NovelToon NovelToon
Lihatlah Aku Dari Nirwana

Lihatlah Aku Dari Nirwana

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:707
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 2: Raditya Hermawan

Klank… klank… klank… Suara besi yang saling beradu itu terdengar seperti alarm pagi yang membangunkan seisi kota Andawana. Sekarang masih pukul 6.25 pagi, dan aku sudah harus berada di simpang utama kota yang masih sepi untuk memantau proses pemasangan baliho iklanku. Udara pagi yang masih sejuk bercampur dengan aroma aspal basah, menciptakan suasana khas kota yang baru saja bangun dari tidurnya.

Felix, yang kemarin berjanji untuk membantu, juga ada di sini. Dia berdiri di sampingku dengan tatapan mengikuti gerakan para tukang yang sedang sibuk memaku dan mengencangkan baliho. Mereka benar-benar bekerja dengan gesit dan lincah, sehingga pemasangan iklanku berjalan lebih cepat dari yang diperkirakan.

Saat gambar besarnya mulai dipasang, perlahan-lahan terlihatlah potretku yang menyilangkan tangan di depan dada dengan berhiaskan senyuman menyeringai. Yah, senyuman itu udah lama nggak nampak semenjak dua bulan terakhir. Di sampingnya, terdapat sebuah tulisan besar yang berbunyi “ENF Public Notary.” Ya, itu adalah merk dari kantor notarisku sendiri.

Bukan bermaksud sombong, tapi ENF Public Notary memang sudah jadi brand kenotariatan yang terkenal di seluruh provinsi Andawana. Orang-orang dari kabupaten yang jauh pun sampai rela untuk datang ke kota ini demi bisa menikmati kualitas layanan jasaku. Keren, kan?

Saat balihonya sudah selesai dipasang, ketiga tukang itu kemudian perlahan turun melalui tangga yang menyatu di tiangnya. Mereka terlihat lebih tua dariku, tapi fisik mereka jauh lebih bugar. Pekerjaan berat seperti ini jelas membentuk tubuh mereka menjadi kuat, berbeda denganku yang setiap hari hanya duduk di belakang meja kantor.

“Keren banget! Kalian bertiga kerjanya bener-bener cepet, ya!” Felix memuji ketiga tukang itu dengan suara dan binar mata penuh ketulusan.

“Ah, biasa aja, hahaha.” Jawab salah satu dari mereka sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. “Kami emang harus kerja cepat kaya gini, sebelum jalannya mulai ramai. Takutnya, kerjaan kami bisa ganggu kenyamanan mereka.”

“Wah, gitu, ya. Kalian baik banget!”

Benar apa yang dibilang sama Felix bahwa ketiga orang ini emang baik banget, sampai begitu pedulinya sama kenyamanan para pengguna jalan. Yah, aku rasa mereka pantas buat dapat bayarannya tersendiri.

Tanganku merogoh dompet di saku belakang untuk mengeluarkan beberapa lembar uang. Aku kemudian memberikan Rp300.000 kepada masing-masing tukang, tapi mereka malah menolak dengan sungkan.

“Ah, nggak perlu ngasih kami upah, Pak Nael. Kami udah dapet bayaran-”

“Nggak apa. Ini bayaran tambahan atas kerja bagus kalian. Tolong diterima, ya.” Aku memotong ucapannya dengan cepat, sambil meletakkan uang di tangan mereka.

“M-Makasih banyak…” Ucap salah satu tukang dengan suara lirih. Matanya terlihat menatap dengan penuh rasa syukur ke arah lembaran-lembaran uang itu.

Ring! Ring! Ring! Tiba-tiba, handphoneku berdering di saku belakang yang lain. Setelah kulihat layarnya, ternyata itu adalah sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. “Permisi sebentar.” Ucapku sambil sedikit menjauh untuk menerima telepon.

“Halo?” Ucapku datar, sambil menempelkan handphone di telinga.

“Halo, apa benar ini nomornya Notaris Emanuel Nathaniel?”

“Iya, dengan saya sendiri. Ada yang bisa dibantu?”

“Iya, saya pengen ngurus surat keterangan hak waris.”

...***...

Sesampainya di kantor, Felix dan aku segera merapikan barang-barang yang masih berantakan. Siapa sangka, ada client baru yang tiba-tiba datang tepat setelah balihonya selesai terpasang. Yah, sepertinya ini adalah awal yang baik setelah dua bulan vakum dari ngurus perkara perdata masyarakat.

“Beruntung banget, ya, hari ini kau langsung dapet client. Mana orangnya datang dari Sentawar, lagi. Wah, garus iki!” Ucap Felix sambil menggeser beberapa kotak besar untuk ditaruh di gudang. Suaranya terdengar antusias dan matanya terus memantau sekeliling untuk memastikan semuanya rapi sebelum pelanggan datang.

“Yah, hitung-hitung nutupin pengeluaran setelah masang baliho, lah, ya.” Balasku dengan nada malas, sambil menyapu debu yang menempel di meja kantor.

Tapi, benar juga apa yang dikatakan oleh Felix. Hari ini aku bisa dibilang beruntung karena dapat client dari Kecamatan Sentawar, yang identik dengan industri perkebunan cengkehnya. Kalau urusan pelangganku kali ini berkaitan dengan warisan kebun cengkeh, bayaranku pasti nggak main-main.

Ding-dong! Suara bel kantorku berbunyi, yang menandakan bahwa si pelanggan pasti sudah ada di depan. Dengan gerakan cepat, tanganku membersihkan sisa-sisa barang yang masih berantakan, lalu bergegas menuju gerbang. Walaupun belum bersih banget, tapi seenggaknya kantorku jauh lebih enak dipandang daripada sebelumnya.

Sesampainya di depan, aku langsung membuka pintu gerbang dan menyambut pelanggan itu. “Dengan Raditya Hermawan?” Tanyaku dengan nada yang terdengar setengah hati. Mohon dimaklum, ya, soalnya kondisi mentalku masih belum terlalu pulih untuk memberikan pelayanan yang ramah kayak biasanya.

“Benar, saya Raditya Hermawan.” Jawabnya dengan nada yang canggung.

“Oke, silahkan masuk.”

Saat sudah ada di dalam ruangan, aku mempersilahkannya untuk duduk tepat di seberangku. Dia kemudian meletakkan berkas-berkas berwadahkan stopmap plastik di atas meja kerja yang menjadi pembatas di antara kita berdua.

Dengan gerakan pelan yang terlihat sedikit gugup, dia menyodorkan berkas-berkasnya ke arahku yang masih sibuk mengencangkan dasi. “Ini berkas-berkasnya. Mohon untuk diperiksa terlebih dahulu.” Ucapnya lirih, hampir terdengar seperti bisikan.

Tanpa banyak bicara, aku segera membuka stopmap plastik itu dan memeriksa setiap dokumen yang ada. Dilihat dari print-out silsilahnya, ternyata Raditya hanya hidup bersama ibunya karena ayah dan kakaknya sudah lama meninggal. Selain itu, dilihat dari tahun kelahirannya, kayaknya orang ini baru aja lulus dari bangku kuliah.

Setelah mencermati berkas-berkas ini untuk membaca situasi, aku menyimpulkan bahwa Raditya Hermawan masih berstatus pengangguran. Dia sepertinya kesulitan untuk mencari pekerjaan, sehingga nggak ada pilihan lain lagi selain mengambil hak warisnya. Tapi, yang membuatku penasaran adalah kenapa dia nggak mau meneruskan ladang cengkeh milik ayahnya? Apa karena gengsi? Atau mungkin dia nggak berminat untuk melakukan pekerjaan keras di kebun? Padahal, pendapatan para petani cengkeh bisa melebihi gaji seorang notaris seperti diriku. Sayang banget, ya.

Walaupun semua berkasnya sudah lengkap, mataku yang cermat berhasil menangkap sesuatu yang nggak beres. Ada perbedaan ukuran antara tanah yang tertera di print-out denah dengan yang tertulis di sertifikatnya. Walaupun cuma 500 meter, ini bisa jadi perkara yang ngerepotin kalau aku sampai lalai dalam mengurusnya.

“Semua berkasmu sebenarnya sudah lengkap,” ujarku sambil menatapnya. “tapi, ada perbedaan antara ukuran tanah di print-out denah dengan yang ada di sertifikat. Bisa kau jelaskan kenapa?” Tanyaku untuk meminta konfirmasinya.

“I-iya, dulu pernah ada sengketa antara lahan cengkeh ayah dengan lahan milik paman. Kalau nggak salah, itu terjadi di tahun 2020.” Jawabnya dengan sedikit terbata-bata. Matanya juga terus menatap ke bawah, seakan enggan untuk melihatku.

Entah kenapa, aku ngerasa anak muda ini kayaknya nggak jago bersosial, deh. Soalnya, tiap kali dia ngomong, gelagatnya kayak gugup dan malu-malu gitu. Tapi yaudah, lah, yang penting nanti dia bayar.

“Oh, gitu ya. Terus, lahan milik ayahmu ini jadi makin bertambah atau makin berkurang setelah sengketanya selesai?” Tanyaku lagi untuk menggali informasi lebih dalam.

“Aku… nggak tahu.”

Hadeh, kok bisa dia nggak tau, sih. Kalau gini ceritanya, aku terpaksa harus pergi ke Setawar, dong, buat ngukur ulang tanah warisan punya bocah ini. Bikin repot aja.

“Ya sudah, kalau gitu aku harus ngukur ulang tanah warisan ayahmu dulu, biar nggak ada sengketa lagi kedepannya.” Ucapku sambil merapikan berkas-berkasnya dengan malas. Suaraku mungkin terdengar agak kesal, tapi percayalah, aku udah berusaha sekuat mungkin untuk menahan emosi.

“I-Iya, mohon bantuannya…” Ucapnya lagi dengan suara yang lirih.

...***...

Setelah Raditya pergi, aku duduk di kursi ruang tunggu sambil menyulut sebatang rokok. Asapnya yang mengepul pelan mulai bergerak untuk menenangkan saraf yang sedikit tegang. Baru hari pertama kerja, aku udah dibikin kesel sama kelakuan seorang anak muda yang nggak tahu apa-apa tentang tanah warisan ayahnya sendiri.

Felix, yang kelihatannya sudah selesai membereskan barang-barang di gudang, muncul dengan membawa jus buah kemasan di tangannya. Dia lalu duduk di sebelahku, sambil membuka tutup kemasan jus itu dengan santai.

“Ah… akhirnya kantormu bersih juga. Aku minta ini, ya, buat bayarannya.” Ucapnya ringan, sebelum meneguk minuman itu perlahan-lahan.

“Habisin aja.” Jawabku singkat, sambil menghembuskan asap rokok dari lubang hidung.

“Lalu, gimana pelangganmu tadi?” Tanyanya lagi, sambil bersendawa.

“Nggak ada gimana-gimana, sih. Aku cuma harus pergi ke Sentawar buat ngukur tanah warisannya aja.”

“Gitu, ya. Terus kapan kau mau pergi?”

“Tergantung sama adikku aja. Kalau besok dia sepi job, maka aku berangkatnya besok.”

“Benar juga, ya. Alvie emang sibuk banget belakangan ini.”

Begitulah, adikku yang bernama Alvie Nathaniel emang lagi sibuk banget belakangan ini. Tapi itu adalah hal yang wajar, mengingat karirnya yang begitu cemerlang sebagai tukang ukur tersohor di seluruh Andawana. Nggak heran kalau dia sering diutus oleh pemerintah ketika terjadi kasus sengketa tanah negara.

Semua pencapaiannya itu tentu saja melewati berbagai proses yang melelahkan. Kau harus jadi orang yang benar-benar workalohic biar bisa sukses kayak Alvie, tanpa menjilat pantat atasanmu sendiri.

Saat melirik ke arah jam dinding, waktu masih menunjukkan pukul 11 siang. Itu artinya, Alvie pasti lagi hektik-hektiknya sekarang. Yah, kalau gitu, aku akan ngehubungin dia pas udah menjelang sore aja. Sekarang, aku cuma perlu nyantai bentar, sebelum perkara warisan ini bikin kepalaku pusing lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!