Cerita ini season dua dari Istri Kesayangan Bule Sultan. Bercerita tentang perseteruan antar ayah dan anak yang berlomba-lomba merebut perhatian Mommy nya.
"Hari ini Mommy akan tidak bersama ku."
"Tidak! Mommy milik adek!"
"Kalian berdua jangan bertengkar karena karena Mommy akan tidur dengan Daddy, bukan dengan kalian berdua."
"Daddy!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mawar Jk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 10
Sesuai dugaan kalau orang pada datang ke rumah saat mengetahui kedatangannya. Suasana rumah Melati pun berubah seperti hari raya. Ruang keluarga dipenuhi suara tawa dan obrolan bertumpuk.
Kursi-kursi plastik tambahan dikeluarkan, tikar digelar sampai ke teras. Anak-anak berlarian di halaman, bermain petak umpet, tertawa riang.
Aidan dan Matthew awalnya sempat kebingungan melihat banyak wajah baru, tapi mereka cepat menyesuaikan diri. Lily dan Lisa menemani dan memperkenalkan keponakannya pada anak-anak yang lain.
"Ini Matthew dan Aidan, mereka dari luar negeri dan bisa bahasa Bugis kok, apalagi bahasa Indonesia"
Matthew tersenyum kecil. “Sedikit-sedikit, masih belajar,” ujarnya sopan. Semua anak langsung mengerubunginya, terutama karena robot Max yang dibawa Aidan kemarin kini jadi atraksi utama.
“Ini robot bisa ngomong?” tanya seorang anak sambil menyentuh kepala Max dengan hati-hati.
“Bisa. Tapi harus pakai kode. Nih, aku ajarin,” ujar Aidan, wajahnya bersinar semangat. Ia mengeluarkan iPad dari tas kecilnya dan duduk di tikar bersama anak-anak lain yang segera mengelilinginya seperti murid mendengarkan guru.
“Max, aktifkan mode permainan,” ucap Aidan sambil menekan tombol di layar.
Max mengedipkan lampu di dadanya dan berkata dalam suara robotik yang jernih, “Mode permainan diaktifkan. Selamat datang, Aidan!”
Anak-anak menjerit kegirangan. “Waaaah! Hebat!” sorak mereka serempak.
Sementara itu, para orang bercengkrama di ruang keluarga. Ditengah-tengah mereka sudah ada makanan yang tadinya Maizah beli. Mereka berbincang dan sesekali memakan kue tersebut.
Maizah duduk di ruang tengah, dikelilingi para tante dan om-nya yang silih berganti bertanya kabar.
“Anakmu udah besar ya, Maizah. Ganteng-ganteng.”
“Suamimu makin mirip aktor luar negeri.”
“Kapan baliknya? Lama di sini, kan?”
Ia menjawab satu per satu dengan sabar, sesekali tertawa ketika ada yang menyinggung soal masa kecilnya. Semua terasa hangat, bahkan lebih hangat dari yang ia bayangkan.
Tak jauh dari sana, Arvid duduk santai di teras bersama para bapak-bapak lainnya. Di hadapan mereka, cangkir-cangkir kopi mengepul dan piring kue mulai kosong satu per satu.
“Mas Arvid ini betah di Indonesia?” tanya Pak Salim, tetangga lama.
“Betah, Pak. Makanannya enak-enak. Orangnya juga ramah,” jawab Arvid sambil tersenyum sopan.
Seketika Aidan muncul membawa iPad dan robot Max-nya. Ia menghampiri ayahnya yang sedang duduk di teras.
“Daddy, tolong sambungkan Max ke iPad ini. Aku mau tunjukin satu fitur keren ke teman-teman,” pintanya sambil menyerahkan perangkat itu.
Arvid menerima iPad dan langsung membuka aplikasi yang terhubung dengan robot Max.
“Oke, Max sudah tersambung,” kata Arvid sambil mengangguk pada Aidan.
Aidan melompat kegirangan. “Thank you, Daddy!”
Ia berlari kembali ke kerumunan anak-anak dan menunjukkan fitur ‘Augmented Reality’ milik Max yang bisa memunculkan gambar 3D lewat layar iPad. Anak-anak semakin kagum.
“Wah, robotmu kayak bisa sihir!” seru anak-anak itu.
“Bukan sihir, ini teknologi,” jawab Matthew dengan bangga. “Tapi jangan tekan tombol merah ya, nanti Max jadi gelut mode.”
“Gelut? Maksudnya berantem?” tanya anak lain, geli.
“Iya, dia bisa pura-pura jadi ninja kalau aktifin mode itu.”
Tawa anak-anak meledak. Mereka tertawa bukan hanya karena robot Max, tapi juga karena betapa lucunya Matthew dan Aidan menjelaskan segala sesuatu dengan gaya khas anak luar negeri yang sok serius tapi tetap lucu.
Saat waktu isya tiba, satu per satu tamu pamit pulang. Mereka menenteng oleh-oleh yang sudah dikemas oleh Maizah dan dibagikan dengan senyum tulus. Ada yang membawa kue, gantungan kunci, kaos bergambar salju, hingga permen khas dari negara UK. Semua senang, dan semua terlihat puas.
Kini, rumah Melati kembali tenang. Hanya tersisa keluarga inti: Maizah, Arvid, Aidan, Matthew, Melati, dan Akhdan. Mereka duduk di ruang tengah
Aidan dan Matthew, yang tadinya sibuk bermain, kini duduk di karpet besar sambil menikmati kue talam yang belum sempat mereka cicipi tadi. Di samping mereka, Melati dan Akhdan duduk menyilangkan kaki, mengamati kedua cucunya yang makan dengan lahap.
"Enak?" tanya Melati sambil tersenyum, matanya hangat menatap Aidan dan Matthew.
"Enak!" jawab keduanya serempak, dengan pipi penuh kue. Suara mereka membuat seluruh ruangan kembali tertawa kecil.
"Nanti kalian tinggal saja sama nenek dan kakek di sini ya," ujar Melati sambil mengelus kepala Aidan yang duduk bersandar manja di pahanya.
Aidan hanya tersenyum, tidak langsung menjawab. Tapi Matthew, yang lebih cepat menelan kuenya, langsung merespons.
"Kami sekolah, Nek... Di sana," katanya dengan logat khas, tangannya menunjuk ke arah Arvid yang duduk bersandar di kursi rotan sambil membaca pesan di ponselnya.
Melati tersenyum, paham bahwa cucu-cucunya punya kehidupan sendiri di luar negeri. “Iya, nenek tahu… tapi kapan-kapan libur panjang tinggal sini ya. Biar nenek bisa ajak jalan-jalan ke pantai, mancing di danau, atau lihat kebun.”
"Seru nggak?" tanya Aidan polos.
"Seru dong. Di sini ada ayam, kambing, bahkan kuda poni. Kamu pasti suka," jawab Akhdan sambil mengedip pada Aidan.
“Wah! Kuda poni beneran?” tanya Matthew, matanya membulat.
“Beneran. Tapi jangan dibayangkan kayak di film ya, ini kuda kecil, agak bandel, tapi lucu,” kata Akhdan sambil tertawa.
Aidan dan Matthew saling melirik. Keduanya langsung terlihat antusias. “Aku mau coba naik!” seru Aidan.
“Nanti, besok pagi ya,” jawab Melati.
Maizah muncul dari dapur sambil membawa dua gelas susu hangat. “Nah, ini buat dua anak pintar yang hari ini udah hebat banget. Aidan, Matthew... minum dulu sebelum tidur.”
Keduanya langsung meraih gelas mereka. “Thank you, Mom,” kata Matthew.
“Merci, Mommy,” ucap Aidan, meniru gaya Eropa-nya.
“Wah, bahasa apalagi itu?” goda Melati sambil mencubit gemas pipi Aidan yang montok.
“Bahasa Prancis, Nek!” jawab Aidan cepat, merasa bangga. “Aku belajar di sekolah.”
Matthew mengangguk kecil. “Aidan suka sok-sokan bisa banyak bahasa. Padahal baru belajar juga.”
Melati tertawa geli melihat tingkah dua cucunya itu. “Wah, anak-anak zaman sekarang memang pintar-pintar. Nenek sampai kalah jauh.”
Maizah yang sedari tadi duduk di sebelah ibunya, menyandarkan kepalanya ke bahu Melati. Sejenak ia menutup mata, menghirup aroma khas dari tubuh ibunya.
Meskipun sudah punya dua anak, saat bersama ibunya, ia selalu kembali menjadi gadis kecil yang manja dan ingin dipeluk.
Melati mengusap lembut rambut Maizah. Gerakan itu membuat Maizah hampir menitikkan air mata. Ada rindu yang tak pernah selesai untuk pelukan seorang ibu, betapapun usia bertambah dan hidup berubah.
Setelah menghabiskan susunya, Lily mengajak Matthew dan Aidan mandi. Ia akan mengawasi kedua ponakannya itu mandi.
“Yuk, anak-anak, waktunya mandi. Nanti tidur jadi lebih nyenyak,” ajaknya ceria.
“onty Lily temani kami mandi?” tanya Aidan, matanya berbinar.
“Iya dong. Mommy udah capek, kan? Onty Lily aja yang urus sekarang,” jawab Lily sambil menyeringai kecil ke arah Maizah.
Maizah tertawa pelan. “Sudah aku siapin piama mereka di koper. Di kamar depan, Lil. Tolong ya.”
“Oke, gampang,” jawab Lily. Ia menggandeng tangan Aidan dan Matthew. Kedua bocah itu menurut, berjalan bersama tantenya menuju kamar mandi sambil saling dorong kecil dan tertawa-tawa.
Tbc.
semangatttt