Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak dari Bayang-bayang
Prayit memicingkan matanya saat melihat sebuah batu kecil yang bersinar terang.
Saat ia berusaha mengambilnya tiba-tiba angin berhembus kencang, langit berubah gelap. Petir bergemuruh, membuat para warga berlarian karena mengira akan turun hujan.
Prayitno masih termangu melihat fenomena alam itu.
"Cepat ambil batu itu, keburu hujan!" seru Kyai Amin
Prayit segera mengambil batu itu, dan tiba-tiba saja tanah bergetar hebat.
"Gempa!" teriak warga berlarian
Prayit masih ternganga menatap orang-orang yang berlarian panik. Suara burung gagak membuat pria itu mendongakkan kepalanya keatas menatap ratusan burung-burung yang berterbangan panik meninggalkan sarangnya.
Dan di kejauhan, dari balik pohon beringin besar, seorang anak kecil dengan mata merah tersenyum ke arah mereka.
Sayup-sayup terdengar suara Kya Amin tampak membaca dzikir.
Tak lama awan hitam pun mulai menghilang. Angin kencang pun mereda, dan suara petir pun menghilang.
Bocah kecil itu masih menatap tajam kearah Prayitno.
Sadar jika ada seseorang yang memperhatikan dirinya, Prayit pun menoleh kearah pohon beringin.
"Aryo??" ia mengusap matanya untuk memastikan anak kecil itu adalah Aryo Putranya
"Bukan, itu bukan Aryo??" gumamnya
Malam itu menjadi malam paling mencekam bagi keluarga Prayitno. Setelah kejadian di reruntuhan rumah Suryati, Aryo mulai berubah. Ia lebih sering menyendiri, tak banyak bicara, dan kadang duduk memandangi lilin yang ia nyalakan sendiri di pojok kamar.
Nurul menyangka anaknya hanya stres. Ia pun melaporkan kelakuan putranya kepada suaminya Prayit.
"Mas, Aryo stress, lihatlah dia, sedari tadi ia hanya menyalakan lilin dan memandanginya berulang-ulang,"
"Hmm," Prayit mengamati bocah itu dari kejauhan
Ia melihat sesuatu yang berbeda pada diri putranya Aryo.
Tatapan matanya begitu tajam berbeda dengan biasanya. Bahkan dari caranya menyalakan Lilin ia tahu, ada yang menumpang di tubuh putranya.
Pengalaman sudah memberinya kemampuan alami untuk mengetahui kedatangan makhluk dari dunia lain.
Ia pun memutuskan untuk memanggil Kyai Amin ke rumah. Kyai Amin datang ditemani seorang santri muda, membawa kitab dan kendi air yang sudah diritualkan.
Ketika mereka masuk ke kamar Aryo, anak itu menatap Kyai dengan senyum aneh dan berkata, “Sudah tua kau, Amin , Apa kau masih sanggup melawan ku?" tanyanya kemudian menyeringai
Suara Aryo, bukan suara bocah itu. Suaranya terdengar lebih berat. Terdengar seperti suara itu berasal dari banyak mulut.
Kyai mulai membacakan ayat-ayat suci. Aryo mulai mengerang. Lampu kamar berkedip. Bayangan di dinding mulai bergerak sendiri.
“Kembalikan tubuh ini!” teriak Prayitno, menggenggam tasbih warisan ibunya.
Namun suara itu hanya tertawa. “Tubuh ini milikku sekarang. Leluhurmu yang membuka pintunya. Kini kau akan menuai apa yang sudah kau tanam.”
Kyai melanjutkan doanya, hingga tubuh Aryo kejang hebat. Suara teriakan berubah jadi suara wanita tua, suara itu adalah suara Mariani.
“Aku akan kembali, darah anakmu, adalah kunci!”
Tiba-tiba tubuh Aryo terhempas ke belakang dan pingsan. Ruangan seketika berubah sunyi. Tapi Kyai Amin tahu itu belum selesai.
Setelah diperiksa, ditemukan tanda baru di punggung Aryo. Sebuah rajah berbentuk matahari berdarah, lambang yang sama yang dahulu digunakan dalam altar pesugihan.
“Mariani tak sepenuhnya hancur,” ujar Kyai Amin
“Ia menjelma dalam bentuk yang lebih licik. Ia butuh wadah yang bersih dan anakmu adalah calon sempurna.” imbuhnya
Prayitno tersungkur. Ia merasakan tubuhnya begitu lemas. Ia tak sanggup melihat anaknya menjadi korban seperti putranya yang terdahulu.
Kyai Amin menatapnya dalam.
“Masih ada waktu. Tapi kau harus melawan dengan jiwa dan darahmu sendiri, karena hanya garis keturunanmu yang bisa menghentikan ini sepenuhnya.”
Hujan deras mengguyur desa malam itu. Angin kencang berhembus dari arah timur, membawa suara-suara aneh dari hutan dekat makam tua. Prayitno duduk di beranda rumahnya, memandangi kalung peninggalan ibunya yang kini tampak lebih berat, seolah menyimpan beban yang belum usai.
Kyai Amib datang kembali, membawa dua buah benda, keris kuno dan kendi tanah liat yang ditutup kain putih.
“Sudah saatnya, Prayit,” ucap Kyai lirih. “Kau harus melakukan ritual pemutus darah.”
Prayitno menatapnya lekat. “Apa maksudnya?”
“Kutukan pesugihan itu seperti rantai. Kau adalah mata rantai terakhir. Untuk memutusnya, kau harus memberi sesuatu yang sebanding dengan nyawa.”
Prayitno terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini.
“Apakah aku harus mati?”
Kyai menggeleng. “Tidak harus mati, tapi kau harus menyerahkan jiwa lamamu. Kau harus meninggalkan semua ikatan yang membawamu pada warisan darah itu. Kalung itu adalah jembatannya. Kau harus menghancurkannya, dan melakukannya saat malam purnama, di lokasi awal kutukan dimulai.”
Prayitno memutuskan untuk melakukan apa yang di sarankan oleh Kyai Amin. Malam itu ia pergi ke sisa altar di rumah Mariani.
Altar itu sudah berbeda. Semuanya sudah habis terbakar, kini yang tersisa hanya tumpukan batu hitam yang telah ditutupi semak dan rumput liar.
Malam itu, ditemani Kyai dan beberapa warga, ia membawa Aryo yang masih dalam pengaruh kutukan ke Altar persembahan. Meskipun Altar itu sudah tak berbentuk seperti sebelumnya, namun aura mistisnya masih begitu terasa.
Aryo tampak menggigil saat tiba di depan altar. Matanya berkabut dengan tubuh yang kaku dan dingin seperti es.
Sesampainya di altar, Kyai mulai ritual pemutusan. Aryo di baringkan di sebuah tikar pandan. Doa-doa dilantunkan, dupa dinyalakan. Keris diletakkan di depan batu, dan kendi dibuka. Kyai Amin mengambil kendi itu dan menuangkan Air dari tujuh sumber mata air suci perlahan ke tubuh Aryo.
Saat detik puncak, Prayitno menggenggam kalung ibunya. Tangannya gemetar, ia merasakan ada kekuatan besar yang mulai menyerangnya. Membelenggunya untuk tidak melanjutkan ritual.
Tiba-tiba, Aryo menjerit keras, matanya berubah merah, tubuhnya melayang beberapa inci dari tanah.
“JANGAN!! DIA WARISANKU!!” suara Mariani menggelegar, menggema dari tanah dan pepohonan.
Petir menyambar. Hujan berhenti seketika. Kyai Amin memberikan isyarat kepada Prayit untuk segera mengakhiri ritualnya.
Prayitno menggenggam keris. Ia mengucapkan doa terakhir, lalu menghantamkan kalung itu ke batu altar dengan keris tersebut.
Ledakan cahaya putih menyilaukan, membuat semua orang langsung menutup matanya.
Jeritan Mariani memekakkan telinga, hingga perlahan, hilang ditelan bumi. Aryo terjatuh, tak sadarkan diri, seketika wajahnya menyeramkan nya kembali damai.
Kalung itu hancur menjadi debu. Batu altar retak dan terbelah dua. Rantai telah diputuskan.
Kyai Amin tersenyum lelah. “Kamu berhasil, Prayit. Sekarang kamu sudah menyelamatkan keturunanmu dari kutukan itu,"
"Alhamdulillah, semoga saja setelah ini tidak ada lagi teror atau gangguan di keluarga ku," jawab Prayit
"Tentu saja, Kutukan itu sudah kamu putuskan. Tak ada lagi warisan, tapi kamu harus tetap menjaga Aryo, karena bagaimanapun juga dia bisa saja menghubungkan kembali kamu dengan kutukan itu,"
jd ngeri