"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kuras aja hartanya
Kaan baru saja kembali dari warung Mak Nya, sembari membincing plastik berisi minyak urut. Namun ketika hampir sampai di halaman rumah, ia mendadak menghentikan langkahnya. Kaan melihat halaman depan rumah tampak lebih ramai dari biasanya. Terlihat ada dua pasang sepatu pria dan wanita yang tergeletak di ambang pintu, disertai suara tawa riuh terdengar yang terdengar dari dalam.
Alis Kaan mengernyit, dan bertanya-tanya siapa siapa tamu yang datang.
Ia melanjutkan langkahnya mendekati rumah, dan begitu ia melewati ambang pintu, pandangannya langsung tertumbuk pada sosok yang tampak tak asing baginya.
Di ruang tamu, seorang wanita paruh baya berambut kecokelatan dengan scarf tipis yang membelit lehernya, berdiri dengan kedua tangan terbuka lebar. Sementara di sebelahnya, seorang pria berwajah tegas dan berjanggut rapi sedang berbincang santai dengan bu Mita.
“Mom?” Kaan nyaris tak percaya.
“My baby!” seru sang ibu dalam bahasa Inggris, dan langsung memeluk putranya dengan antusias.
Kaan refleks memeluknya balik, meski kepalanya masih sibuk mencerna situasi.
"You didn’t tell me you’re coming!” ucapnya.
(Kenapa tidak bilang akan datang?)
“We wanted to surprise you!” sang ibu tertawa ceria, kemudian melirik ke sekeliling.
(Kami ingin memberi kejutan!)
“So? Where is my daughter-in-law?"
(Jadi? Di mana menantuku?)
Kaan mengangguk kecil lalu menunjuk ke arah pintu kamar Murni, “She’s resting, Mom."
(Dia sedang istirahat.)
Sang ibu tak ingin menunggu lama. Ia segera mengikuti Kaan masuk ke dalam kamar.
Di dalam, Murni baru saja bergeser di atas tempat tidurnya. Rambutnya masih sedikit kusut, dengan matanya yang tampak sedikit sayu karena baru bangun tidur. Saat pintu kamar terbuka, ia refleks buru-buru mencoba membenarkan penampilannya.
Ketika Kaan masuk, awalnya ekpresi wajah Murni tampak biasa, namun saat ia melihat seseorang yang ikut masuk ke dalam ia tampak penasaran dengan sosok wanita paruh baya yang terlihat cantik serta berkulit putih dengan mata hazel yang hangat, dan gaya yang benar-benar tidak mencerminkan ibu-ibu pada umumnya, ikut masuk ke dalam kamar. Wanita itu langsung menatap Murni dengan tatapan berbinar.
Namun, senyum ibu Kaan langsung memudar ketika matanya tertumbuk pada lutut Murni yang dibalut perban.
“What happened?” tanyanya cepat, nada suaranya terdengar cemas. “What’s with her leg?”
(Apa yang terjadi dengan lututnya?)
Kaan menghela nafas pelan. “She had a small accident. Murni had a fall at work.”
(Dia mendapat kecelakaan kecil, Murni terpeleset di tempat kerja.)
Begitu mendengar jawabannya, raut wajah ibunya langsung berubah drastis.
“What? She’s working?!” serunya, bersamaan dengan kedua matanya yang melebar.
(Apa? Dia bekerja?!)
Tanpa menunggu jawaban, ia memukul lengan Kaan cukup keras. “Stupid boy! You let your wife work?!”
(Anak bodoh! Kau biarkan istrimu bekerja?!)
Kaan hanya bisa diam, menunduk. “I didn’t know she worked. Our marriage is only two days old, Mom.”
Meski sudah dijelaskan, ibu Kaan tampak mendengus kesal.
"You must be Murni!” serunya dalam bahasa Inggris.
Murni semakin mengerutkan dahinya karena tidak paham dengan apa yang wanita paruh baya itu ucapkan.
Kaan buru-buru mengenalkan ibunya. “Murni, dia ibuku.”
Sang ibu ikut tersenyum lebar. “Hello, sweetheart. Don’t worry, I speak bahasa too. Dikit-dikit lah… soalnya sering ke Bali!” ujarnya, membuat Murni semakin gugup.
Sementara itu, ayah Kaan menyusul masuk, dan berdiri di belakang istrinya. Pria itu hanya tersenyum sopan dan menunduk pelan. Wajahnya tenang, dengan posturnya yang tegap, dan Murni bisa langsung menebak kalau pria itu tipe yang bijak dan penuh wibawa.
Seketika, Murni merasa sangat tidak pantas ketika pertemuan pertama dengan ayah dan ibu mertuanya justru terjadi saat penampilannya jauh dari kata layak. Dasternya tampak lusuh, begitupun dengan wajahnya yang belum sempat dicuci. Sementara kedua orang Kaan terlihat mewah, modern, dan karismatik.
Rasanya Murni ingin menghilang ke balik selimut.
“Maaf! S-Saya... belum sempat berdandan." katanya dengan gagap, sembari menunduk dalam-dalam.
Namun sang ibu hanya tertawa kecil dan mendekatinya.
“Sayang, kamu sudah cantik kok. Daster ini lucu... kayak bunga-bunga di taman!” ujarnya riang sembari menyentuh ujung daster bunga-bunga Murni.
Murni nyaris tak percaya kalau perempuan secantik dan seglamor ini... memuji daster buluknya.
Di sudut kamar, Kaan hanya berdiri memandangi mereka. Ada sedikit senyum di wajahnya saat melihat bagaimana ibunya memperlakukan Murni dengan hangat. Tapi juga ada sorot cemas di matanya, karena ia tahu, di balik senyum Murni, ada perasaan minder yang ia belum tahu harus ditenangkan seperti apa.
.
.
.
Murni masih gugup duduk di tepi tempat tidur. Meski sudah sempat mencuci muka dan merapikan rambutnya seadanya, rasa tidak percaya dirinya masih belum juga reda. Namun Ibu Kaan yang akhirnya ia tahu bernama Leyla itu terus saja mencari topik untuk membuat suasana di antara mereka terasa lebih ringan.
“Kamu suka masak?” Tanya Leyla sambil tersenyum.
Murni menunduk, malu-malu. “Suka, bu... tapi ndak terlalu jago.”
Leyla tertawa renyah. “Bagus itu. Nggak jago nggak apa-apa, yang penting suka. Ibu juga awalnya nggak bisa masak. Tapi karena ayahnya Kaan doyan makan, ya... akhirnya belajar juga!”
Murni tersenyum kecil, perlahan mulai merasa nyaman. “Ibu sering ke Indonesia, ya?”
“Sering banget. Saya cinta Bali!” ujar Leyla. “Dulu malah sempat kepikiran buka usaha kecil di sana. Tapi ya... Kaan waktu itu masih kecil dan suka rewel kalau ditinggal.”
Murni menatap wanita di hadapannya itu dengan mata kagum. Wajahnya cantik alami, penuh ekspresi, dan cara bicaranya lincah. Ia tidak menyangka ibu mertuanya sehangat ini. Awalnya ia kira ibu mertuanya itu akan terlihat judes seperti yang ada di sinetron-sinetron itu.
“Ayo, saya bantu kamu jalan ke luar. Duduk di dalam terus nggak enak."
Dengan hati-hati, Leyla membantu Murni berjalan keluar dari kamar, sementara dari arah ruang tamu terdengar suara laki-laki yang tengah berbincang.
Di ruang tamu, suasana tak kalah menarik.
Karena rumah keluarga Murni memang sederhana dan tidak memiliki kursi, mereka duduk lesehan di atas tikar anyaman daun kelapa yang sudah sedikit usang tapi masih bersih dan rapi.
Ayah Kaan duduk dengan postur tegak dan tenang. Sorot matanya tajam tapi penuh perhitungan. Ia mengenakan kemeja biru lengan panjang yang digulung sampai siku, dan sesekali mengangguk perlahan saat mendengarkan lawan bicaranya.
Kaan duduk bersila di sebelah sang ayah, sembari menatap ke arah ayah Murni yang jelas terlihat sedikit kikuk di awal percakapan.
“Wah, rumahnya adem ya, pak,” kata ayah Kaan dalam bahasa Indonesia yang kaku tapi jelas.
Ayah Murni, Pak Aryo, tertawa pelan. “Ah, cuma rumah kampung biasa, Pak. Maaf kalau seadanya.”
“Tidak. Rumah ini... punya rasa.” Senyuman tipis muncul di wajah ayah Kaan. “Saya suka.”
Perlahan-lahan pembicaraan mereka mulai terdengar akrab, membuat suasana tegang seketika mencair. Meskipun di awal tadi aura wibawa ayah Kaan sempat membuat pak Aryo sedikit terintimidasi, namun sekarang mereka sudah mulai menemukan iramanya.
“Kerja di mana, pak Aryo?” tanya ayah Kaan kemudian.
Pak Aryo menjawab dengan semangat, lalu membalas pertanyaan-pertanyaan seputar kampung dan pekerjaannya. Dalam waktu kurang dari setengah jam, suara tawa mereka bertiga termasuk Kaan menggema di dalam rumah.
Bu Mita yang sedang di dapur sempat melirik ke arah ruang tamu sambil mengaduk sayur.
“Alhamdulillah... akrab juga akhirnya,” gumamnya pelan sambil tersenyum lega.
Tadi pagi ia sempat gundah. Tidak ada lauk spesial untuk menyambut besan dari luar negeri itu. Tapi untunglah, pak Aryo tadi sempat membawa pulang beberapa sayuran segar dari kebun tempat ia bekerja. Dan di dapur, masih ada sedikit tepung terigu, telur, dan kerupuk, tak banyak, tapi terbilang cukup untuk menyambut tamunya.
Bu Mita mulai menyiapkan sayur bening dengan potongan labu dan jagung manis, sembari menggoreng tempe dan tahu seadanya, lalu menyiapkan adonan dadar jagung yang harumnya mulai semerbak. Di satu sisi, minyak goreng panas mulai meletup-leletup di wajan, menandakan kerupuk sedang digoreng.
Di dekatnya, Murni duduk di atas bangku kecil, bersama Leyla yang kini sibuk mencicipi sambal buatan bu Mita.
“Ini sambal apa, Murni? Pedes banget tapi enak!” tanya Leyla sambil terkekeh.
"Sambal terasi, bu,” jawab Murni malu-malu.
“Oh. Bu, ajari saya nanti, ya? Saya mau bikin juga di Turki. Biar suami saya kepedesan!” canda Leyla menatap bu Mita, disambut dengan Murni yang tertawa kecil.
Untuk pertama kalinya, Murni tidak merasa takut maupun tidak nyaman ketika berbincang dengan ibu mertuanya itu. Justru ia merasa senang karena bisa dengan mudah cepat akrab.
Ketika ketiga perempuan berbeda usia itu tampak saling diam, tiba-tiba suara Leyla kembali terdengar.
"Murni, Kaan bilang kamu sempat jatuh waktu kerja,” ujar Leyla sambil menatap Murni penuh perhatian. “Kamu kerja apa, sayang?”
Murni tersenyum canggung. “Saya kerja di pabrik kelapa kecil, bu. Di kampung sini.”
Leyla menaikkan alisnya. “Pabrik kelapa? Wah, menarik. Diolah jadi apa kelapanya?”
“Awalnya sih kami cuma belah kelapa tua satu-satu, lalu isi kelapanya dicungkil, dibersihin bagian hitam-hitamnya sampai putih bersih. Nanti dikumpulin dan dibawa ke kota, ke pabrik besar." Jelas Murni pelan, mulai merasa lebih nyaman karena Leyla tampak benar-benar tertarik.
Leyla mencondongkan tubuhnya sedikit, ekspresinya serius tapi penuh rasa ingin tahu.
“Lalu di kota dijadikan apa?”
“Macam-macam, bu. Ada yang jadi santan kemasan, ada juga yang dipakai buat bikin biskuit kelapa, atau bahan makanan lain. Tapi saya cuma bagian menyusun batok kelapanya aja, belum sampai pengolahan.”
Leyla mengangguk-angguk. “Wah... saya baru tahu. Pasti sangat melelahkan kan?”
"Iya, bu. Lumayan melelahkan sih, tapi udah biasa." Jawab Murni sambil tersenyum tipis.
“Pantes tangan kamu kuat. Tapi seharusnya kamu nggak perlu kerja begitu sekarang,” gumam Leyla sambil menatap Murni dengan lembut. “Kamu sekarang istri anak saya, kamu harus jaga diri juga.”
Murni hanya bisa tersenyum kikuk. Ada perasaan hangat di dadanya, ketika mendengar perhatian Leyla.
"Oh iya, Murni,” lanjutnya masih menatap menantunya, “setelah ini kamu gak usah kerja lagi, ya.”
Murni yang sedang memotong daun bawang langsung menoleh cepat, dengan memasang ekspresi kaget. “Hah? Tapi... saya masih pengin kerja, bu.”
Leyla menaikkan alisnya. “Memangnya kenapa?”
“Sebenarnya beberapa kebutuhan rumah masih dibantu dari gaji saya, bu,” jawab Murni pelan, sedikit gugup.
Leyla mengambil kerupuk lagi, lalu menyuapkannya sambil santai bertanya, “Gaji kamu berapa?”
“Sejuta seratus, bu."
Leyla langsung berhenti mengunyah sejenak, lalu tersenyum lebar. “Segitu? Mending gak usah kerja, Sayang. Bukannya ibu mau menyombongkan anak ibu ya,” katanya dengan nada ringan. “Tapi... uang segitu tuh cuma cukup buat sekali sarapannya Kaan sehari-hari biasanya.”
Murni tertegun. Sementara Bu Mita yang sedang menumis kangkung di sebelahnya refleks menoleh, kaget. “Hah? Sekali makan jutaan?!”
Leyla mengangguk santai, “Iya. Alhamdulillah, keluarga kami memang sangat berkecukupan. Kaan itu juga kerja keras dari dulu, dan hasilnya ya... begitu.”
Ia lalu mencondongkan tubuhnya, mendekat ke arah Murni dan bu Mita, wajahnya tampak serius, lalu nada suaranya terdengar menurun seperti sedang berbagi rahasia negara.
“Saya kasih tahu ya... coba deh, nanti kamu cek dompetnya Kaan.”
Murni membelalak. “H-Hah? Saya ndak berani bu."
Leyla tersenyum nakal. “Cek aja. Itu dompet pasti tebel. Banyak banget isinya. Kamu gak perlu susah-susah kerja. Kuras aja hartanya.”
Murni dan Bu Mita saling pandang dan terperangah.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣