"Dendam bukan jalan keluar. Tapi bagiku, itu satu-satunya jalan pulang"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Bocah itu bersiul-siul pelan sambil menginjak beberapa lintah yang mencoba menempel di kakinya. Perbuatannya tampak aneh dan menjijikkan. Darah yang keluar dari lintah-lintah itu mencemari air rawa, hingga lintah-lintah lain kebingungan, mengira darah tersebut berasal dari sesama mereka. Lintah-lintah itu pun saling menyerang satu sama lain, masing-masing mengira yang lain adalah mangsa. Pemandangan itu membuat si bocah tertawa senang.
Ia lalu duduk di samping perapian, memungut beberapa lintah yang telah dipanggang, lalu melahapnya dengan rakus. Padahal, lintah-lintah itu belum benar-benar matang darahnya masih menetes dan mengotori sekitar mulut si bocah.
Dua pasang mata mengintip dari balik rimbunnya pepohonan, menyaksikan dengan rasa mual yang dalam. Namun bocah itu tetap asyik menyantap lintah-lintah mentah itu, bersiul-siul kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala, seolah benar-benar menikmati setiap gigitannya.
Tiba-tiba, sebuah bayangan berkelebat cepat dan mengambil salah satu lintah yang masih terpanggang. Bayangan itu lalu hinggap di atas batu besar, tak jauh dari si bocah.
“Hei…!” bentak si bocah marah. Tapi begitu ia melihat siapa yang sedang memakan lintah tangkapannya dengan rakus, ekspresinya berubah. Ia membanting kakinya ke tanah sebagai tanda kesal.
Di atas batu itu, tampak seorang nenek tua berpakaian mewah berwarna merah. Rambut putihnya terurai panjang, dan wajahnya yang Keriput di wajahnya berusaha ditutupi dengan bedak tebal. Bibirnya yang tebal dipulas lipstik merah samar, bercampur darah segar yang menetes dari lintah yang baru saja dimakannya.
“Bocah Setan Tua... kenapa kau tidak mengajakku kalau punya makanan selezat ini?” seringaian si perempuan berpenampilan nyentrik, menyeringai puas.
“Itu milikku, Nenek Peniup Dupa!!” bentak bocah yang disebut sebagai Bocah Setan Tua pada perempuan itu, yang dijuluki Nenek Peniup Dupa. Bentakan itu membuat dua pasang mata yang mengintip sejak tadi membelalak kaget mendengar siapa sebenarnya kedua orang aneh ini.
Mereka sudah pernah mendengar tentang dua tokoh legendaris itu. Bocah Setan Tua, sebenarnya adalah seorang kakek berusia lebih dari seratus tahun yang konon pernah mengalahkan seekor ular piton raksasa, penguasa Pulau Hantu. Setelah membunuhnya dan meminum darahnya, ia memperoleh kesaktian luar biasa yang membuat tubuhnya kembali seperti anak-anak namun dengan kekuatan yang bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya.
Sementara itu, Nenek Peniup Dupa juga tak kalah terkenalnya. Ia dikenal sebagai tokoh sesat yang sangat ditakuti. Rambutnya yang panjang terurai bisa berubah menjadi senjata tajam yang mematikan. Tak satu pun korban serangannya yang pernah selamat.
Dua tokoh itu dulu dikenal sebagai penguasa rimba persilatan, sebelum kemunculan Datuk Pengemis Nyawa dan para tokoh besar lainnya dalam dunia persilatan...
Ia seangkatan dengan Pengemis Gila dari Utara, yang kini telah uzur dimakan usia. Sudah lama tidak terdengar kabar tentang sepak terjang mereka berdua. Ada yang bilang mereka telah mati, ada pula yang menyebar kabar bahwa keduanya memilih mengasingkan diri dan tak lagi mencampuri dunia persilatan. Tapi entah kenapa, kini mereka muncul kembali. Sudah pasti ada alasan besar yang membuat mereka keluar dari pertapaan.
“Kenapa kau muncul, Bocah Setan Tua? Bukankah kau sudah bersumpah tidak akan mencampuri dunia yang kacau ini lagi?” tanya Nenek Peniup Dupa dengan nada menyindir.
“Kau sendiri kenapa ada di sini? Bukannya tiap hari kau sibuk berpesta dengan para pemuda di gua mu?” balas Bocah Setan Tua sambil memungut seekor lintah dari atas perapian dan mengunyahnya dengan santai.
“Ahhh… mereka membosankan semua. Tapi aku dengar ada pemuda hebat yang tampan... siapa tahu bisa kupikat. Hik… hik… hik…” Nenek itu menyeringai genit.
“Aku juga penasaran pada pemuda yang katanya lancang menantang Datuk Pengemis Nyawa itu,” sahut Bocah Setan Tua.
“Katanya, Pengemis Nyawa mengundang beberapa tokoh hebat. Apa kau juga diundang olehnya?”
"Aku tidak diundang oleh siapa pun. Aku hanya penasaran dengan kejadian yang menggegerkan dunia persilatan…" ujar Bocah Setan Tua dengan tenang sambil tetap mengunyah hidangannya.
"Bagaimana kalau kita masuk ke dalam? Siapa tahu Pengemis Nyawa menyajikan hidangan yang lebih lezat dari makananmu itu," ajak si Nenek sambil menatap ke arah tebing yang di tengahnya terdapat ceruk gua, tak jauh dari tempat mereka berada.
"Aku tidak bisa naik ke sana… jadi gendong aku!!" rengek si bocah, membuat si Nenek terkejut sejenak sebelum tertawa terkekeh.
"Bilang saja kau ingin meraba-raba dadaku, dasar kakek mesum," ledek si Nenek, namun tetap membungkuk, menawarkan punggungnya untuk dinaiki si Bocah.
Sementara itu, di dalam ceruk gua yang terletak di tebing tak jauh dari Muara Lintah, terdapat sebuah ruangan cukup luas yang ditata rapi hingga menyerupai aula. Celah-celah batu di sekitar ruangan memungkinkan sinar matahari menerobos masuk, menjadikan pencahayaan di dalam cukup terang.
Di bagian utara gua, terdapat sebuah tempat yang lebih tinggi, di mana berdiri sebuah kursi besar. Di atasnya duduk seorang kakek berwajah tirus, mengenakan topi besar dan mantel panjang yang menutupi tubuh setengah bungkuknya. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat dari kayu jati hitam.
lanjut dong