita. Mereka yakin setelah Naira ke toilet, gadis itu akan mengambil tasnya yang ada di kelas. Berhubung hampir semua murid sudah meninggalkan kelas, tinggallah tas Naira yang
tersisa.
"Gue nggak terima jika cewek sialan itu ngejual drama kesedihan hanya untuk membuat Artha simpati. Bener-bener cewek nggak sadar diri. Miskin tapi ngarep dinikahi pangeran," gumam Thalita sembari mengisi air pada sebuah ember yang dicampur pewarna.
Dua orang siswa laki-laki yang biasa menjadi pengikut Thalita karena sering mendapat uang jajan ditugaskan untuk meletakkan wadah berisi air itu di tas pintu kelas.
"Siapin tambang. Ada di ruangan OSIS. Gue
nggak mau ada kesalahan. Mengerti?" kata Thalita tegas yang langsung disanggupi oleh kedua siswa
laki-laki itu.
Naira mengibaskan roknya yang terciprat sedikit air. Matanya melihat hasil jahitan tangan yang sempat dilakukan sembunyi-sembunyi ketika mamanya sedang beristirahat siang. Mana mungkin Naira menceritakan sikap teman-temannya yang buruk kepada sang mama. Dia tidak ingin membebani pikiran mamanya dengan hal-hal yang sebenarnya masih bisa ditangani sendiri.
Kaki melangkah ringan untuk segera mengambil tas yang ada di dalam kelas. Sekolah sudah mulai sepi. Mungkin murid-murid banyak yang telah keluar dari lingkungan sekolah. Naira menyadari itu saat melihat kondisi luar kelasnya tiada seorang pun tampak di sana. Bergegas kakinya melangkah agar segera sampai karena takut Artha menunggu terlalu lama. Namun, ketika tangannya membuka pintu dengan memasukkan tubuh ke dalam kelas, tiba-tiba sebuah ember terjatuh
mengucurkan air berwarna merah pekat dari atas.
Ember itu jatuh tepat mengenai kepala Naira. Rasanya sangat sakit, tetapi rasa sakit itu tak sebanding dengan apa yang berimbas pada dirinya saat ini.
Naira melepaskan ember itu dari kepalanya,
lalu melihat kondisi tubuhnya yang basah kuyup
dengan warna merah keseluruhan. Seragam putih abu-abu berubah warna menjadi merah segar. Bibirnya ternganga seraya mengusap wajah basah menggunakan telapak tangan. Dia tak menyangka akan mendapatkan perlakuan buruk seperti ini. Padahal sebelumnya mereka hanya sekedar menghina Naira karena kebodohan dan kemiskinannya. Namun, sekarang mereka sudah
keterlaluan.
Baru saja Naira beranjak dari posisi, ingin mengambil tas yang tertinggal di bangku, tiba-tiba ..
Kreeeek!
Matanya membulat penuh. Ada yang sengaja meletakkan paku di salah satu sisi pintu, membuat rok yang dijahit susah payah oleh Naira robek seketika. Naira melihat ke belakang, memeriksa kondisi roknya. Dia hanya bisa menangis. Rok itu bahkan sudah tak bisa menutupi paha bagian belakang.
Naira duduk di bangkunya, mengemas buku-buku dan perlengkapan belajar lain. Lalu, saat itu juga dia membenamkan wajah pada kedua tangan yang ditekuk di atas bangku. Tangisnya mendadak tumpah, padahal tadi sudah sempat ditahan.
Mengapa rundungan teman-temannya semakin
hari semakin parah? Apa salahnya? Hampir tiga puluh menit Naira menangis. Pemandangan itu tak lepas dari senyum seseorang yang sedang mengintipnya dari balik jendela belakang kelas. Ada seseorang yang sengaja merekam kejadian tersebut untuk dijadikan siaran langsung dan ditonton bersama-sama oleh Thalita juga teman-teman Naira yang lain.
Apa yang dirasakan Naira malah menjadi hiburan oleh Thalita dan teman-temannya.
Suara cekikian siswa yang sedang berkumpul itu menarik perhatian Artha. Entah mengapa lelaki itu yang awalnya menunggu Naira yang tak kunjung datang malah tertarik akan apa yang teman-temannya lihat.
Saat Artha datang, tiada yang menduga. Lelaki itu seakan-akan memelankan langkahnya sehingga kehadirannya tak diketahui oleh siapa pun. Matanya tertuju pada sebuah tablet yang sedang melakukan pemutaran video.
Tanpa banyak bicara, Artha merebut tablet tersebut, dan
Pyar!
Benda hitam itu dibanting begitu saja dengan
kaki menginjaknya tanpa belas kasihan.
"Tablet gue!" ucap salah seorang siswa saat melihat tabletnya diremukkan oleh Artha. Hendak protes, tetapi tidak berani. Tatapan tajam Artha
membuat semua orang yang ada di sana hanya bisa menelan ludah.
Tiada yang berani bicara ataupun sekadar memprotes tindakan Artha. Mata tajam itu melihat satu per satu wajah teman-temannya yang kini tampak menunduk, dan berakhir tertuju pada
Thalita.
"Gue nggak nyangka lo sepicik ini! Lo bilang kalau lo wakil ketua OSIS, tapi perilaku lo nggak pantes meski hanya menyandang status anggota."
Artha pergi setelah mengucapkan hal itu. Thalita tidak tingal diam. Dia turut beranjak, berlari mengejar Artha.
"Ta, tunggu! Gue bisa jelasin!" ucap Thalita dengan setengah berteriak sembari mengejar langkah lebar Artha.
"Lo salah paham, Ta!" Tangannya meraih lengan Artha yang berbalut jaket jeans.
"Naira dalam perlindungan gue. Jadi, buka telinga lo lebar-lebar. Gue nggak akan biarin siapa pun mencelakainya bisa hidup tenang. Termasuk lo!" kata Artha tegas seraya menunjukkan jari
telunjuk di depan wajah Thalita.
Mata Thalita melebar. Dia tak menyangka Artha bisa semarah ini tekait Naira. Apa sebenarnya hubungan Artha dan Naira sehinga keduanya bisa
mendadak dekat begini?
Berbagai pertanyaan berkelebat di benak Thalita, ingin sekali mengungkap sebuah hal yang disembunyikan keduanya. Namun, dia masih berpikir positif jika Artha melakukan itu hanya karena suatu hal. Bukan karena pria itu menyukai
Naira.
Kepala yang sejak tadi menunduk dengan membenamkan wajah pada lengan menengadah
seketika saat sebuah tangan menepuk bahunya.
"Ta?" ucap Naira lirih mendapati Artha berada di sampingnya.
"Lo bisa nggak sih cepetan dikit? Gue udah lumutan nungguin lo nggak keluar-keluar." Artha berkata seakan-akan tak memedulikan kondisi
Naira yang berantakan.
"Gue..." Naira bahkan kebingungan untuk menjawab pertanyaan Artha. Tak ingin terlalu lama menunggu, Artha menarik Naira agar gadis itu bangkit dari duduk.
Kemeja putih Naira terlihat tembus pandang, mencetak jelas pakaian dalam hitam yang sedang dikenakan. Saat menyadari ke mana pandangan Artha berlabuh, Naira segera menyilangkan kedua
tangannya.
"Lo lihat apa? Gak usah mesum!" kata Naira
memperingatkan.
Artha hanya diam. Tak seperti biasanya
membalas perkataan Naira. Dia melepaskan jaket yang dikenakannya, lalu menutupi tubuh Naira
dengan jaket tersebut.
Naira sempat merasa kikuk ketika Artha memasangkan jaket itu pada tubuhnya, memasangkan satu per satu kancingnya, hingga tubuh yang basah sudah tenggelam pada jaket Artha yang besar.
"Ayo, pulang!" kata Artha kemudian.
Naira mengangguk, patuh saat Artha menarik tangannya. Akan tetapi, dia mendadak berhenti saat teringat satu hal. Tangannya yang lain meraba bagian belakang roknya.
Artha mengernyit, melihat apa yang sedang Naira tutupi. Barulah dia menyadari apa yang membuat gadis itu enggan beranjak. Nyatanya Artha memang tak kekurangan akal. Bakat sang papa sepertinya menurun padanya. Taplak meja guru yang terdapat vas bunga di atasnya diambil alih oleh Artha, lalu kembali pada Naira.
Kakinya berjongkok di depan Naira,memasangkan taplak itu, melingkar pada pinggang, menutupi rok Naira yang robek, lantas diikat kuat.
"Ayo, sudah tidak ada masalah, bukan?" tanyanya seraya menarik tangan Naira untuk keluar dari kelas.
Pemandangan itu jelas menambah kecemburuan beberapa siswa. Mereka tak menyangka jika Naira bisa mendapat perhatian begitu besar seorang Artha. Padahal gadis bodoh dan miskin itu seharunya hanyalah pemeran figuran yang tidak patut diperhitungkan keberadaannya. Namun, kenyataan berkata lain membuat para pengagum Artha penasaran akan hubungan apa yang terjalin antara Artha dan Naira sehingga pasangan yang tidak sepadan itu bisa dekat satu sama lain?