Setelah tau jika dia bukan putri kandung Varen Andreas, Lea Amara tidak merasa kecewa maupun sedih. Akan tetapi sebaliknya, dia justru bahagia karena dengan begitu tidak ada penghalang untuk dia bisa memilikinya lebih dari sekedar seorang ayah.
Perasaannya mungkin dianggap tak wajar karena mencintai sosok pria yang telah merawatnya dari bayi, dan membesarkan nya dengan segenap kasih sayang. Tapi itu lah kenyataan yang tak bisa dielak. Dia mencintainya tanpa syarat, tanpa mengenal usia, waktu, maupun statusnya sebagai seorang anak.
Mampukah Lea menaklukan hati Varen Andreas yang membeku dan menolak keras cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annami Shavian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MCD 11
"Tuan. Selamat pagi !!" Pelayan rumah besar bak istana itu tersenyum dan sedikit membungkuk begitu menyadari kedatangan Varen ke meja makan.
Varen hanya menarik ujung bibirnya ke sisi lalu duduk di atas kursi yang barusan digesernya. Dia melihat pada jam di tangannya dan bertanya pada pelayan itu." Apa bibi melihat Lea sudah turun?"
"Saya belum melihat nona pagi ini. Tampaknya nona Lea masih di kamarnya. Apa perlu saya panggilkan?"
Varen tak langsung menyahut. Pria itu terdiam dengan perasaan merasa bersalah mengingat yang tadi malam. Lea tampaknya kecewa sekali padanya.
"Tidak usah. Biar aku saja," sahut Varen yang berpikir dia harus menemui Lea terlebih dahulu sebelum berangkat ke luar kota.
Varen kemudian bangkit dan berjalan ke arah dimana keberadaan lift. Memencet panel, dan sedetik kemudian pintu lift terbuka.
Dalam hitungan beberapa detik saja, Varen kini sudah berada di lantai dua. Dia bergegas menuju kamar Lea yang sebenarnya tak jauh dari kamarnya. Karena itu, Varen menyesal kenapa tadi tidak ke kamar Lea terlebih dulu sebelum turun supaya tidak membuang waktu.
Begitu Varen masuk ke dalam kamar Lea yang tak pernah di kunci, Varen melihat gadis itu masih bergumul di bawah selimut dengan posisi memunggungi.
"Anak ini malas sekali. Apa dia tidak tau sekarang sudah jam berapa?" Sambil mendekat ke arah ranjang, Varen menggerutu lirih. Dia merendahkan bo-kongnya dan duduk di tepi ranjang.
Varen diam beberapa detik, kemudian menggoyang pelan lengan Lea yang di tutupi selimut tebal sambil berkata," bangun, Lea. Sudah jam setengah delapan. Bukannya kamu akan pergi ke kampus pagi ini?"
Tak ada sahutan dari Lea atau sekedar menggeliat. Gadis itu tak bergerak sama sekali. Tetap pada posisinya.
Kali ini, Varen menyentuh pipi Lea. Tapi begitu telapak tangan Varen menyentuh pipi mulus Lea matanya seketika membola. Dia kaget karena merasakan suhu panas di tubuh Lea.
Dengan wajah cemas, Varen membuka paksa selimut yang menutupi seluruh tubuh Lea. Rasa khawatir Varen semakin bertambah dan panik begitu mendapati pakaian tidur yang di kenakan Lea merembes basah oleh keringat yang mengucur dari tubuhnya.
"Astaga, Lea. Kamu demam tinggi," pekik Varen setengah terkejut setengah panik.
Ketika Varen hendak berdiri, tiba-tiba Lea menahan tangannya dan berkata lirih tanpa membuka matanya." Don't go, Daddy. Please."
Varen terdiam dan membatin 'jadi Lea sebenarnya sudah bangun dan tau jika ada aku' lalu duduk seperti semula. Dia berkata menenangkan Lea seraya mengusap lembut tangannya." Daddy tidak akan pergi kemana-mana. Kamu tenang ya!"
Mendengar kata-kata lembut itu, Lea merasa hatinya menghangat. Rasa sakit di tubuhnya yang dia tahan sejak dari semalam seolah menghilang begitu saja.
"Tapi, daddy harus menghubungi dokter Reza dulu. Kamu tunggu sebentar ya!!"
"Im fine, dad. Asalkan Daddy tetap ada di sini aku akan baik-baik saja," cegah Lea dengan mata yang tetap memejam.
Varen merasa tangan Lea semakin erat menahannya. Sepertinya Lea benar- benar tak mengijinkan nya pergi barang sebentar.
"Tubuh mu sangat panas, Lea. Sakit mu tidak bisa di biarkan. Daddy janji tidak akan keluar dari kamar mu. Daddy hanya ingin menelpon dokter Reza supaya datang kemari untuk memeriksa mu. Sedetik saja."
Varen tersenyum begitu tangan Lea sedikit meregang. Dengan lembut, dia meletakkan tangan Lea pada kasur.
Varen menjauh sedikit dari Lea, kemudian menghubungi dokter Reza. Selanjutnya, Varen menghubungi Rey.
"Dengarkan aku, Rey. Kau gantikan aku untuk bertemu dengan Mr Gerald di kota B pagi ini."
Rey terlonjak dari atas pembaringannya ketika Varen memberi perintah secara mendadak. Oh Shiiit !!! Rey mengumpat kesal dalam hatinya.
Rey tentu saja terkejut. Tadinya, dia akan sedikit bersantai karena hari ini Varen hendak ke luar kota tanpa di temani olehnya. Jadi, dia akan pergi ke kantor agak siangan saja karena tidak ada bos pikir Rey.
"Ta-tapi kenapa, Tuan? kenapa harus mendadak seperti ini?" Rey protes karena merasa keberatan dengan permintaan Varen yang seenak jidatnya. Masalahnya, banyak hal yang belum dia persiapkan. Selain materi pembahasan dengan Mr Gerald, saat ini saja dia belum apa-apa termasuk belum mandi.
"Sudah. Kau tidak perlu banyak tanya. Dan segera lah mandi karena aku tau kau pasti baru bangun. Ck, asisten macam apa kau Rey tidak profesional sama sekali."
Perkataan Varen berhasil membuat Rey menegang. Bagaimana mungkin Varen bisa tau jika dirinya baru bangun tidur? Apa dia menyewa seorang detektif untuk memata-matainya?
"Ma-maaf, Tuan. Apa saya boleh....."
Tut
Rey melempar ponselnya ke atas ranjang begitu sambungan diputus secara sepihak, lalu pria itu bergegas ke kamar mandi dengan perasaan kesal.
Sambil menunggu dokter Reza datang, Varen meminta pelayan untuk membuatkan bubur via telpon. Lalu mengompres kening Lea dengan harapan suhu panas di tubuh Lea sedikit menurun.
Varen memperhatikan wajah cantik Lea yang terpejam dan terlihat pucat, serta bibir sedikit bergetar. Dia rasanya tak tega melihat keadaan Lea. Putrinya yang selalu ceria kini tak berdaya.
Rasa bersalah seketika menyelimuti perasaan Varen. Dia berpikir Lea sakit pasti gara-gara tadi malam.
"Maafkan Daddy, Lea," sesal Varen.
"Kenapa Daddy minta maaf?" Lea menyahut dengan suara lirih, dan mata tetap memejam.
"Kamu sakit karena Daddy, kan?"
Varen melihat bibir Lea melengkung membentuk senyuman tipis. Dalam keadaan sakit saja, Lea berusaha tersenyum seolah menunjukan padanya jika kondisinya tak perlu di khawatirkan.
"Tidak ada hubungannya sakit ku dengan Daddy. Lagi pula Daddy tidak salah apa-apa kenapa harus minta maaf."
Krek.
"Selamat pagi Tuan Varen !!"
Dalam waktu yang bersamaan, dokter yang sedang di tunggu-tunggu kini tiba. Pria baya berkaca mata itu mendekat setelah Varen mempersilahkan nya masuk. Dokter itu segera melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap tubuh Lea.
"Bagaimana keadaan Lea, dokter Reza? Tidak ada yang di khawatirkan, kan?" Tanya Varen dengan harap-harap cemas.
"Sepertinya nona Lea harus di bawa ke rumah sakit, Tuan," imbuh dokter Reza.
Deg
Jantung Varen berdentam. Jika harus di bawa ke rumah sakit itu artinya sakit Lea adalah sakit yang serius.
"Me-memangnya putri saya sakit apa, dok?" Sambil menahan sesak, Varen bertanya.
"Jika dari ciri-cirinya nona Lea mengalami gejala tipes."
Varen mengusap wajahnya dan menghela nafas. Perasaannya kini sedikit lega setelah dokter memberitahu penyakitnya. Setidaknya, penyakit yang di derita Lea bukan penyakit ganas yang mematikan atau tak bisa di sembuhkan. Karena dia tak ingin kehilangan Lea. Bahkan, dia tak akan sanggup menjalani hidup tanpa Lea.