NovelToon NovelToon
Tua Dalam Luka

Tua Dalam Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Beda Usia / Pelakor / Suami Tak Berguna
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Minami Itsuki

aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SAKIT LAMBUNG

Sudah lebih dari satu jam, suamiku belum keluar dari kamar belakang. Ponselnya tak henti-henti terdengar, kadang suara penuh tekanan menyelip di antara percakapan itu. Kupastikan, ia sedang berbicara dengan wanita itu—istri mudanya. Wulan.

Aku hanya duduk di ruang depan, pura-pura sibuk mencatat keuangan toko, tapi sebenarnya telingaku waspada, menangkap setiap nada suara dari balik tembok tipis itu. Betapa mudahnya lelaki tua itu dibodohi oleh rayuan seorang janda yang bahkan sekarang—tanpa sepengetahuannya—sedang berjalan mesra dengan mantan suaminya.

Ironis, bukan?

Suamiku yang dulu begitu setia, kini jadi lelaki tua rapuh yang rela dihancurkan harga dirinya demi cinta palsu. Dia pikir Wulan mencintainya, tapi nyatanya dia hanya dijadikan sapi perah. Dan sekarang, perempuan itu bahkan berani bertemu mantannya lagi, entah untuk alasan apa.

Kupandangi pintu kamar yang belum juga terbuka.

Hatiku tidak lagi marah. Tidak juga cemburu. Aku hanya kasihan. Bukan pada suamiku—tapi pada diriku sendiri, yang selama ini sudah memberikan segalanya untuk seorang laki-laki yang ternyata tidak tahu artinya setia dan bersyukur.

Perlahan aku berdiri, menyiapkan diri untuk menghadapi kenyataan berikutnya. Karena cepat atau lambat, kebenaran akan pecah seperti kaca yang tak bisa disatukan lagi. Dan saat itu tiba, aku ingin jadi perempuan yang berdiri paling tegak. Bukan dengan amarah, tapi dengan harga diri.

Setelah selesai istirahat, suamiku kembali ke meja kasir. Langkahnya pelan, wajahnya masih terlihat pucat dan lemas. Aku tahu ia belum juga makan sejak pagi, mungkin bahkan sejak semalam. Tapi aku tak berniat bertanya.

Karena ia sudah selesai dengan istirahatnya, aku memutuskan untuk pulang. Tak lupa aku membawa uang hasil penjualan hari ini. Aku berdiri mengambil tasku, bersiap untuk pulang. Tak banyak yang ingin kuucapkan, tapi aku tahu aku harus meninggalkan satu pesan, sebelum semuanya benar-benar tak bisa diselamatkan.

Suamiku duduk di balik meja kasir, masih tampak lelah, lesu, dan kehilangan semangat. Aku mendekat, menatap wajahnya yang dulu begitu aku banggakan—sekarang hanya tersisa sosok laki-laki tua yang penuh beban.

"Aku pulang," ucapku pelan. Ia terdiam. Aku menatapnya lebih dalam.

"Pak… Kalau istri mudamu nggak bisa merawat kamu, jangan harap aku yang akan turun tangan. Kamu punya ibu. Punya saudara. Waktu kamu punya banyak uang, mereka ikut senang, ikut menikmati. Sekarang saat kamu susah, biar mereka yang rawat kamu."

Wajahnya langsung tertunduk. Tapi aku tak menunggu respons.

Aku lanjut, suaraku tegas, tapi tetap tenang.

"Aku sudah terlalu sering dikhianati. Dan aku cukup waras untuk tahu, kalau aku terus bertahan, aku hanya akan makin disakiti. Jadi, tolong… jangan lagi cari aku kalau mereka yang kamu banggakan dulu bahkan nggak sanggup bantu kamu sekarang."

Aku melangkah pergi. Suara langkah kakiku menggema di ruangan toko yang sepi. Tak ada suara dari suamiku, hanya sunyi yang menyertai.

Dan mungkin… untuk pertama kalinya, dia benar-benar merasa kehilangan.

...****************...

Malam itu, saat aku sedang bersiap untuk tidur, ponselku berdering. Sebuah pesan masuk dari salah satu karyawan toko.

“Bu, maaf ganggu. Pak Ramli sekarang lagi di bawah ke klinik. Katanya kena asam lambung. Tadi pingsan sebentar di toko.”

Sejenak aku terdiam. Tanganku menggenggam ponsel erat-erat.

Aku menarik napas dalam-dalam. Bukan karena panik. Bukan karena khawatir. Tapi karena… hatiku masih belum bisa mengerti kenapa aku harus selalu menjadi orang yang akhirnya dipanggil saat dia sakit.

Aku membalas singkat,

“Oke. Saya ke sana.”

Kakiku melangkah pelan keluar kamar. Dalam hati, aku bertanya-tanya…

Kenapa bukan Wulan yang datang? Bukankah dia istri muda yang katanya bisa membuat hidup Ramli lebih bahagia?

Di perjalanan menuju klinik, pikiranku campur aduk. Aku tidak ingin terlihat peduli. Tapi juga tak bisa menutup mata ketika suamiku sendiri dalam keadaan tak berdaya.

Sesampainya di klinik, aku melihat tubuh Ramli terbaring lemas di ranjang kecil ruang UGD. Wajahnya pucat, tangan menggenggam perutnya dengan lemah.

Perawat menyambutku,

"Ibu istrinya Bapak Ramli, ya? Tadi suami ibu dibawa sama temannya. Mungkin kecapekan, terus telat makan."

Aku hanya mengangguk pelan. Tanpa sadar aku duduk di samping ranjang itu.

Menatap wajah lelaki yang dulu begitu gagah… kini terkulai, sendirian, tanpa istri mudanya di sisi.

Perlahan mata suamiku terbuka. Tatapannya masih sayu, wajahnya pucat, dan bibirnya tampak kering. Ia tampak berusaha mengenali sekeliling, lalu pandangannya tertuju padaku yang duduk di samping ranjang.

“Rukayah…” suara itu lirih, serak, hampir tak terdengar.

Aku hanya diam, menatapnya datar. Tak ada senyum. Tak ada belaian. Hanya pandangan seorang istri yang sudah terlalu sering dikhianati tapi masih juga jadi tempat bersandar saat tak ada yang peduli.

Aku langsung mengeluarkan ponsel dari tas dan mulai mencari nama yang sudah lama tak kusapa—Ratna, adik Ramli.

Ramli yang masih terbaring lemah menoleh pelan ke arahku, keningnya berkerut.

“Bu… kamu ngapain?” suaranya lirih, nyaris tak percaya.

Aku tak menjawab, hanya menempelkan ponsel ke telinga. Suara sambungan terdengar beberapa kali sebelum akhirnya diangkat.

“Halo?” suara perempuan di seberang sana terdengar agak kaget.

“Ratna, ini aku, Rukayah. Masmu masuk klinik, kena asam lambung. Sudah dari pagi dia nggak makan. Kalau kamu dan keluargamu masih punya sedikit rasa peduli, tolong datang ke sini sekarang,” ucapku tegas, tanpa basa-basi.

“Loh… kenapa bisa begitu, Mbak? Kok bisa sampai nggak makan?”

Ratna mulai panik. Tapi aku langsung potong.

“Tanyakan itu ke dirimu sendiri. Ke keluargamu. Kalian yang sibuk minta bagian dari hartanya, tapi waktu dia susah begini, ke mana kalian?”

Ramli menatapku dengan mata berkaca. Ia terlihat begitu heran dan tak menyangka aku akan menghubungi adiknya—orang yang selalu ikut menyudutkanku di belakang.

“Aku kirim alamatnya lewat WA. Kalau kamu nggak datang hari ini juga, jangan harap aku akan ikut repot besok-besok kalau ada apa-apa sama Masmu.”

Sambungan pun kuputus sebelum Ratna sempat membalas. Aku menyimpan ponselku dan kembali menatap Ramli.

“Sudah saatnya kalian saling urus sendiri. Aku sudah cukup sabar.”

Ramli menatapku tajam, meski tubuhnya masih lemas. Matanya yang biasanya sayu kini terlihat berbeda—ada kemarahan yang tertahan.

“Kenapa kamu hubungi Ratna?” tanyanya pelan, tapi nada suaranya terdengar berat. “Kenapa bukan kamu saja yang rawat aku, Bu? Kamu istriku, bukan dia…”

Aku menarik napas, mencoba menahan diri agar tidak meledak. Aku mendekat, duduk di sisi ranjang, lalu menatapnya lurus.

“Dulu, waktu kamu sehat dan kuat, kamu pilih mengurus perempuan lain. Kamu abaikan aku, abaikan rumah ini, abaikan anak-anak kita. Sekarang kamu jatuh sakit dan berharap aku merawatmu seolah semua itu tidak pernah terjadi?”

1
Ninik
Thor kenapa tokoh rukhayah dibikin jd pendendam gitu kayak dah dikuasai iblis jadi manusia tak berhati aku JD g suka
Ninik
tp rukhayah kebablasan hidupnya jd dikuasai dendam kalau kata org Jawa tego warase Ra tego ro larane tego larane ratego ro ngelihe tego ngelihe Ra tego ro patine
Ninik
aku suka perempuan kaya rukayah sepemikiran dgn ku ini
kalea rizuky
lanjut donk
kalea rizuky
laki tua g tau diri
kalea rizuky
kapok
kalea rizuky
laki dajjal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!